Kamis, 24 Desember 2009

Gregorius Agung

Satu pertanyaan yang membuatku tersentak waktu itu. "Siapa pelindungmu dan yang membimbingmu? Apakah anda kenal dengan Santo yang dilekatkan pada nama baptis anda? Bagaimana anda bisa meneladani beliau kalau anda saja tidak tahu dan tidak mengenalnya dengan baik. Sejarah hidupnya dan perjuangan apa yang dilakukannya untuk memuliakan Allah?
Dasar untuk menjawab pertanyaan itulah aku berjalan kaki ke Kanisius. Sampai di sana aku masuk ke toko buku pencarian pertama adalah mencari biografi Santo Gregorius Agung. Tidak ketemu dan aku seolah ditarik ke sebuah buku bersampul kuning "Gereja Diaspora, Y.B. Mangunwijaya". Aku mengagumi tokoh ini tapi belum mempelajari dengan lengkap pemikirannya tentang gereja selama ini maka buku ini kemudian akhirnya yang kubawa dan satu buku lagi yang menyentak batinku "Santo Mikhael: Malaikat Agung" ada maksud apa dibalik semua ini. Mengapa kedua buku itu energinya menarikku kuat-kuat.
Di dalamnya ada beberapa alinea yang menyinggung Santo Gregorius:
Dalam tahun 589, timbul wabah di Kota Roma ketika Sungai Tiber meluap. Pada tahun berikutnya Paus Gregorius Agung memimpin sebuah prosesi tobat menuju Gereja Santo Petrus untuk memohon pembebasan dari bencana itu.Ia membawa dalam tangannya ganbar bunda kita Maria.Ketika ia sampai di jembatan Aelia yang menghubungkan makam Hadian dengan kota,ia melihat pada puncak bangunan raksasa itu seorang malaikat yang sedang menyarungkan pedang berdarah, sementara paduan suara para malaikat menyanyikan lagu Gereja, "Regina Coeli-Ratu surga, bergembiralah! Dia yang engkau kandung telah bangkit seperti dikatakan-Nya, alleluya!" Paus menanggapi lagu para malaikat itu dengan berkata, "Doakan kami kepada Allah, alleluya!" Bencana itu tiba-tiba berhenti. Sebagai peringatan akan peristiwa ini, Paus Bonefasius IV pengganti Paus Gregorius, membangun sebuah tempat kudus di atas makam yang indah itu dan mempersembahkan itu kepada Santo Mikhael. Kemudian di tempat kudus itu ditempatkan sebuah patung yang telah dihancurkan berkali-kali tetapi selalu dibangun kembali. Sebuah tempat kudus yang sangat luar biasa yang didedikasikan kepada Malaikat Agung Mikhael adalah tempat kudus Mont. St. Michel.
Dari informasi lain yang kuketahui tentang Santo Gregorius adalah seorang Pujangga gereja yang menulis beberapa buku.

Sabtu, 19 Desember 2009

Laku Lampah Roso

"Tulisanmu sekarang pendek-pendek, apa tidak bisa menulis panjang?" komentar temanku itu mungkin ada benarnya. Entah karena apa aku sendiri kurang paham. Malas, atau ingin segera berpikir ke hal lain mungkin juga bisa begitu. Yang jelas yang kusadari sekarang adalah kecepatan pikiran lebih cepat daripada gerak tangan sehingga sebelum tangan ini selesai menuliskan sesuatu pikiran ini sudah meloncat ke hal lain. Coba aku mendeskripsikan tentang apa yang kuperoleh selama jalan kemarin.
"Koyo wong edan!"
Beberapa orang menyebutnya begitu bahkan keluarga dan teman-teman dekatku. "Kurang kerjaan." itulah komentar mereka. Tapi aku melakukan sesuatu bukan tanpa alasan. Aku memang punya jadwal akan menembuh jalan kaki selama dua hari yaitu suro tanggal 18 Desember dan Menenami temanku kirap jalan kaki bersama anak-anak SD Baciro anggota THS dari Baciro sampai Gunung Sempu. Sebelum tanggal itu aku sempat tertarik dengan kursus kritik ideologi yang diselenggarakan Impulse. Karena tanggal 17 Desember 2009 aku tidak ada rencana kegiatan maka hari itu aku merencanakan pemanasan jalan kaki dari rumah sampai impulse di deresan.

Dari Jalan Tamansiswo menuju Kanisius Deresan

Siang itu dengan memakai tas batik dan kaos serta celana panjang hijau dan mengenakan topi hijau pukul 11.00 WIB aku berjalan menuju Kanisius dengan niat merefleksikan apa yang kuperoleh selama perjalanan ini. Sampai di Tohpati aku berpapasan dengan Bu Hari "Lho kok mlampah Mas bade teng pundi?"
"Teng Kanisius Bu."
"Lho kok mlaku kan adoh, kok ora nitih sepeda motor opo pit."
"Inggih Bu, niki lagi pingin mlaku mawon."
"O critane arep lelaku to iki."
"Nggih kinten-kinten ngaten."
Lalu aku meneruskan perjalanan. Sampai di Tuntungan ketemu Kathi lagi beli arang sama bapaknya. Kathi hanya memandang ke arah lain seolah tidak melihat aku namun ia kenal. Dalam pikirannya akau hanya membaca "Ah Mase iki mau ke mana? Siang-siang panas gini kok mau-maunya jalan kaki?"
Ah itu mungkin juga hanya pikiranku. Lalu setelah sampai di Jalan Batikan aku berhenti sejenak melihat tempat pembuangan sampah dan aku berpikir jauh juga jika aku harus tiap hari membuang sampah di tempat ini. Berjalan kaki ternyata bisa melihat hal lebih banyak daripada naik sepeda atau sepeda motor. lalu aku meneruskan perjalanan sampai di Jembatan Baru jalan kusuma negara, berapa biaya pembangunan ini? Apakah hasilnya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan? Ah itu sudah ada ahli yang memikirkannya, percayakan saja pada mereka.
Ketika menulis alinea ini pikiranku ingin meloncat langsung cerita sampai tujuan tapi aku mencoba melanjutkan cerita dengan sabar. Untuk mengurangi rasa bosanku aku dalam perjalanan mulai merapalakan doa rosario. Entah mengapa ketika aku merapalkan doa itu tiba-tiba angin bertiup sepoi mengurangi panasnya terik matahari yang kulihat menyala di depan. Aku mulai berpikir tentang bocornya ozon dan ketidak pedulian orang-orang pada emisi. Terbukti setiap orang nongkrong di tepi jalan melihatku berjalan siang-siang pada melihat tapi dalam benak mereka berpikir "kurang kerjaan ni orang". "Ah yang gila orang itu atau aku tak peduli." Kulanjutkan saja langkah ini sambil merapalkan doa. Sampai di Jalan Solo doaku selesai, kakiku mulai ada yang lecet karena mulai kurasakan perih. Ingin kuberhenti cari makan dan minum tapi kulihat baru pukul 12.00 lalu aku hanya minum aqua gelas yang kubawa dari rumah dan kusimpan gelas itu karena rencana akan kujadikan pot untuk memijahkan bibit kelengkeng yang kutanam.
Sampai di utara UNY laparku sudah memuncak, aku berhenti di warung lotek dan makan lotek. Sambil merenung betapa berharganya ternyata sepedaku ketika aku harus berjalan seperti ini. Andai aku naik sepeda mungkin akan lebih ringan. lalu aku makan lotek dan jeruk anget. Lalu handphoneku berdering. Kulihat dari nomor rumah yang belum ada di phonebook.
"Halo"
"Piye Pak jadi to malam nanti mubeng beteng"
"Lho surone kan sesuk?"
"Lha iyo, ning kan malam surone mengko bengi"
"Lho tenane, yoh siap"
"Oke mengko kontak-kontakan meneh."
Modar iki pikirku, tak kira besuk ternyata nanti malam. Ah dijalani aja gak usah dipikir pokoknya jalan terus.
Aku lelah dan menulis inipun juga lelah dan tidak sabar karena semua proses ini harus dijalani. Dan ketika menulis ini hasil yang kuperoleh kakiku dua-duanya kapalen dan perih karena tidak pernah jalan dan sekali jalan langsung disenngkakke. Mungkin orang lain melihat "Koyo wong edan, kurang gawean!"
Tapi bagiku sebuah proses penyadaran bahwa aku sendiripun masih kurang sadar dan banyak kelemahan termasuk lemah fisik yang perlu diolah.
Tapi ada pembelajaran di balik semua ini yang hanya bisa dijalani sendiri tanpa bisa kuceritakan semua.

Senin, 07 Desember 2009

Nggliyer

Mak deg, pas aku ndeleng foto iku
Aku kenal ning ora mung kenal
Mripat kang wis tahu sumunar
Tanpo ngomong ning ngerti
Tak kiro ndeweke yo ngerti
Gumuruhe isi dodo iki
Nganti raono kang iso ginambarake
Cumlenge endas iki
Nganti raiso mikir waras
Kudune dewekke ngerti
Opo kang ditumindakke iku
Iso marahi driji lan lengkingan swara iki
Methik nada minor frekuensi tinggi
Ning "ngerti"-ku lan "ngerti"ne deke bedo
Bedo kang ngunduh kuciwo
Amergo roso rapodo
Ah... foto iku....



Ngundang dimensi bedo
Dimensi kang ono ning kono mbiyen
Titi kolo aku rasane nduwe donya
Rasane koyo amplop lan prangkone
Koyo areng lan awune
Roso iku kang dadi genine
Nganti titi kolo mongso
Nyawang foto iku
Sirahku dadi nggliyer
Dodoku mak deg
Sepi koyo mati
ngenteni geni kuwi.....

Rabu, 02 Desember 2009

Memotret

Pernah dulu aku ikut kuliah kelas etnofotografi. Sebelum menginterpretasi sebuah foto, kami diberi teori tentang banyak hal khususnya teknik memotret. Ini harus dikuasai dulu. Saya masih ingat dulu untuk teknik ini asisten dosen yang mengajari. Pelajaran pertama adalah framing menggunakan tangan. Tangan kita khusunya ibu jari dan telunjuk membentuk sebuah kotak, lalu kotak itu seumpama kotak tele kamera. Kita harus membiasakan fokus obyek yang akan kita bidik, dengan memperhatikan latar yang membelakanginya, mata kita harus tajam dan tergantung juga dari apa yang kita pikirkan tentang obyek tersebut yang membuat kita tertarik dan akhirnya bisa menekan tombol untuk memerintahkan kamera menghentikan waktu dan membingkainya menjadi sebuah potret.
Sekarang lebih dimudahkan oleh teknologi atau dipersulit. Dulu waktu belajar memotret saya pinjam kamera milik teman, kamera manual belum digital sehingga untuk memotret harus memperhitungkan banyak hal seperti cuaca, fokus, kecepatan, cahaya,jarak dengan obyek, dan lain-lain. Waktu itu juga belajarnya pakai film hitam putih sebab untuk pemula harus belajar pencahayaan kata asisten dosenku waktu itu.
Setelah punya negatif film hasil berburu obyek di pasar kami lalu belajar mencetak. Film diberi cahaya di kamar gelap, lalu diberi timer, jika warna sudah muncul lalu setelah warna muncul dan pas kertas dipindah ke cairan penetap lalu dikeringkan. Sangat puas hasilnya waktu itu karena karya sendiri meskipun jika dibandingkan dengan tukang afdruk foto masih kalah.
Sekarang penjual film negatif semakin sulit, dan maraknya kamera digital menggeser kamera manual. Lalu sekarang semua serba digital tinggal mengeset menggunakan tombol meskipun ini juga mempunyai kesulitan tersendiri. Hari itu aku mencoba memotret dengan kamera Fuji F455 FinePix, sebuah kamera digital dengan 3 kali optical zoom dan gambar maksimal 5 Megapixel. Sangat mudah karena kuset serba otomatis. Sayang ketika mau kuupload tidak berhasil dan mungkin ini salah satu kelebihan kamera digital. Hasilnya bisa diupload cepat dan hasilnya bisa dilihat cepat. Lalu yang menjadi pertanyaanku apakah cepat itu selalu baik? Aku setuju cepat itu baik tapi jika membuat tergesa-gesa itu yang membuat kurang baik.

Rabu, 25 November 2009

Kecil dan Bijak

Ada temanku yang selalu dikawal oleh pengikutnya. Satunya anak kecil tapi kekuatannya luar biasa, satunya lagi orang tua yang sangat bijaksana tinggi besar. Hanya kadang yang lucu dua-duanya maju duluan ketika ada masalah. Kadang yang muncul dalam dirinya "Si Kecil Yang Sangat Bijaksana"....

Rabu, 11 November 2009

Di Sini Saat Ini

Mungkin mudah untuk diucapkan tapi betapa susahnya untuk dilakukan, menyadari semua kegiatan dan gerakan yang kita lakukan. Pikiran ini ingin selalu tergesa-gesa, selalu saja ada rasanya kegiatan dan tindakan yang belum dilaksanakan sehingga membuat pikiran tidak pernah tenang ditambah lagi tuntutan dari orang-orang sekitar dan suara-suaranya yang kadang menghujam. Aku tidak boleh menyalahkan orang lain atau pihak lain, aku sendiri yang bertanggung jawab atas semua kegiatan yang kulakukan karena semua itu harus sadar kelakukan. Mengikuti hati....

Sabtu, 31 Oktober 2009

Dua Lensa

Aku mencoba mengganti judul blogku dengan kata ini setelah terinspirasi oleh tulisan Laurence Freeman OSB. Manusia memiliki otak kanan dan kiri, begitu pula untuk melihat segala sesuatu bahkan mencoba mendefinisikan Tuhan manusia tetap menggunakan bagian ini.
Namun tidak semua manusia bisa memaksimalkannya, contohnya aku sendiri mungkin otak kanan lebih berfungsi dari kiri dan juga mungkin ada gangguan di dalamnya dan itu bisa diatasi dengan beberapa latihan kata temanku.
Namun memang kedua lensa itu harus dibersihkan dan dipaskan agar bisa melihat sesuatu lebih jernih. Melihat daun sebagai daun. Juga agar aku bisa memandang keindahan kehidupan ini di sini dan saat ini....
Ingin kutulis satu bait ini:
Aku tertawa ketika ada orang mengatakan ikan kehausan di air
Seharusnya manusia juga tidak merasa gelisah sebab dinaungi dan dikelilingi oleh kebahagiaan. Lalu apa yang membuatnya tidak bahagia?
Mungkin cara mengerti dan memandang yang salah.....