Selasa, 25 Mei 2010

Belajar Memotret

Beberapa hari ini aku sedang belajar memotret menggunakan kamera digital saku (poket). Secara teori aku membaca bukunya Atok Sugiarto yang berjudul Paparazzi. Meskipun dalam buku itu inti pokok tulisannya lebih kepada bagaimana memotret untuk tujuan kewartawanan na mun dalam bab terakhir ada tulisan yang menguraikan bagaimana menggunakan kamera saku digital. Poin-poin di situ sangat penting bagiku sebagai seorang pemula yang baru belajar memotret.

Memotret ternyata tidak mudah, selain mata harus peka terhadap subyek yang akan dipotret kita harus menguasai benar kamera yang kita pegang. Oleh karena itu dalam rangka menguasai kamera ini, saya berlatih memotret berkali-kali sampai gambar benar-benar bagus untuk ukuran saya. Untung sekarang pakai digital andaikan masih menggunakan film berapa rol yang kita butuhkan untuk belajar menguasai kamera.
Posisi paling sulit ternyata adalah menjaga kamera agar tidak goyang. Di sini jika subyeknya diam mungkin akan memudahkan kita, namun jika subyeknya bergerak maka betapa sulitnya mengambil waktu yang tepat untuk melepaskan rana dan mengatur fokus serta framing.

Tapi sangat menarik, apalagi waktu memotret malam hari, sangat sulit mengatur format kamera yang tepat agar cahaya pas. Namun ternyata apa yang kita lihat dengan mata telanjang belum tentu waktu jadi seperti yang kita lihat. Selalu ada kejutan-kejutan yang tak dikira waktu mengabadikan ruang dan waktu.

Senin, 03 Mei 2010

Energi Terbarukan

Perpustakaan Kota Jl. Suroto Kotabaru kerjasama dengan Impulse
25 Maret 2010 pukul 16.00-17.30 WIB, Tema Diskusi “Energi Terbarukan”
Pembicara: Prof Endarto dan Mas Baning
Pada kesempatan pertama Prof Endarto diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangannya terlebih dahulu tentang energi dan lingkungan.
“Indonesia itu kurang apa sih? Panas bumi melimpah, cadangan gas juga melimpah, bahan bakar fosil: minyak bumi dan batubara juga ada. Lalu bagaimana merawatnya? permasalahan yang lain adalah bagaimana me-manage-nya?”
Pertama yang harus dipahami tentang energy adalah energy tidak bisa diciptakan hanya bisa dirubah. Jadi jika ada orang yang mengatakan ada alat yang bisa mengubah energy masuk kecil keluar besar itu salah besar. Energy berbeda dengan daya. Kalau alat penguat daya itu ada. Jadi jika ada orang bisa mengubah air menjadi bensin itu bohong besar seperti kasus “banyu geni” itu tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.
Melihat kondisi yang ada sekarang mengingat bahan bakar fosil bisa habis yang bisa segera dilakukan adalah merubah kebiasaan dari budaya boros energy ke budaya hemat energy sebab energy mempunyai efek samping dan polusi. Energi gerak bisa memindahkan benda dari satu ke tempat yang lain. Bensin bisa menghasilkan energy gerak. Namun efek sampingnya adalah gas buang polusi kalau Carbonnya tidak terbakar sempurna. Selama ini bahan bakar yang kita gunakan berasal dari fosil seperti minyak bumi dan batubara, ada alternative lain ke energy terbarukan seperti panas matahari dan air.
Kontribusi polusi negara berkembang tidak sebesar negara maju, Negara maju menghasilkan polusi 10 kali lipat dari negara Indonesia. Orang modern serba ingin nyaman. Untuk menghidupkan AC butuh energy untuk menghidupkan Kulkas butuh energy. Misal Amerika itu menghabiskan 1/5 bahan bakar energy dunia. Prancis mencukupi kebutuhan energinya 70% dari nuklir. Tapi yang perlu dipikirkan sangat adalah nuklir punya polusi radioaktif yang tidak bisa diurai ribuan tahun.
Indonesia memiliki energy panas bumi terbesar di dunia. Kedua adalah energy air: pemerintah belum menggalakkan energy alternative ini. Tahun 2005 Indonesia rencananya akan mempunyai energy nuklir tapi karena kendala dan perdebatan yang belum selesai permasalahan nuklir ini maka belum bisa diwujudkan rencana itu. Pertimbangan ini dasarnya adalah bahwa tiap tahun Indonesia mengalami kenaikan pasokan listrik sebesar 7% dan 14 tahun lagi kebutuhan listrik Indonesia adalah 2 kali lipat kebutuhan saat ini. Mengingat bahan bakar fosil tidak akan mencukupi maka pembangkit listrik energy nuklir itu yang mungkin.



Pembicara selanjutnya adalah Mas Baning: Aktivis lingkungan dan pemrakarsa energy biogas tingkat dusun. Berdomisili di Sinduadi Mlati Sleman.
Dari jumlah energy fosil yang ada minyak bumi 50 tahun ke depan akan habis sedangkan batubara 160 tahun ke depan akan habis jika penggunaan bahan bakar fosil masih seperti sekarang.
Pembangunan di Indonesia dijalankan tidak serius bahkan bukan itu saja bisa dikatakan konyol. Peradaban kita harus dibangun dengan serius, kita sadar sumber energy terbatas, kita membutuhkan energy terbarukan. Kita harus mengendalikan diri. Sebab selama ini terjadi kontradiksi di satu sisi orang berusaha menghemat energy di satu sisi orang menghabiskan energy. Yang harus dilakukan adalah meredam impian kemakmuran. Hasil peradaban modern adalah menjanjikan sesuatu yang nyaman dan instant. Kemudahan yang dihasilkan oleh modernitas mempunyai 2 sisi kontradiktif, anak kandung modernitas energy terbarukan akan menjadi nyata dan bisa menggantikan energy fosil.
Kita sudah terlanjur nyaman, Kita enggan melepaskan diri dari kenyamanan itu. Apakah pemerintah siap? Dari proses berpikir ala mazhab modernitas ini akan berpikir instant, mudah, dan cari nyamannya yaitu mengambil jalan pintas: nuklir. Perlu diberi catatan berapa tahun plutonium bisa diurai? Bukankah ribuan tahun, dampaknya yang menikmati kesengsaraan anak cucu kita.
Alternatif lain adalah Biofuel: tapi berapa berapa hektar lahan yang dibutuhkan untuk tanaman ini. Jerman membutuhkan lahan satu juta hektar untuk menghasilkan energy yang masih belum mencukupi. Di Brasil dan Amerika juga mengalami hal yang sama. Lalu benturannya adalah lahan yang digunakan menjadi pertempuran antara Pangan VS Bahan Bakar.
Alternatif lainnya lagi adalah Biogas, Mas Baning sudah mencoba dan menerapkannya dari 50 ekor sapi cukup untuk 10 KK untuk memasak, hanya kemudian masalah yang muncul adalah perlu pengorganisasian yang tidak mudah dan mengorganisir kelompok sangat sulit sebab nanti yang muncul diantara mereka adalah reactor biogas ini milik siapa? Sementara ini negara tidak memikirkan alternative ini.
Jika masyarakat desa mampu seperti itu maka bentuk distribusi ke depan untuk cakupan dusun, RT/RW biar diurus masing-masing dusun dan biarlah mereka punya hak desentralisasi masalah listrik dan energy sendiri dan negara hanya memikirkan hal-hal yang besar seperti industry dan pabrik.
Dari perbincangan itu kemudian disepakati dan consensus bahwa nuklir untuk saat ini dengan sumber SDM yang masih kurang sangat tidak dimungkinkan untuk dibuat di Indonesia mengingat juga polusi efek sampingnya. Bahan bakar fosil jika masih seperti ini penggunaannya jelas akan habis, yang perlu segera dilakukan adalah membuat sumber energy dari panas matahari, angin, dan energy air laut jangan buat PLTA yang dampaknya seperti kasus Kedungombo, yang memakan korban yang tidak sedikit. Terlebih lagi kita masing-masing individu harus melakukan pertobatan pribadi, lingkungan, sosial, dan negara untuk memulai ramah lingkungan dan hemat energy yang dimulai dari diri sendiri.