Jumat, 03 September 2010

Tema dan Foto


Dalam Bulan Kitab Suci 2010, tema yang diambil adalah “Betapa agung nama-Mu, ya Tuhan” dari Mazmur 8. Kitab Mazmur termasuk kelompok kitab-kitab Kebijaksanaan, yang ditempatkan setelah kitab Ayub dan sebelum kitab Amsal. Kitab Mazmur terdiri atas 150 buah syair keagamaan yang pada mulanya biasa dipakai dalam ibadat Yahudi. Sebenarnya kitab Mazmur bisa disebut sebagai kumpulan dari kumpulan. Sebagai suatu kumpulan doa, kitab Mazmur amat kaya dengan ungkapan hati manusia sebagai umat beriman menghadapi berbagai macam situasi dalam hidupnya. Di dalamnya kita temukan ungkapan perasaan umat beriman dari yang lembut sampai ke perasaan emosional, ada keluhan atau ratapan, pujian, ketakutan, kepercayaan, kesedihan dan kegembiraan (Bahan Pertemuan Lingkungan, Komisi Kitab Suci KAS, 2010:7).
Dalam Bulan Kitab Suci ini Tim Pewartaan ingin membuat suatu kegiatan yang kreatif dalam memaknai bulan kitab suci. Dalam diskusi yang melibatkan beberapa pihak, muncul kesepakatan membuat lomba foto. Mengapa lomba foto? Sebab jaman sekarang anak-anak muda khususnya juga remaja dan anak-anak lebih akrab dengan dunia visual. Maka jika dalam memaknai bulan kitab suci dengan bentuk cerita dan tulisan dirasa akan kurang menyentuh dunia kaum muda, remaja, dan anak-anak. Maka bagaimana mengisi kegiatan dalam bulan kitab suci agar menyentuh dunia kaum muda adalah dengan media visual. Foto adalah salah satu hal yang bisa dikerjakan dan dibuat oleh sebagian besar anak muda untuk mengekspresikan apa yang ada di benak mereka dan memaknai lingkungan sekitar. Sehingga dengan membahasakan tema bulan kitab suci ini ke dalam foto, akan bisa melihat seberapa peka anak muda gereja memaknai lingkungannya.
Foto adalah data dan fakta. Juga makna. Dunia fotografi, sebagaimana dunia wartawan umumnya, diuntungkan oleh rumusan “God given the news”, Tuhan yang memberikan berita-atau gambar-dengan berbagai peristiwa: tabrakan pesawat, banjir, artis kawin-cerai-selingkuh, atau bahkan peristiwa-peristiwa seremonial. Namun, tetap saja ada upaya kreatif bagaimana menentukan sudut pengambilan, memperhitungkan kedalaman, kesatuan dengan masalah keseluruhan, di samping ketekunan dan keterlibatan dengan objek atau peristiwa. Sedemikian perkasanya visual yang dihasilkan sehingga karyanya tak memerlukan “caption”, teks yang menjembatani. Karena semua yang inti telah tervisualkan. Di sinilah peran juru foto tak tergantikan. Di sinilah sepotong penggalan gambar menjadi “artefak’ sejarah, menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan bermedia zaman modern: dengan data, dengan fakta, dengan menyambung makna (Arswendo Atmowiloto).
Ungkapan “Mahkota foto adalah kejujuran” bukan hal yang mengada-ada. Objek kecil dalam foto berita yang dianggap mengganggu objek utama bisa dihilangkan untuk menyempurnakan hasil, apalagi saat ini fotografi mencapai zaman keemasan digital- hanya dengan program Photoshop komputer, pemotret bisa menambah atau mengurangi objek dalam foto berita. Memang, tindakan ini bisa dianggap penipuan-pelanggaran etika berita yang kemungkinan besar menimbulkan reaksi emosional merugikan. Croping maupun retouching, misalnya, bisa menimbulkan distorsi pesan berita.
Hukum foto berita adalah fakta. Rekayasa tidak dibenarkan. Nyawa foto atau tingkat keberhasilannya sudah ditentukan saat pemotret berada di lokasi pemotretan. Oleh karena itu, wartawan foto yang baik harus selalu siap di lokasi/ tempat kejadian.