Selasa, 01 November 2011

Liminal Malem Minggu


Sabtu malam aku ingin nginjen acara yang dilakukan teman-teman di Candi Abang. Lokasinya menarik dan sangat strategis untuk acara seperti yang biasa dilakukan teman-teman meskipun ada beberapa rumah penduduk yang sangat dekat dengan lokasi. Malam itu aku mencoba tanya pada beberapa teman-teman yang menyatakan diri sebagai senior. “Pakai konsep teori siapakah acara ini?” Beberapa mengatakan tidak tahu dan beberapa mengatakan ,”Masih seperti biasanya, kayak yang kemarin.” Maka aku berpikir berarti masih seperti dulu menggunakan konsepnya Victor Turner “Masyarakat Bebas Struktur.”
Lalu ketika masih asyik ngobrol dengan beberapa teman membicarakan ramalan kiamat 2012 dari berbagai pandangan dari Suku Maya maupun ramalan ilmiah dari Nasa memang ada kemungkinan tahun 2012 bumi akan ditabrak sebuah benda luar angkasa yang kemungkinan akan mengakibatkan kerusakan yang parah di salah satu bagian bumi, hanya bagian mana yang tertimpa benda itu belum ada yang pasti. Dari pembicaraan inipun kita mengambil pandangan bahwa sebenarnya manusia itu selalu liminal di ambang ambigu dan ketidak pastian. Juga menyangkut masalah global warming, andaikan kutup utara maupun selatan es-nya mencair dan permukaan laut naik maka orang akan berbondong-bondong lari dan mengungsi di daerah yang tinggi misalnya lari ke puncak Merapi. Ketika jaman Nuh kembali terjadi dan yang tersisa hanya daratan di puncak Merapi dan tiba-tiba status Merapi meningkat lalu meletus, kemanakah lagi manusia harus tinggal? Pertanyaan yang hanya angan-angan itu lalu sirna begitu saja ketika kami diajak teman-teman ngumpul di tenda panitia.
Tiba-tiba ada pos Religi, Konflik, Pemaknaan, Pendinginan. Aku diam dan bingung, ini jadi pakai konsepnya Turner tidak? Lalu dimana tahap separasi, liminal, dan reintegration sebab dalam buku yang pernah kubaca separasi ditandai dengan pelepasan dari individu atau kelompok baik dari keadaan tetap dalam struktur sosial maupun dari serangkaian keadaan kultural. Kemudian memasuki tahap liminal ditandai dengan sifat khas subyek ritual ambigu melampaui bidang kultural yang mempunyai beberapa ciri masa lalu dan masa yang akan datang. Dihubungkan dengan simbol-simbol kematian, dalam rahim ibu, kegelapan. Kemudian berlanjut ke tahap reaggregation yang artinya peralihan menjadi sempurna. Subyek ritual kembali ke keadaan semula. Subyek ritual mempunyai hak-hak dan kewajiban seperti yang lain. Victor Turner terinspirasi dari Masyarakat Ndembu. Liminalitas di antara Masyarakat Ndembu itu mempunyai kondisi suci. Liminalitas dilihat sebagai suatu tahap pembinaan bagi anak-anak yang akan masuk ke alam kedewasaan.
Ciri-ciri yang telah disebut itu dapat kita ringkas sebagai berikut:
-Adanya kerendahan hati dari si subyek ritual. Kerendahan hati di sini menunjuk pada sikap pasrah dan patuh dari subyek ritual pada pemimpin upacara.
-yang tertinggi menjadi yang terendah dalam keadaan liminal.
-tiadanya perbedaan di antara mereka yang menjadi subyek ritual.
-tiadanya perbedaan seksual, tiadanya perbedaan tingkat.
-subyek ritual digambarkan sebagai hampir telanjang. Hampir telanjang di sini mengacu pada tiadanya milik dalam dirinya, bahkan si subyek ritual berpakaian minim [misalnya, dalam Isoma baik suami maupun istri hanya memakai pakaian sebatas pinggang].
-ada keterbalikan dengan kehidupan sehari-hari. Yang dalam kehidupan sehari-hari dikatakan sebagai tinggi, pemimpin, maka dalam liminalitas dia menjadi budak.
Akhirnya, liminalitas mempunyai ciri ambigu karena subyek ritual mengalami suatu keadaan yang lain denagn kehidupan sehari-hari, namun juga dialami masa sekarang dan masa yang akan datang. Dalam liminalitas terlihat juga adanya kekuatan dari Si Lemah, kendati dalam kehidupan sehari-hari Si Lemah itu memang lemah.
Merasa tidak tercapainya liminalitas ini, aku hanya berpikir konseptor acara ini tidak menggunakan Victor Turner sebagai pijakan konsepnya mungkin menggunakan teori lain namun aku tidak paham dan tidak tahu mungkin karena aku terlambat mengikuti proses dan hanya bingung sendiri memaknai sehingga malah ambigu sendiri dan malah liminal sendiri karena tak tahu apa yang harus kuperbuat.
Karena aku janjian dengan temanku untuk mengiinisasi diri sendiri dengan naik sepeda dari Bintaran ke Sriningsih melewati jalan bukit yang naik dan melingkar maka sebelum acara pelantikan aku mengundurkan diri dan paginya langsung tidur sebentar dan ke Bintaran dan naik sepeda. Di sini mereka yang janjian akan ikut sepedaan menyiksa diri sendiri ternyata tidak ada. Dolop sudah pulang dengan Pak Nar dan Katon. “Apakah karena terlambat mereka bertiga berangkat sendiri?” Pikirku dalam hati. Lalu aku mencoba ngampiri di rumah Pak Nar ternyata mereka masih di rumah. Dolop sempat mengeluh, “Padahal yang tak SMS sudah banyak, tapi setiap kali aku punya ide selalu tidak laku.” “Ya kalau punya ide ya dilakoni dewe.” “Wis saiki mangkat wong loro.” Kataku. Namun ternyata Katon juga ingin ikut dan akhirnya kami berangkat bertiga. Sementara Si Jo langsung menuju Sriningsih dari rumahnya di Klaten.
Pengalaman dulu waktu sepedaan ke Jatiningsih kita hanya mengikuti insting asal ada jalan ke barat lalu utara, barat lalu utara akan sampai di Jatiningsih. Metode ini kita terapkan juga untuk perjalanan ke Sriningsih dan ternyata metode itu tidak berlaku dan malah kita keblasuk di jalan yang naik ke bukit dan mau kembali turun sudah nanggung dan akhirnya kita jalani bertiga nuntun pit diatas perbukitan. Kita tanya penduduk jalan ke Sriningsih katanya hanya akan melewati 3 tanjakan dan setelah itu akan turun terus jalannya sampai di Gayamharjo. Ternyata setelah kita jalani kita harus melewati tiga bukit untuk sampai di Sriningsih. Dan masih harus melewati undak-undakan untuk sampai ke pendopo di mana Bejo sudah menunggu di sana. Membayangkan kaki sudah akan kram dan masih jauh perjalanan mengayuh pulang ke Bintaran kita hanya pasrah menikmati waktu yang terus berjalan meskipun kita berharap berhenti karena kelelahan ini. Meskipun akhirnya sampai di rumah pukul 19.00 malam kita benar-benar merasakan dan bisa membayangkan bagaimana prosesi jalan salib dulu yang tentunya perjalanan kami tidak ada apa-apanya.

Candi Abang, Sriningsih
Sabtu-Minggu, 29-30 Oktober 2011

Minggu, 16 Oktober 2011

Sumber Air

Keterpisahan itu membuat dirinya bingung. Mau kembali rasanya sudah tak mungkin dan dia sudah bosan berada di sana. Mau pergi ke tempat baru tidak ada jaminan kepastian dan seperti apakah pengalaman berada di tempat baru itu masih ada di bayangan dan mimpinya. Dalam kebimbangan itu, dia diam, dan bertanya pada dirinya sendiri.

Rasanya baru kemarin dia mengalami masa-masa sebagai anak-anak, dimanja, menang sendiri, keinginanya selalu ingin dipenuhi, dan cengeng. Tidak ingin dia meninggalkan masa-masa itu, sebab menyadari bahwa semakin bertambah umur tuntutan dan tanggung jawab yang diukurkan kepadanya terasa semakin berat. Pergi naik sepeda bersama teman-teman sepermainannya menuju tempuran sungai dan berenang di sana adalah perjalanan paling jauh yang pernah dia tempuh. Tempat itu pula yang tidak pernah dia lupakan dan juga tidak akan pernah dia kunjungi lagi. Melihat tempuran sungai mengingatkan dua teman akrabnya yang kini sudah tiada.
Kali ini dia berada di tepi sebuah sungai, air terjun yang tidak begitu tinggi terdengar bagaikan genderang drumband yang memukul dasar sungai yang meninggalkan cekungan yang lebih rendah dari dasar sungai yang lain. Di seberang selatan air terjun itu dulu dia juga pernah belajar berenang bersama teman-teman kecilnya. Hanya kegiatan itu tidak pernah lagi dilakukan setelah peristiwa berenang di tempuran. Dimana sumber air ini? Kadang begitu dia bertanya, mungkin di atas sana ada air terjun yang lebih indah daripada air terjun yang dia lihat kali ini. Ia ingin berjalan menyusuri sungai ini dan melihat sumber paling indah di atas sana. Jika di bawah bunyi air terjun terdengar seperti suara lagu sebuah alunan drumband mungkin sumber air di atas sana akan terdengar seperti sebuah orchestra.
Untuk perjalanan mencari sumber air ini ternyata tak ada teman yang mau diajak. Teman sepermainannya dulu sudah jelas tidak mau turut serta, bahkan sekarang ada yang trauma terhadap air. Akhirnya dia berjalan sendiri mencari sumber air. Susur sungai menjadi perjalanan yang sangat senang dia lakukan namun sekaligus menyiksa batinnya sendiri. Baru sampai di tengah saja yang dia saksikan begitu mengerikan, dia berjumpa dengan banyak hantu penunggu sungai yang mengancam dia agar jangan melewati tepi sungai. Hantu ini punya anak buah yang banyak sekali, ada gendruwo berwarna kuning yang tangannya sangat besar dan menakutkan. Tangannya mampu memukul batu besar dan melemparkannya ke atas sungai. Ada lagi hantu manis penunggu jembatan, dia akan menakuti siapa saja yang melewati jembatan yang sudah roboh itu. Hantu ini tidak ingin jembatan yang roboh itu dibangun kembali sebab jembatan ini mengingatkannya pada mantan kekasihnya yang sekarang sudah beristrikan wanita lain. Utuhnya jembatan ini akan mengingatkannya pada romantisme bersama mantan kekasihnya dulu. Berjalan lebih ke atas banyak dijumpainya gadis-gadis cantik yang menangis di atas reruntuhan sabo dam.
Semakin ke atas hatinya semakin pedih, buto ijo yang diceritakan banyak warga tepi sungai adalah penguasa sumber air itu. Tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkannya untuk mengambil sumber air. Dalam penasarannya bertemu dengan buto ijo dan ingin menikmati indahnya air terjun di sumber air paling atas, dia tertegun dengan seorang tua yang duduk di tepi sungai lama sekali dan tampak menikmati. Rasanya kakek itu tahu apa yang sedang dipikirkan oleh pencari sumber air ini. “Perjalananmu hanya akan seperti mencari sumbernya angin, seperti mencari kayu di batang kangkung.” Lalu kakek itu pergi dan menghilang.

Sabtu, 07 Mei 2011

Merpati Ingkar Janji


Peristiwa berawal ketika munculnya merpati putih jantan yang sering disebut oleh masyarakat sebagai “doro nyewu”. Bukan berarti harga merpati ini seribu rupiah, namun merpati ini sering dipakai sebagai simbol sempurnanya orang yang sudah meninggal dan terbang kembali ke surga meninggalkan keluarga yang dicintai. Merpati yang diterbangkan pada perayaan seribu hari ini biasanya sepasang merpati putih. Dalam tradisi Katolik, Roh Kudus juga sering disimbolkan dalam wujud burung merpati putih. Setelah melewati masa 7 hari, 40 hari , 100 hari, setahun, dan akhirnya seribu hari sudah genaplah semua ceremonial dan doa yang dipanjatkan bagi orang yang sudah meninggal. Makamnya kemudian akan diberi kijing sebagai tanda atau “tetenger” yang berarti “ Jing Iki “ atau “Yang Ini”.
Hinggapnya merpati putih jantan itu yang akhirnya dipelihara oleh teman-teman menjadi tanda berkah yang akan hinggap di kelompok atau komunitas ini. Ketika mendapatkan merpati putih itu beberapa mengatakan “Ojo didol opo diburke, diopeni wae.” Maka komunitas yang awalnya hanya theng-theng crit [thenguk-thenguk crito] punya kegiatan riil yang mau tidak mau harus dilakukan yaitu memelihara merpati putih dan lele. Karena belum punya gupon atau kandang maka teman-teman membuat kandang burung dengan kayu bekas seadanya dan strimin. Akhirnya kandang ala kadarnya untuk menghindarkan merpati dari teriknya matahari dan terpaan hujan jadi sudah. Perlu dimaklumi, karena yang membuat kandang bukan tukang kayu, kandang yang jadipun sangat minimalis dan kurang bagus jika dipandang namun fungsi bagi merpati lebih dari cukup.
Setelah kandang jadi, muncul permasalahan baru. Rasanya kasihan jika burung merpati jantan ini sendirian, maka ketika pasaran legi, kami pergi ke Pasar Kotagede untuk mencari merpati putih kucir betina. Dari sekian banyak penjual merpati yang menjual merpati putih betina hanya satu penjual dan dia memasang harga tinggi untuk burung itu, namun sesuai hukum ekonomi semakin langka barang harga semakin tinggi, maka mau tak mau dibeli juga burung itu. Setelah dijadikan satu dengan pejantan, si jantan langsung “mbekur” tanda mereka jodoh.
Sebulan berlalu, upaya memberi makan dan minum yang dilakukan bergiliran sudah terlaksana. Upaya memberi jerami untuk tempat bertelur juga sudah dilakukan dengan harapan sepasang merpati ini akan berkembang biak menjadi bertambah. Namun sudah sebulan tidak ada tanda-tanda merpati akan punya anak sebab bertelur aja belum. Maka muncul pertanyaan baru, apakah kandangnya tidak sesuai? Beberapa juga kasihan dengan dikandangnya terus merpati ini, sebab beberapa teman melihat bahwa merpati biasanya dibiarkan bebas berkeliaran. Ide membuat gupon yang layak dan lebih gelap muncul, maka dalam waktu 2 hari gupon baru jadi. Dan sepasang merpati itu punya rumah yang lebih layak dari sebelumnya.
Namun permasalahan baru muncul lagi, bisakah merpati kucir yang sudah tua “omah”? sebab sepengetahuan beberapa teman, merpati kucir tua ini mirip dengan merpati pos yang sulit punya rumah baru, kecuali dipelihara sejak “piyik” atau merpati itu masih kecil. “Dilatih.” Itulah jawaban spontan dari teman-teman. Sampai suatu pagi, di hari minggu yang cerah kami dapat SMS. “berita sedih, ada sepasang merpati putih terbang ke arah timur. Gupon dalam keadaan terbuka.”

Minggu, 8 Mei 2011.

Selasa, 08 Maret 2011

Komunikasih


Di sebuah halaman rumah terdapat pekarangan liar yang ditumbuhi rumput alang-alang yang tinggi. Halaman ini tidak pernah dirawat oleh Si Pemilik Rumah karena dia sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk membersihkan halaman rumahnya. Namun pekarangan yang ditumbuhi rumput liar itu menjadi tempat yang menyenangkan bagi kawanan semut hitam yang bersarang di situ.

Suatu hari, persediaan makanan di sarang mereka menipis maka sudah waktunya bagi koloni semut hitam untuk bergotong royong memenuhi kembali lumbung makanan mereka. Mereka mulai keluar sarang dan menyebar ke seluruh wilayah pekarangan. Ternyata kekosongan lumbung juga dialami oleh semut pudak, semut geni, semut rangrang. Halaman pekarangan menjadi penuh dengan berbagai koloni semut yang mencari makan untuk mengisi lumbung makanan di sarang mereka.

Pagi itu karena tergesa-gesa mau berangkat kerja Si Pemilik Rumah tidak habis memakan roti sarapannya lalu membuang saja sisa roti itu di pekarangan. Semut hitam yang pertama kali menemukan roti itu lalu dia mengajak koloninya untuk mengangkut roti itu ke sarangnya. Namun semut pudak, semut geni, dan semut rangrang juga akhirnya menemukan roti itu. Awalnya mereka berkelahi untuk memperebutkan roti itu, bahkan semut rangrang mengancam akan memusnahkan koloni semut pudak yang paling kecil itu tapi akhirnya semut hitam menengahi. Kesepakatan diantara mereka tentang roti itu adalah mengambil sesuai dengan apa yang dibutuhkan koloni itu sebab ternyata semut hitam hanya suka bagian kejunya , semut pudak suka bagian gulanya, dan semut hitam suka bagian roti yang sudah kering dan semut rangrang mengambil bagian roti yang basah.

Dalam beberapa menit, sisa roti itu sudah bersih diangkut ke lumbung masing-masing koloni tanpa perkelahian.

Rabu, 09 Februari 2011

Layat


Hari ini aku layat. Namun yang kuperhatikan bukanlah para pelayat yang datang memasukkan amplop di kotak lalu duduk di kursi yang sudah disediakan untuk para pelayat. Ada seseorang yang berpotongan agak pendek, bisu, dan hanya cengar-cengir melihat kanan-kiri tanpa alas kaki. Orang ini hanya mondar-mandir di sekitar lokasi layatan, kuperhatikan kali ini orang ini tidak ditawari dos snack ataupun permen seperti orang-orang lain yang memasukkan amplop. Yang aku herankan adalah setiap ada layatan orang ini selalu ada. Dia bukan penjual peti ataupun penjual karangan bunga. Dia orang bisu dan tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain, hanya kadang dengan bahasa isyarat entah paham atau tidak. Orang ini tidak punya handphone, tidak punya facebook, dan kelihatannya juga tidak bisa membaca. Namun, yang mengherankan adalah dalam setiap layatan mengapa dia sering hadir? Pertanyaan lain yang muncul kemudian adalah, siapa yang memberi tahu dia bahwa di RW ini ada sripah atau lelayu?


Banyak orang-orang menjawab, bahwa dia itu malaikat pencabut nyawa. Namun menurutku bukan, sebab dia selalu hadir sesudah orang yang meninggal mau diberangkatkan. Bukan di detik-detik sakratul maut. Lalu banyak juga yang menjawab bahwa dia itu punya pembimbing yang tidak tampak yang selalu berkomunikasi dengan dirinya yang selalu menuntun kemana dia harus pergi. Berbeda dengan orang lain, jika datang melayat adalah orang yang dikenal entah itu tetangga, teman di komunitas, teman lama, saudaranya teman, bapak, ibu, kerabatnya teman, atau saudara dan biasanya orang yang datang layat kenal dengan almarhum. Namun, orang aneh ini kelihatannya juga tidak kenal namun selalu datang melayat. Kelihatannya dia juga penganut aliran multikultur dan orang yang pluralis sebab dia melayat tidak memandang apakah dia agamanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, Kejawen, maupun aliran kepercayaan yang lain. Sayangnya tidak ada orang-orang yang mampu berkomunikasi dengannya untuk sekedar tahu, motivasi apa atau sedang menjalankan apa? dia selalu datang melayat. Andaikan ada yang mencoba mengajak berkomunikasi dan bertanya, paling banter hanya mampu mengajak dia untuk makan snack atau ambil permen ataupun minum, untuk berbicara atau berkomunikasi tidak ada yang mampu. Atau mungkin juga banyak orang yang takut, berkomunikasi dengan orang ini yang perangainya sangat aneh.




Ataukah orang ini malah sudah bisa membedakan antara religiositas dan religi, sehingga dia hanya mau berbicara dengan orang-orang yang bisa menerapkan religiositas. Orang-orang yang tidak mempolitisir religi demi kepentingan pribadi, orang-orang yang tidak menistakan kepercayaan lain demi ambisi kelompoknya, orang-orang yang tidak membakar tempat ibadah kepercayaan lain hanya karena rasa tidak puas atas suatu keputusan pengadilan, orang-orang yang tidak “membisukan” yang lain. Mungkin tidak ada orang seperti itu sehingga bisa berkomunikasi dengan orang ini. Ataukah orang ini sudah paham bahwa lidah itu seperti pedang bermata dua sehingga jika tidak hati-hati akan sangat berbahaya, lalu orang ini selalu memilih diam untuk kebaikan dirinya dan orang lain. Ataukah dia diam karena memang sudah tidak ada lagi orang lain yang mau menjaga rahasianya yang sangat penting. Ah entahlah, banyak sekali tanda tanyaku tentang orang ini dan sayangnya akupun tidak bisa berkomunikasi dengan orang ini.

Kamis, 03 Februari 2011

Sore Hari Waktu Pulang


Sungguh suatu keajaiban bagiku melihat keindahan alam ini yang selalu berganti. Aku memperhatikan setiap sore, bentuk awan dan warna langit yang tak pernah sama. Memberikan seni tersendiri untuk diotak-atik bagaimanapun wujudnya, baik dengan teknik pemotretan maupun teknik pengeditan. Sungguh luar biasa keajaiban ini….

Selasa, 01 Februari 2011

Srenggi Celeng (Bagian Tiga)

Kali ini Jayus merenung di teras rumah setelah pulang dari rumah Mbah Dukun. “Sulit! Namun harus dicoba!” Begitu pikirnya.
Selama ini memang dia tidak menyadari sembilan lubang yang ada di tubuhnya. Jangankan menghitung, menyadari keberadaannya saja tidak pernah, namun kali ini dia harus menyadari penggunaannya. Syukur-syukur digunakan untuk hal yang baik-baik. Selama ini pula, hal yang baik ataupun tidak dia juga tidak tahu, hanya kadang kadang dia mengukur perbuatan baik atau tidak berdasarkan naluri saja, jika dalam hatinya rasanya damai dan tenteram dia akan melakukan apa yang dia pikirkan dan akan dilaksanakan, kalau dalam hatinya timbul rasa panas dan tidak enak, dia akan mengurungkan niatnya itu. Pernah dia melakukan suatu perbuatan, setelah melakukan perbuatan itu timbul rasa bersalah dalam hatinya dan penyesalan yang tak habis-habis dalam hatinya, setelah itu dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu.
Mata. Dia tidak pernah menyadari bahwa punya mata yang indah, normal, tidak buta warna, dan tidak rabun. Dengan dua mata indah miliknya dia bisa membedakan segala warna yang ada di dunia. Segala bentuk binatang, pohon, rumah, mobil, apapun bisa dia lihat. Hidung, telinga, mulut, anus, dan kemaluan, itulah sembilan lubang yang ada di tubuhnya yang selama ini tidak dia awasi penggunaanya. Satu hal juga yang baru dia sadari bahwa yang juga punya peran utama dalam sembilan lubang itu adalah pikirannya yang setelah dia renungkan kadang jorok, ngeres, bahkan pernah dia punya rencana untuk menghancurkan hubungan baik sahabatnya dengan pacarnya dengan pikiran itu. “Ah betapa bodohnya aku waktu itu,” Pikirnya dalam hati.
Kali ini satu hal saja yang akan dilakukannya selama sembilan hari. Puasa Mata. Matanya harus dipuasakan dari hal-hal yang tidak baik. Perasaan enak atau tidak enak, perasaan bersalah atau tidak, rasa tenteram dan damai dalam hatinyalah yang akan mengawasi dan menjadi hakimnya.
Sembilan hari berlalu. Tidak ada perubahan apapun di sekelilingnya. Namun begitu dia memejamkan matanya dia malah bisa melihat ular berbisa di depannya. Macan putih di pojok bangunan. Dan ketika dia berjalan di belakang dua orang yang sedang pacaran dan menutup matanya, dia melihat buaya dan ular berbisa sedang berjalan bergandengan mesra.
Dalam suatu orasi politik ketika dia menutup mata, dia melihat muntahan kecoa yang bertebaran ke mana-mana dari mulut seorang orator. Bahkan ketika melihat seorang pejabat yang sedang meresmikan suatu proyek, ketika dia menutup mata, dia melihat seekor gurita raksasa yang sedang menggunting pita.
“Ah rasanya ada yang salah dengan mata ini”. Akhirnya dia selalu membuka matanya lebar-lebar agar tidak memejamkan mata dan melihat binatang-binatang aneh di mana-mana. Dia ingin pulang, mungkin mata ini kelelahan dan ingin istirahat.
Sesampainya di rumah dia berdiri di depan cermin dan mengaca. Tidak ada yang cacat atau salah dengan matanya, masih normal seperti dulu. Namun begitu dia memejamkan mata, dia melihat seekor binatang bertaring juga bermoncong mirip seperti celeng.

Srenggi Celeng

Semenjak tersiar kabar tentang adanya srenggi celeng yang merusak sawah Jayus, Dusun Upeti tampak lengang. Sehabis matahari terbenam tak ada seorangpun yang berani keluar rumah. Antar rumah dan warga menjadi saling curiga, bahkan perasaan mereka menjadi sangat sensitif. Tak pernah ada yang bisa melihat srenggi celeng, kecuali hanya gambaran kira-kira dari Mbah Dukun. Lalu ada juga yang ikut-ikutan sawahnya dibuat seperti milik Jayus agar juga namanya ikut ngetop. Entah, sejak adanya srenggi celeng yang menyerang lahannya, Jayus menjadi terkenal dan dibicarakan dimana-mana. Di pasar, di warung, di sekolah, bahkan di dapur ibu-ibu juga membicarakan Jayus. Bagi beberapa warga yang mengekor tanpa melihat ke lokasi Mbah Dukun sudah tahu bahwa mereka bohong. Mbah Dukun juga lebih dipercaya oleh warga dusun daripada Pak PPL. Tidak hanya warga, Pak Lurah yang awalnya tidak peduli dengan apa yang terjadi di sawah Jayus sekarang ikut merasa takut. Semua warga lebih banyak diam, karena takut disalahkan. Bahkan hanya oleh letusan mercon anak-anak di tengah sawah, Pak Lurah sudah panik dan segera mengerahkan petugas keamanan desa. Anak-anak lagi yang disalahkan dan menjadi korban tanpa mereka tahu apa-apa. Betapa terkejutnya mereka ketika lagi asik bermain mercon, tiba-tiba ditangkap keamanan desa.
Hujan gerimis mulai turun membasahi atap rumah Jayus, airnya merembes ke tonggak kayu dan dinding kayu jati muda yang berbentuk limasan itu. Di antara suara gerimis hujan dan dinginnya udara malam, di dapur Jayus masih melamun disamping perapian sambil membolak-balik bambu kering untuk menghangatkan badan dan mendidihkan air. Doorr! Tiba-tiba letusan dari perapian itu bersuara agak keras yang mengagetkan istrinya yang sedang melipat pakaian yang kering.
“Letusan apa Pak?”
“Ndak apa-apa. Ini hanya suara bambu kering.”
“Mbok jangan pakai bambu utuh, pakai aja yang sudah dibelah. Situasi lagi begini jangan membuat suara yang aneh-aneh. Mbok inget Pakne, sawahmu saja sudah jadi pergunjingan di mana-mana kok malam-malam begini buat suara. Mbok Inget, Kriwil saja yang hanya selingkuh dengan Jeng Lina dipenjara 3,7 bulan dan didenda 250 ribu. Kamu ini orang miskin sukanya macem-macem.
“Mbok udah Bu, lha wong hanya bambu meletus kok sampai mana-mana. Sudah-sudah sana ! Aku juga lagi bingung.”
Malam kembali hening. Hanya kadang suara gemeretak kayu bakar memecah lamunan Jayus yang masih teringat kata-kata terakhir Mbah Dukun.
“Kalau kamu sudah siap puasa, akan kutunjukkan caranya.”

Sabtu, 29 Januari 2011

Srenggi Celeng

Sebelum sinar mentari mengintip dari balik belahan Gunung Merbabu, seperti biasa Mas Jayus sudah berjalan keluar gubuk untuk melihat sawahnya. Musim panen hampir tiba jangan sampai pagi ini dia kalah dengan pipit yang pagi hari sudah duluan mencicipi bulir-bulir padinya. Bentangan tali yang sudah dipasang untuk mengusir pipit sudah lama dia siapkan, juga orang-orangan sawah yang dia tancapkan di pojok petak. Namun pagi itu matanya terbelalak heran begitu sampai di tepi sawah. Padinya sebagian sudah rebah dirusak binatang. “Celeng kurang ajar!” Gumam marahnya dalam hati. Namun begitu melihat kerusakan sawahnya kali ini dia semakin heran. “Celeng yang merusak sawah kali ini sangat cerdas karena meninggalkan jejak yang rapi.” Pikirnya dalam hati.
Pak Lurah yang pagi itu masih sibuk dan bingung karena hujan turun seharian kemarin membuat banjir sungai dan membuat beberapa warganya sebagian rumahnya ada yang terbenam, tidak mempedulikan Jayus yang pagi itu melapor ke kantornya tentang celeng aneh yang merusak sawahnya. “Kalau masalah hama tanaman seperti celeng, melapor saja kepada Pak PPL, dia yang lebih paham.” Jawab Pak Lurah kepada Jayus. “Tapi ini celeng aneh Pak, tidak seperti biasanya.” Sela Jayus ingin agar Pak Lurah meninjau sawahnya. “Saya sedang sibuk, melapor ke Pak PPL saja.” Meskipun tidak yakin akhirnya Jayus pergi juga ke kantor PPL di samping kelurahan. “Baiklah, perlu saya teliti lebih lanjut.” Jawab PPL.
Sudah beberapa hari Pak PPL tidak juga mengunjungi sawahnya. Akhirnya Jayus pergi ke rumah Mbah Dukun dan tanpa menunggu lama, Mbah Dukun segera membuat ritual pribadinya untuk melihat kondisi sawah jayus dari lokasinya berada. “Hmmmm….sudah saya duga.” Gumam Mbah Dukun sambil memejamkan matanya. “Kalau ini bukan ulah celeng, yang ini adalah ulah srenggi celeng.” “Srenggi celeng? Apa itu Mbah?” “Srenggi itu adalah ratunya para celeng yang tak kelihatan, dia yang menjaga dan memimpin kawanan para celeng tersebut.” “Kok saya baru tahu yang namanya srenggi celeng, apakah saya bisa melihatnya Mbah?” “Semua orang sebenarnya bisa dan mampu untuk melihat srenggi tersebut asalkan dia melakukan ritual tertentu. Besoklah saya ajari kamu untuk melihat srenggi celeng yang merusak sawahmu itu jika kamu sudah punya niat.” “Niat gimana Mbah?” “Jika kamu sudah siap puasa.”
Beberapa hari berselang Pak PPL akhirnya meninjau juga sawah Jayus dengan mengambil sampel beberapa tanaman yang roboh, Pak PPL akan melakukan penelitian di laboratoriumnya. Setelah diteliti Pak PPL melaporkan ke Jayus bahwa yang merusak sawahnya adalah ulah manusia sebab dari bekas patahan sangat jelas ini ulah manusia. Jayus semakin bingung, Kata Mbah Dukun ini adalah ulah srenggi celeng sedangkan menurut Pak PPL ini adalah ulah manusia. “Apakah srenggi itu manusia berkepala celeng?” Pikir Jayus dalam hati. (Bersambung)

Rabu, 19 Januari 2011

Memotret untuk Pemula


Setelah mencoba lama menggunakan digital kamera Fuji F 455 karena hanya kamera itu yang saya punya, ada keinginan untuk berbagi pengalaman selama memotret menggunakan kamera itu. Beberapa sahabat menyarankan agar menulis dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh semua orang , “jangan menulis dengan bahasa sulit atau kata-kata tingkat tinggi yang hanya dipahami oleh alien” kata mereka. Baiklah teman-teman kita mulai saja membicarakan kamera ini.
Pertama kali memegang kamera ini, oleh customer service-nya diajari cara memasang baterai yang berbentuk kotak dengan menekan pakai ibu jari dan mendorongnya sedikit ke depan. Setelah terbuka, dipasang baterai itu dan juga kotak tipis yang sering disebut XD yang merupakan kartu untuk menyimpan memori foto, XD ini kapasitasnya macem-macem ada yang hanya 16 MB, ada yang 125 MB, ada yang 250 MB, 552 MB, 1 GB, 2 GB, dst. Dulu waktu beli bawaan dari kameranya adalah 16 MB namun karena promo oleh tokonya diberi bonus XD dengan kapasitas 250 MB. Setelah semua terpasang maka dicobalah dinyalakan tombol on-off di bagian atas lalu di bagian belakang atas ada 3 setelan untuk melihat hasil foto, membuat video, dan memotret. Pencobaan pertama adalah memilih setelan memotret setelah dicoba menjepret lalu dilihat hasilnya. Lalu setelah ada hasilnya, jangan lupa untuk penggunaan pertama baterai perlu dicas selama 4 jam agar penuh.
Di bagian belakang kamera ada kotak untuk melihat hasil maupun memotret object yang akan dipotret hal ini sangat memudahkan untuk proses “framing” atau mengepaskan object ke dalam bingkai foto supaya hasilnya bisa dinikmati oleh orang yang melihat foto tersebut. Selain itu, ada fasilitas zoom di kanan atas tapi menurut pengalaman saya jika menggunakan zoom ini hasilnya tidak tajam jadi kalau tidak terpaksa, penggunaan zoom ini dihindarkan saja. Selain itu juga ada fasilitas makro yang berupa tanda bunga yang digunakan memotret object-object kecil dengan jarak 10 cm.
Pertama kali dulu setelah mencoba memotret beberapa even untuk amannya kamera ini saya set serba otomatis sehingga hasilnya standar. Berdasarkan pengalaman juga kamera ini kurang baik untuk memotret dokumentasi malam hari karena red-eye nya kurang berfungsi maksimal sehingga setelah dicetak meskipun sudah menggunakan fasilitas red-eye masih juga ada gambar orang yang matanya seperti mata kucing yang bercahaya. Namun jika untuk memotret dokumentasi pagi sampai sore hasilnya akan tajam. Namun bagi mereka yang suka akan seni, mungkin memotret malam hari setelah matahari terbenam punya sensasi tersendiri karena jika tanpa blitz hasilnya akan tampak warna biru yang lain dari biasanya. Kamera ini paling bagus hasilnya untuk memotret obyek dengan jarak potret kurang dari 2 m, di atas jarak itu hasilnya akan kurang maksimal.
Jika untuk kepentingan non dokumentasi, saya berani mencoba mengeksplorasi kamera dengan setelan hitam putih maupun krom. Namun untuk hasil yang nyeni akan lebih baik tidak usah menggunakan blitz dan yang paling utama dalam memotret adalah KAMERA JANGAN SAMPAI GOYANG WAKTU MEMOTRET, karena akan menyebabkan ada bayangan pada hasil. Itu dulu teman-teman berbagi ceritaku tentang memotret. Selamat memotret dan mencoba……