Sabtu, 07 Mei 2011

Merpati Ingkar Janji


Peristiwa berawal ketika munculnya merpati putih jantan yang sering disebut oleh masyarakat sebagai “doro nyewu”. Bukan berarti harga merpati ini seribu rupiah, namun merpati ini sering dipakai sebagai simbol sempurnanya orang yang sudah meninggal dan terbang kembali ke surga meninggalkan keluarga yang dicintai. Merpati yang diterbangkan pada perayaan seribu hari ini biasanya sepasang merpati putih. Dalam tradisi Katolik, Roh Kudus juga sering disimbolkan dalam wujud burung merpati putih. Setelah melewati masa 7 hari, 40 hari , 100 hari, setahun, dan akhirnya seribu hari sudah genaplah semua ceremonial dan doa yang dipanjatkan bagi orang yang sudah meninggal. Makamnya kemudian akan diberi kijing sebagai tanda atau “tetenger” yang berarti “ Jing Iki “ atau “Yang Ini”.
Hinggapnya merpati putih jantan itu yang akhirnya dipelihara oleh teman-teman menjadi tanda berkah yang akan hinggap di kelompok atau komunitas ini. Ketika mendapatkan merpati putih itu beberapa mengatakan “Ojo didol opo diburke, diopeni wae.” Maka komunitas yang awalnya hanya theng-theng crit [thenguk-thenguk crito] punya kegiatan riil yang mau tidak mau harus dilakukan yaitu memelihara merpati putih dan lele. Karena belum punya gupon atau kandang maka teman-teman membuat kandang burung dengan kayu bekas seadanya dan strimin. Akhirnya kandang ala kadarnya untuk menghindarkan merpati dari teriknya matahari dan terpaan hujan jadi sudah. Perlu dimaklumi, karena yang membuat kandang bukan tukang kayu, kandang yang jadipun sangat minimalis dan kurang bagus jika dipandang namun fungsi bagi merpati lebih dari cukup.
Setelah kandang jadi, muncul permasalahan baru. Rasanya kasihan jika burung merpati jantan ini sendirian, maka ketika pasaran legi, kami pergi ke Pasar Kotagede untuk mencari merpati putih kucir betina. Dari sekian banyak penjual merpati yang menjual merpati putih betina hanya satu penjual dan dia memasang harga tinggi untuk burung itu, namun sesuai hukum ekonomi semakin langka barang harga semakin tinggi, maka mau tak mau dibeli juga burung itu. Setelah dijadikan satu dengan pejantan, si jantan langsung “mbekur” tanda mereka jodoh.
Sebulan berlalu, upaya memberi makan dan minum yang dilakukan bergiliran sudah terlaksana. Upaya memberi jerami untuk tempat bertelur juga sudah dilakukan dengan harapan sepasang merpati ini akan berkembang biak menjadi bertambah. Namun sudah sebulan tidak ada tanda-tanda merpati akan punya anak sebab bertelur aja belum. Maka muncul pertanyaan baru, apakah kandangnya tidak sesuai? Beberapa juga kasihan dengan dikandangnya terus merpati ini, sebab beberapa teman melihat bahwa merpati biasanya dibiarkan bebas berkeliaran. Ide membuat gupon yang layak dan lebih gelap muncul, maka dalam waktu 2 hari gupon baru jadi. Dan sepasang merpati itu punya rumah yang lebih layak dari sebelumnya.
Namun permasalahan baru muncul lagi, bisakah merpati kucir yang sudah tua “omah”? sebab sepengetahuan beberapa teman, merpati kucir tua ini mirip dengan merpati pos yang sulit punya rumah baru, kecuali dipelihara sejak “piyik” atau merpati itu masih kecil. “Dilatih.” Itulah jawaban spontan dari teman-teman. Sampai suatu pagi, di hari minggu yang cerah kami dapat SMS. “berita sedih, ada sepasang merpati putih terbang ke arah timur. Gupon dalam keadaan terbuka.”

Minggu, 8 Mei 2011.