Minggu, 31 Januari 2010

Apin

“Mak, Mengapa Emak tidak pernah dolan tiap malam seperti Bapak?”
Sela Apin malam hari sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan Emaknya. Merangkak lalu menuju dinding bambu tempat foto keluarga ditempel yang diterangi cahaya senthir.
“Ah, Laki-laki memang seperti itu, sudahlah ini sudah malam, waktunya kamu tidur Pin, besok Emak harus bangun pagi.”
Apin lalu kembali ke pelukan Emaknya dan sambil mendengarkan tembang yang didendangkan Emaknya, perlahan-lahan terlelaplah anak itu. Namun mata Emak menerawang jauh ke suatu peristiwa tempat dimana tiap malam Bapak nongkrong.
Ayam berkokok, sebelum mentari mengintip di ufuk timur. Apin sudah berada di punggung gendongan Emaknya menuju sebuah pasar di ujung desa. Menggelar dagangan. Namun hanya tiap Legi dan Pahing.
Begitu mentari tepat di atas kepala, menandakan bahwa waktunya untuk pulang ke rumah. Siang itu udara memang panas, ditambah lagi musim kemarau yang masih berjalan dan belum memasuki musim penghujan, membuat para warga Dusun Pinadah lebih memilih melakukan aktivitas di luar rumah untuk mendapatkan kesegaran angin yang sedang berhembus. Memegang penjepit logam dan menghadap sebuah kursi kayu atau meja kayu merupakan pemandangan keseharian yang dilakukan para warga Dusun Pinadah. Bedanya dengan dusun dan desa sekitar yang pemandangan kesehariannya hampir sama adalah kepercayaan diri yang dimiliki warga Dusun Pinadah yang tertanam dalam benak mereka bahwa mereka adalah warga dusun pinilih sebagi tempat turunnya wahyu kerajaan.
“Laris Yu!”
Sela Pak Lurah ketika Emak sudah sampai di rumah. Siang itu Bapak lagi kedatangan tamu Pak Lurah yang sedang membicarakan rencana pameran desa.
“Lumayan Pak Lurah.” Jawab Emak.
Bapak adalah seorang tokoh masyarakat terkenal yang sampai sekarang masih terus menceritakan kisah turunnya wahyu kerajaan itu kepada setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya.
“Dahulu menurut cerita orang-orang tua, di sini itu ada dua orang kakak beradik yang sedang menjalani ritual puasa dan matiraga untuk bertapa agar mendapatkan wahyu dari Yang Maha Kuasa. Suatu hari Sang Kakak mendapatkan wangsit barangsiapa bisa menghabiskan kelapa ini satu tegukan saja, dia yang akan menjadi raja. Namun ketika kelapa itu dibawa pulang karena Sang Kakak belum haus benar maka diletakkan kelapa itu di dapur dan berpesan kepada Sang Istri dengan keras agar kelapa itu jangan di apa-apakan. Kebetulan Sang Adik di suatu tempat punya kerinduan untuk bertemu dengan Sang Kakak maka dia berjalan kaki menuju rumah Sang Kakak, sesampainya di sana langsung menuju dapur dan karena haus maka diteguknyalah kelapa itu satu tegukan sampai habis. Maka Sang Adiklah yang menjadi raja. Namun dalam hal ini yang paling berjasa dan lebih suci hatinya adalah Sang Kakak karena dia yang mendapat wahyu pertama kali.”
Begitulah Bapak selalu bercerita sebagai orang yang bangga dengan sejarah desanya sebagai desa yang mendapat wahyu pinilih dari Yang Kuasa.
Pak Lurah seorang tokoh pejuang di Dusun Pinadah yang berbeda dengan Bapak dalam memandang persoalan dusunnya sering berbedebat dan berbeda pendapat.
“Kalau saya prihatin dengan kondisi pemuda di sini yang banyak menganggur dan mencari pekerjaan di kota besar sehingga dulunya sangat sedikit pemuda yang ada di dusun tapi berkat perjuangannya mendirikan kelompok pengrajin logam maka sekarang hampir semua pemuda menngeluti kerajinan ini dan tidak ada yang menganggur bahkan sedikit sekali sekarang para pemuda yang mengadu nasib di kota besar sebab di sini sangat mebutuhkan tenaga para pemuda tersebut. Jadi untuk memajukan desa adalah berpikir kreatif dan kerja bukan dengan mengingat romantisme jaman dulu.”
Begitu jika Pak Lurah bercerita kepada Bapak tentang pandangannya terhadap desa ini.
“Saya juga tidak sepakat jika ada ritual yang hanya melanggengkan masa lalu yang terbukti tidak membawa kemajuan seperti upacara memperingati 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari. Itu merupakan pemborosan.”
Demikian Pak Lurah menekankan prinsipnya.
Apin hanya menemani Emak menyiapkan minum di dapur lalu menyuguhkan ke tamu. Lalu Emak segera mengambil piring, gelas, dan peralatan dapur yang kotor lalu pergi ke sumur umum. Setelah selesai mencuci piring, Emak mengambil baju-baju yang kotor lalu kembali ke sumur umum lagi. Setelah selesai, Emak lalu mengambil kursi lalu mengerjakan “isen-isen perak” yang harus diselesaikan karena Bapak kemarin menyanggupi Pak Bos di kota bahwa minggu ini pesanannya akan selesai. Setelah selesai mengerjakan isen-isen, Bapak yang mematri dan menyelesaikan perhiasan tersebut sampai bentuk jadi.
Malam hari Bapak akan pergi nongkrong di warung angkringan lalu bersama laki-laki lain tertawa terbahak-bahak dan pulang sudah sempoyongan lalu tidur. Sementara Emak masih harus melempit pakaian dan menyiapkan dagangan yang akan dibawa besok pagi ke pasar.
***
Apin sudah sunat. Dia oleh Emak sudah dibiarkan bermain bebas dengan teman-teman di luar sekehendak hatinya. Bersepeda dengan teman-teman adalah kegemarannya. Suatu hari dengan teman-temannya mereka menuju kota. Ada festifal kesenian di Alun-Alun Kota ada ular naga yang ditarikan oleh banyak orang diiringi bunyi kedompyang-kedompyeng, Ada iring-iringan mobil dan truk yang dihias, ada andong hilir mudik. Tapi ada yang janggal. Apin melihat Bapak menggandeng wanita yang lebih muda dari Emak. Apin begitu gembira bertemu ayah di alun-alun tapi Apin diberi uang oleh Bapak dan disuruh pulang dan dengan wajah marah Bapak mengancam, “Jangan bilang Emak. Awas!”
Apin pulang dengan sedih, dia pulang ke rumah masih melihat Emak sedang mencuci baju di sumur umum. Sambil menimba air untuk mandi, Apin bertanya pada Emak. “Mak kalau laki-laki bergandengan sama wanita namanya apa Mak?”
“Pacaran.” Jawab Emak lirih
“Kamu sudah punya pacar? Atau kamu lagi senang dengan perempuan mana?” Tanya Emak sambil tersenyum.
“Ndak Mak”. Jawab Apin.
Sore hari Apin dan teman-teman nonton tipi di rumah Pak Lurah. Apin melihat di kota banyak bus, mobil, kereta api, dan gedung-gedung bertingkat yang di dusunnya tidak ada. Pulang ke rumah Apin berbicara dengan Emak.
“Mak kapan kita ke kota?”
“Ah itu hanya laki-laki yang ke kota biasa ke tempat Pak Bos, sekali-kali kamu ikut Bapak ke kota untuk setor.”
***
Apin merantau ke kota untuk mencari pengalaman dan penghidupan yang lebih baik karena sekarang dia sudah dewasa. Apin bekerja di rumah Pak Bos yang dulu sering ke rumah untuk mengambil pesanan.
Di Kota Apin mulai kenal yang namanya kost-kostan. Dia juga kenal yang namanya pacaran seperti yang dikatakan Emak waktu dulu. Apin sering melihat Tinah, seorang pelayan warung makan tempat biasa dia makan siang waktu jam istirahat. Karena sering makan di situ dan ngobrol, Apin jadi tahu bahwa kegiatan Tinah tidak jauh dari kegiatan harian Emak. Melihat mata Tinah, Apin seolah melihat mata Emak. Tidak bertemu dengan Tinah sehari, seolah ada sesuatu yang hilang dari relung hati Apin. Apin menjadi peduli dan perhatian pada Tinah. Jika Tinah sedih, Apin ikut sedih. Jika Tinah sakit, Apin juga merasakan sakit.
Apin dan Tinah akhirnya seperti Emak dan Bapak. Hanya Apin berjanji tidak akan membuat Tinah menangis seperti yang sering dilihatnya dulu jika Emak dipukul Bapak. Apin di rumah juga mencuci, ke pasar, dan tiap malam jarang nongkrong di tempat kumpul laki-laki. Apin tidak pernah pulang sempoyongan.
***
Suatu hari Tinah pulang ke rumah dengan sempoyongan dan mabuk. Sebab tiap malam dia nongkrong dengan teman-teman wanitanya di warung pojok dusun. Bu Lurah sering mengantar Tinah pulang ke rumah. Apin di rumah hanya heran sambil menggendong anaknya melihat kelakuan Tinah.