Rabu, 09 Februari 2011

Layat


Hari ini aku layat. Namun yang kuperhatikan bukanlah para pelayat yang datang memasukkan amplop di kotak lalu duduk di kursi yang sudah disediakan untuk para pelayat. Ada seseorang yang berpotongan agak pendek, bisu, dan hanya cengar-cengir melihat kanan-kiri tanpa alas kaki. Orang ini hanya mondar-mandir di sekitar lokasi layatan, kuperhatikan kali ini orang ini tidak ditawari dos snack ataupun permen seperti orang-orang lain yang memasukkan amplop. Yang aku herankan adalah setiap ada layatan orang ini selalu ada. Dia bukan penjual peti ataupun penjual karangan bunga. Dia orang bisu dan tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain, hanya kadang dengan bahasa isyarat entah paham atau tidak. Orang ini tidak punya handphone, tidak punya facebook, dan kelihatannya juga tidak bisa membaca. Namun, yang mengherankan adalah dalam setiap layatan mengapa dia sering hadir? Pertanyaan lain yang muncul kemudian adalah, siapa yang memberi tahu dia bahwa di RW ini ada sripah atau lelayu?


Banyak orang-orang menjawab, bahwa dia itu malaikat pencabut nyawa. Namun menurutku bukan, sebab dia selalu hadir sesudah orang yang meninggal mau diberangkatkan. Bukan di detik-detik sakratul maut. Lalu banyak juga yang menjawab bahwa dia itu punya pembimbing yang tidak tampak yang selalu berkomunikasi dengan dirinya yang selalu menuntun kemana dia harus pergi. Berbeda dengan orang lain, jika datang melayat adalah orang yang dikenal entah itu tetangga, teman di komunitas, teman lama, saudaranya teman, bapak, ibu, kerabatnya teman, atau saudara dan biasanya orang yang datang layat kenal dengan almarhum. Namun, orang aneh ini kelihatannya juga tidak kenal namun selalu datang melayat. Kelihatannya dia juga penganut aliran multikultur dan orang yang pluralis sebab dia melayat tidak memandang apakah dia agamanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, Kejawen, maupun aliran kepercayaan yang lain. Sayangnya tidak ada orang-orang yang mampu berkomunikasi dengannya untuk sekedar tahu, motivasi apa atau sedang menjalankan apa? dia selalu datang melayat. Andaikan ada yang mencoba mengajak berkomunikasi dan bertanya, paling banter hanya mampu mengajak dia untuk makan snack atau ambil permen ataupun minum, untuk berbicara atau berkomunikasi tidak ada yang mampu. Atau mungkin juga banyak orang yang takut, berkomunikasi dengan orang ini yang perangainya sangat aneh.




Ataukah orang ini malah sudah bisa membedakan antara religiositas dan religi, sehingga dia hanya mau berbicara dengan orang-orang yang bisa menerapkan religiositas. Orang-orang yang tidak mempolitisir religi demi kepentingan pribadi, orang-orang yang tidak menistakan kepercayaan lain demi ambisi kelompoknya, orang-orang yang tidak membakar tempat ibadah kepercayaan lain hanya karena rasa tidak puas atas suatu keputusan pengadilan, orang-orang yang tidak “membisukan” yang lain. Mungkin tidak ada orang seperti itu sehingga bisa berkomunikasi dengan orang ini. Ataukah orang ini sudah paham bahwa lidah itu seperti pedang bermata dua sehingga jika tidak hati-hati akan sangat berbahaya, lalu orang ini selalu memilih diam untuk kebaikan dirinya dan orang lain. Ataukah dia diam karena memang sudah tidak ada lagi orang lain yang mau menjaga rahasianya yang sangat penting. Ah entahlah, banyak sekali tanda tanyaku tentang orang ini dan sayangnya akupun tidak bisa berkomunikasi dengan orang ini.

Kamis, 03 Februari 2011

Sore Hari Waktu Pulang


Sungguh suatu keajaiban bagiku melihat keindahan alam ini yang selalu berganti. Aku memperhatikan setiap sore, bentuk awan dan warna langit yang tak pernah sama. Memberikan seni tersendiri untuk diotak-atik bagaimanapun wujudnya, baik dengan teknik pemotretan maupun teknik pengeditan. Sungguh luar biasa keajaiban ini….

Selasa, 01 Februari 2011

Srenggi Celeng (Bagian Tiga)

Kali ini Jayus merenung di teras rumah setelah pulang dari rumah Mbah Dukun. “Sulit! Namun harus dicoba!” Begitu pikirnya.
Selama ini memang dia tidak menyadari sembilan lubang yang ada di tubuhnya. Jangankan menghitung, menyadari keberadaannya saja tidak pernah, namun kali ini dia harus menyadari penggunaannya. Syukur-syukur digunakan untuk hal yang baik-baik. Selama ini pula, hal yang baik ataupun tidak dia juga tidak tahu, hanya kadang kadang dia mengukur perbuatan baik atau tidak berdasarkan naluri saja, jika dalam hatinya rasanya damai dan tenteram dia akan melakukan apa yang dia pikirkan dan akan dilaksanakan, kalau dalam hatinya timbul rasa panas dan tidak enak, dia akan mengurungkan niatnya itu. Pernah dia melakukan suatu perbuatan, setelah melakukan perbuatan itu timbul rasa bersalah dalam hatinya dan penyesalan yang tak habis-habis dalam hatinya, setelah itu dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu.
Mata. Dia tidak pernah menyadari bahwa punya mata yang indah, normal, tidak buta warna, dan tidak rabun. Dengan dua mata indah miliknya dia bisa membedakan segala warna yang ada di dunia. Segala bentuk binatang, pohon, rumah, mobil, apapun bisa dia lihat. Hidung, telinga, mulut, anus, dan kemaluan, itulah sembilan lubang yang ada di tubuhnya yang selama ini tidak dia awasi penggunaanya. Satu hal juga yang baru dia sadari bahwa yang juga punya peran utama dalam sembilan lubang itu adalah pikirannya yang setelah dia renungkan kadang jorok, ngeres, bahkan pernah dia punya rencana untuk menghancurkan hubungan baik sahabatnya dengan pacarnya dengan pikiran itu. “Ah betapa bodohnya aku waktu itu,” Pikirnya dalam hati.
Kali ini satu hal saja yang akan dilakukannya selama sembilan hari. Puasa Mata. Matanya harus dipuasakan dari hal-hal yang tidak baik. Perasaan enak atau tidak enak, perasaan bersalah atau tidak, rasa tenteram dan damai dalam hatinyalah yang akan mengawasi dan menjadi hakimnya.
Sembilan hari berlalu. Tidak ada perubahan apapun di sekelilingnya. Namun begitu dia memejamkan matanya dia malah bisa melihat ular berbisa di depannya. Macan putih di pojok bangunan. Dan ketika dia berjalan di belakang dua orang yang sedang pacaran dan menutup matanya, dia melihat buaya dan ular berbisa sedang berjalan bergandengan mesra.
Dalam suatu orasi politik ketika dia menutup mata, dia melihat muntahan kecoa yang bertebaran ke mana-mana dari mulut seorang orator. Bahkan ketika melihat seorang pejabat yang sedang meresmikan suatu proyek, ketika dia menutup mata, dia melihat seekor gurita raksasa yang sedang menggunting pita.
“Ah rasanya ada yang salah dengan mata ini”. Akhirnya dia selalu membuka matanya lebar-lebar agar tidak memejamkan mata dan melihat binatang-binatang aneh di mana-mana. Dia ingin pulang, mungkin mata ini kelelahan dan ingin istirahat.
Sesampainya di rumah dia berdiri di depan cermin dan mengaca. Tidak ada yang cacat atau salah dengan matanya, masih normal seperti dulu. Namun begitu dia memejamkan mata, dia melihat seekor binatang bertaring juga bermoncong mirip seperti celeng.

Srenggi Celeng

Semenjak tersiar kabar tentang adanya srenggi celeng yang merusak sawah Jayus, Dusun Upeti tampak lengang. Sehabis matahari terbenam tak ada seorangpun yang berani keluar rumah. Antar rumah dan warga menjadi saling curiga, bahkan perasaan mereka menjadi sangat sensitif. Tak pernah ada yang bisa melihat srenggi celeng, kecuali hanya gambaran kira-kira dari Mbah Dukun. Lalu ada juga yang ikut-ikutan sawahnya dibuat seperti milik Jayus agar juga namanya ikut ngetop. Entah, sejak adanya srenggi celeng yang menyerang lahannya, Jayus menjadi terkenal dan dibicarakan dimana-mana. Di pasar, di warung, di sekolah, bahkan di dapur ibu-ibu juga membicarakan Jayus. Bagi beberapa warga yang mengekor tanpa melihat ke lokasi Mbah Dukun sudah tahu bahwa mereka bohong. Mbah Dukun juga lebih dipercaya oleh warga dusun daripada Pak PPL. Tidak hanya warga, Pak Lurah yang awalnya tidak peduli dengan apa yang terjadi di sawah Jayus sekarang ikut merasa takut. Semua warga lebih banyak diam, karena takut disalahkan. Bahkan hanya oleh letusan mercon anak-anak di tengah sawah, Pak Lurah sudah panik dan segera mengerahkan petugas keamanan desa. Anak-anak lagi yang disalahkan dan menjadi korban tanpa mereka tahu apa-apa. Betapa terkejutnya mereka ketika lagi asik bermain mercon, tiba-tiba ditangkap keamanan desa.
Hujan gerimis mulai turun membasahi atap rumah Jayus, airnya merembes ke tonggak kayu dan dinding kayu jati muda yang berbentuk limasan itu. Di antara suara gerimis hujan dan dinginnya udara malam, di dapur Jayus masih melamun disamping perapian sambil membolak-balik bambu kering untuk menghangatkan badan dan mendidihkan air. Doorr! Tiba-tiba letusan dari perapian itu bersuara agak keras yang mengagetkan istrinya yang sedang melipat pakaian yang kering.
“Letusan apa Pak?”
“Ndak apa-apa. Ini hanya suara bambu kering.”
“Mbok jangan pakai bambu utuh, pakai aja yang sudah dibelah. Situasi lagi begini jangan membuat suara yang aneh-aneh. Mbok inget Pakne, sawahmu saja sudah jadi pergunjingan di mana-mana kok malam-malam begini buat suara. Mbok Inget, Kriwil saja yang hanya selingkuh dengan Jeng Lina dipenjara 3,7 bulan dan didenda 250 ribu. Kamu ini orang miskin sukanya macem-macem.
“Mbok udah Bu, lha wong hanya bambu meletus kok sampai mana-mana. Sudah-sudah sana ! Aku juga lagi bingung.”
Malam kembali hening. Hanya kadang suara gemeretak kayu bakar memecah lamunan Jayus yang masih teringat kata-kata terakhir Mbah Dukun.
“Kalau kamu sudah siap puasa, akan kutunjukkan caranya.”