Minggu, 16 Oktober 2011

Sumber Air

Keterpisahan itu membuat dirinya bingung. Mau kembali rasanya sudah tak mungkin dan dia sudah bosan berada di sana. Mau pergi ke tempat baru tidak ada jaminan kepastian dan seperti apakah pengalaman berada di tempat baru itu masih ada di bayangan dan mimpinya. Dalam kebimbangan itu, dia diam, dan bertanya pada dirinya sendiri.

Rasanya baru kemarin dia mengalami masa-masa sebagai anak-anak, dimanja, menang sendiri, keinginanya selalu ingin dipenuhi, dan cengeng. Tidak ingin dia meninggalkan masa-masa itu, sebab menyadari bahwa semakin bertambah umur tuntutan dan tanggung jawab yang diukurkan kepadanya terasa semakin berat. Pergi naik sepeda bersama teman-teman sepermainannya menuju tempuran sungai dan berenang di sana adalah perjalanan paling jauh yang pernah dia tempuh. Tempat itu pula yang tidak pernah dia lupakan dan juga tidak akan pernah dia kunjungi lagi. Melihat tempuran sungai mengingatkan dua teman akrabnya yang kini sudah tiada.
Kali ini dia berada di tepi sebuah sungai, air terjun yang tidak begitu tinggi terdengar bagaikan genderang drumband yang memukul dasar sungai yang meninggalkan cekungan yang lebih rendah dari dasar sungai yang lain. Di seberang selatan air terjun itu dulu dia juga pernah belajar berenang bersama teman-teman kecilnya. Hanya kegiatan itu tidak pernah lagi dilakukan setelah peristiwa berenang di tempuran. Dimana sumber air ini? Kadang begitu dia bertanya, mungkin di atas sana ada air terjun yang lebih indah daripada air terjun yang dia lihat kali ini. Ia ingin berjalan menyusuri sungai ini dan melihat sumber paling indah di atas sana. Jika di bawah bunyi air terjun terdengar seperti suara lagu sebuah alunan drumband mungkin sumber air di atas sana akan terdengar seperti sebuah orchestra.
Untuk perjalanan mencari sumber air ini ternyata tak ada teman yang mau diajak. Teman sepermainannya dulu sudah jelas tidak mau turut serta, bahkan sekarang ada yang trauma terhadap air. Akhirnya dia berjalan sendiri mencari sumber air. Susur sungai menjadi perjalanan yang sangat senang dia lakukan namun sekaligus menyiksa batinnya sendiri. Baru sampai di tengah saja yang dia saksikan begitu mengerikan, dia berjumpa dengan banyak hantu penunggu sungai yang mengancam dia agar jangan melewati tepi sungai. Hantu ini punya anak buah yang banyak sekali, ada gendruwo berwarna kuning yang tangannya sangat besar dan menakutkan. Tangannya mampu memukul batu besar dan melemparkannya ke atas sungai. Ada lagi hantu manis penunggu jembatan, dia akan menakuti siapa saja yang melewati jembatan yang sudah roboh itu. Hantu ini tidak ingin jembatan yang roboh itu dibangun kembali sebab jembatan ini mengingatkannya pada mantan kekasihnya yang sekarang sudah beristrikan wanita lain. Utuhnya jembatan ini akan mengingatkannya pada romantisme bersama mantan kekasihnya dulu. Berjalan lebih ke atas banyak dijumpainya gadis-gadis cantik yang menangis di atas reruntuhan sabo dam.
Semakin ke atas hatinya semakin pedih, buto ijo yang diceritakan banyak warga tepi sungai adalah penguasa sumber air itu. Tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkannya untuk mengambil sumber air. Dalam penasarannya bertemu dengan buto ijo dan ingin menikmati indahnya air terjun di sumber air paling atas, dia tertegun dengan seorang tua yang duduk di tepi sungai lama sekali dan tampak menikmati. Rasanya kakek itu tahu apa yang sedang dipikirkan oleh pencari sumber air ini. “Perjalananmu hanya akan seperti mencari sumbernya angin, seperti mencari kayu di batang kangkung.” Lalu kakek itu pergi dan menghilang.