Rabu, 03 Desember 2008

Enkulturasi

Joko Lelur masih memandang serius monitor di depannya. Beberapa kiriman e-mail dibuka kemudian dibaca. Tampak alur pembicaraan serius tentang malam keakraban terkirim dari beberapa nama yang ikut anggota milis. Sebenarnya Joko sudah bosan dan malas membicarakan acara makrab jurusan yang hampir tiap tahun diadakan. Membaca komentar-komentar itu bibirnya hanya tersungging karena tidak ada yang serius menanggapi hal yang sebenarnya sangat serius itu. Nada tulisan yang dikirim banyak yang tampak optimis bisa merubah tradisi yang sudah lama berjalan, namun lebih banyak yang pesimis dan beberapa mencoba bersikukuh untuk tetap fundamentalis. Joko tidak memberikan komentar apapun atas permasalahan itu, dia lebih tertarik untuk membaca sebuah pesan yang terkirim di salah satu alamat homepage-nya. Undangan perkawinan salah seorang teman satu angkatannya dulu di jurusan yang sama.
Malam itu Joko Lelur mendapat kiriman short message service, dibuka kiriman pesan itu. Sebuah ajakan dari teman lamanya untuk datang ke kampus, ngobrol tentang dua hal: makrab jurusan dan undangan perkawinan. Semangat handarbeni masih ada dalam dirinya sehingga meskipun jauh karena rumahnya di Jawa Tengah dia tetap berusaha untuk datang. Setelah naik bis dari rumahnya, dia turun di bunderan lalu berjalan tertatih-tatih di bawah teriknya matahari menuju kantin sebuah fakultas. Di sana sudah tampak beberapa teman lamanya ngumpul sambil menghadap minuman masing-masing dan makanan kecil. Beberapa sepakat untuk hadir dalam acara makrab jurusan namun untuk menghadiri kondangan tidak begitu ditanggapi secara serius karena lebih bersifat pribadi.
Sore itu Joko Lelur sudah duduk di sebuah bangku depan perpustakaan yang sudah tutup. Beberapa temannya mulai berdatangan membawa sepeda motor masing-masing. Setelah dirasa jumlah teman tidak bertambah. Bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat, rombongan sepeda motor itu mulai berjalan menuju sebuah bumi perkemahan di lereng gunung. Ketika hampir mendekati lokasi, diantara rombongan motor yang sedang merangkak naik itu ada salah seorang yang memegang megaphone membunyikan sirine sehingga sempat membuat penduduk sekitar jalan yang dilewati tanda tanya, rombongan apa ini? Begitu sampai lokasi semua mulai merasakan perubahan suhu yang mencolok antara lereng bawah dengan lereng atas.
Bingung dan tak tahu harus apa? Itulah yang dirasakan Joko Lelur dan teman-temannya sebab berdasarkan informasi yang didapat acara yang diselenggarakan tidak seperti biasa ada perubahan mencolok karena pihak fakultas punya keinginan format acara yang sudah biasa diadakan, diperbaiki di beberapa bagian. Tentu saja bagi mereka yang sudah terenkulturasi penuh hampir lebih sepuluh tahun juga bingung sebab mana mungkin mereka harus mengeset pikiran mereka yang sudah terekam lama diubah dalam semalam. Tapi mau tak mau semua harus mengikuti aturan yang sudah dibuat panitia yang baru mengikuti kegiatan itu satu kali. Dalam fokus grup diskusi yang diadakan panitia, tema tentang “perubahan kebudayaan” menjadi wacana yang dibahas malam itu. Semua peserta mengeluarkan argumentasinya yang akhirnya menyepakati beberapa titik perubahan yang diatur dalam aturan yang dipegang oleh panitia. Hanya yang menjadi pertanyaan di sini, apakah perubahan kebudayaan bisa dilakukan dalam waktu semalam? Mungkin artefaknya bisa dan pola perilaku pengikut budaya itu agak bisa diubah dikit tapi sistem ide gagasan yang paling sulit dan butuh waktu sangat lama untuk merubahnya.
Siang itu karena terlalu fokus pada diskusi “perubahan kebudayaan” Joko Lelur menjadi lupa akan membicarakan kondangan temannya di Jawa Timur yang diselenggarakan kurang lebih seminggu setelah acara Malam Keakraban Jurusan itu. Setelah suatu siang Joko Lelur mengajak teman-teman yang lain ternyata hanya Joko Gondrong yang bersedia ikut. Sehingga hanya dua orang yang akhirnya berangkat ke acara kondangan di Jawa Timur itu. Namun beberapa teman menanyakan “Benarkah pengantin putrinya adalah salah seorang yang pernah ditaksir oleh sahabat mereka?”. Nah pertanyaan itu akan terjawab besok di Jawa Timur setelah menghadiri dan melihat sendiri.
Naik kereta ekonomi dari Stasiun Lempuyangan menuju Stasiun Sepanjang. Di dalam kereta selain penumpang ada petugas yang memeriksa karcis dan para pedagang. Tapi hari itu tiba-tiba ada pedagang yang ketakutan. Dia meletakkan dagangannya di samping tas ranselnya Joko Gondrong, “Mas nanti kalau ditanya ini barang anda ya, saya takut nanti kena denda Rp.40.000,-“ Wanita itu berkata seperti itu tapi karena Joko Lelur tak tahu apa isi barang itu maka dia tidak berani menjamin. Takutnya nanti isinya barang yang dilarang sehingga bisa-bisa malah kena masalah. Kedua orang itu tak mengerti mengapa perempuan yang ternyata penjaja dagangan dalam kereta sangat ketakutan pagi itu. Mereka hanya menebak-nebak mungkin dalam kereta ekonomi itu sedang ada penertiban. Selama di dalam kereta para pedagang dan pengamen tetap bekerja seperti biasa. Meskipun ada petugas dengan seragam yang menarik karcis terdapat juga seorang polisi yang mondar-mandir bertuliskan poltabes di lengan bajunya. Namun kelihatannya polisi itu tidak melarang para pedagang yang mondar-mandir. Tapi mengapa wanita tadi sangat ketakutan?
Setelah enam jam perjalanan sampailah kedua orang itu di Stasiun Sepanjang. Setelah melihat jadwal kepulangan kereta menuju Lempuyangan dan mencatatnya mereka berdua naik becak menuju rumah saudaranya Joko Lelur. Akhirnya setelah bertanya dua kali ketemu juga rumah itu. Saudara sepupunya ada di rumah dan kebetulan juga Omnya juga ada layatan jadi mereka ngobrol dengan sepupu Joko Lelur di ruang tamu. Ruang tamu itu dicat hijau agak kebiru-biruan terdapat kaligrafi di dindingnya. Melihat daerah itu Joko Gondrong tertarik jalan-jalan keliling perkampungan melihat kondisi kampung itu. Kampung yang cukup padat namun air sungai tampak tercemar dan menimbulkan bau yang kurang sedap. Tidak ada ikan seperti ikan cetul yang hidup di dalamnya. Beberapa penduduk juga membeli air bersih untuk dikonsumsi sebab air sumur dan PDAM mengandung kapur terlalu banyak. Rumah di dekat rel kereta api tampak kokoh sebab ketika kereta lewat ada sedikit getaran namun tidak mengakibatkan retak pada dinding rumah. Menjadi orang baru di wilayah baru membuat kedua orang itu harus beradaptasi lagi. Joko Lelur dengan saudaranya jika bercakap-cakap menggunakan bahasa kromo alus.
Karena acara resepsi pernikahan sahabat mereka berlangsung malam hari, mereka masih punya waktu siang hari untuk keliling mengunjungi saudara Joko Lelur yang lain. Malam hari acara resepsi berlangsung di Masjid Al Akbar, masjid terbesar di kota itu. Ketika memasuki ruang resepsi tampak dekorasi yang mewah dan di sepanjang jalan menuju tahta raja dan ratu semalam dipajang foto prewedding mereka namun kebanyakan mengambil latar pegunungan dan alam bebas tampak jika kedua mempelai menyukai outdoor activity. Hal yang mengejutkan dan mendebarkan adalah ternyata benar bahwa mempelai perempuan adalah seseorang yang dibicarakan teman-teman mereka di kampus kemarin sebelum berangkat. Mungkin baru kali ini angkatan mereka ada yang menikah dengan anggota kerabat JKAI karena meskipun satu jurusan tetapi beda universitas. Setelah foto bersama pengantin mereka lalu pulang karena Joko Gondrong masih punya janji akan ketemu teman KKNnya dulu yang kebetulan juga bekerja di kota itu.
Pagi harinya mereka langsung pulang menuju Jogja lagi. Di dalam kereta di tengah jalan perjalanan ketika ada pemeriksaan karcis di salah satu stasiun para pedagang asongan dan pengamen berlarian keluar ketika ada seseorang dengan baju biru sepatu militer dengan tulisan di lengan PM angkatan udara tampak marah dan mengusir para pedagang yang akan mondar-mandir. Baru tahulah kedua orang itu mengapa wanita yang dulu mau berangkat dari Stasiun Lempuyangan begitu tampak ketakutan.

Jogja-Surabaya, Nov akhir-Awal Desember 2008