Rabu, 11 Desember 2013

Postkolonialisme

Tanggal 11-12-13 adalah hari yang cantik, saking indahnya mungkin menjadi sesuatu yang tak terkatakan dan mungkin juga tak tertuliskan. Upaya untuk menuliskan ini hanya upaya agar ada sesuatu yang bisa dipandang tidak lebih, jika menjadi insight atau refleksi hanya menjadi bonus, karena keindahan dan kecantikan itu sebenarnya tak tertuliskan, jikapun bisa tertuliskan sudah tereduksi. Setelah membaca poster di sebuah dinding FB bahwa tanggal 11-12-13 ada acara Diskusi dan Sarasehan dalam rangka Dies Antropologi UGM yang 49 dengan tema “Refleksi Jelang Setengah Abad” di Gedung Margono tidak ada salahnya menghadiri momen penting ini. Acara dibuka dengan pembicara Pak Farukh HT yang bertemakan “Postkolonialisme dalam Budaya Indonesia”. Saya mencoba menuliskan beberapa poin yang secara subyektif bagi saya penting dan ada kemungkinan serapan yang saya terima kurang lengkap, harap maklum karena keterbatasan penangkapan saya. Realisme dan empirisme adalah peninggalan kolonialisme, ruang pada kolonial yang dikaji di sastra sebagai “realita magis” sebagai respon terhadap kolonialisme muncul kajian tentang postkolonial. Respon pertama dibentuknya negara bangsa sebagai teritori sebagai pembebas tata ruang kolonial. Tata ruang negara bangsa akhirnya disadari hanya menjadi reproduksi kolonial dengan bukti negara bangsa masih terjajah dan tidak terbebaskan. Kemudian orang mencari ruang lain, ruang yang lebih luas dari nation ini atau mencari ruang yang lebih sempit. Salah satu ruang yang lebih luas adalah:internasional, global, dan ekspatriat. Dan contoh ruang yang lebih sempit adalah adalah lokalitas sebagai alternatif dari nation state. Sifat kolonialisme adalah “ruang yang menuliskan di atas ruang sebelumnya”. Ruang yang tadinya heterogen, lokal, dan terbatas kemudian dihegemoni menjadi satu kebijakan demi keuntungan kolonial sebagai superstruktur. Tingkatannyang lebih kecil adalah kota, home, dan tubuh. Kemudian tingkatan kecil ini berusaha sebagai pembebas dari hegemoni kolonial. Ben Anderson dalam bukunya “Imagine Community” menafsirkan bahwa nation adalah komunitas yang dibayangkan. Sementara yang disebut komunitas riil adalah komunitas tatap muka. Adakah komunitas tatap muka yang tidak termediasi? Ada komunitas yang utuh dan lengkap dalam dirinya. Kolonial menulis di atas komunitas. Ketika komunitas di “overwrite” apakah ada komunitas “langsung”,”murni”,dan “tidak termediasi”. Ada pepatah “deso mowo coro, negoro mowo toto” Negara bersifat mengatur dan desa di overwrite. Contohnya misalnya Dalang adalah “cultural blocker”, desa tadinya tidak mengenal apa itu istana, kerajaan, birokrasi mereka adalah komunitas tatap muka yang dilihat sehari-sehari adalah kehidupan seperti itu, kemudian ada wayang atau kethoprak yang ditontonkan di desa itu. Dalang membawa ide dari raja dan priyayi. Warga desa tidak pernah melihat langsung kehidupan para priyayi ini dan seperti wayang dan kethoprak itulah bayangan mereka tentang raja dan kaum priyayi. Desa itu bocor dan masuklah kolonisasi di desa mereka. Efek kolonial masuk ke desa melalui kota, raja, kethoprak dan wayang. Adakah ruang yang “membebaskan” dari hegemoni kolonial? Imajinasi kolonial “barat” mengenai “timur” menggiurkan namun dilain pihak menakutkan. Adabuku tulisan Habidin Kusno yang membicarakan tentang Joglo di Taman Mini. Joglo itu hanya bagian depan yang diangkat dan yang belakang ditinggal. Sisi yang belakang ini merupakan sisi gelap yang tidak dimengerti sampai sekarang karena yang dibawa ke mana-mana hanya sisi terang dan hanya yang bagian depan. Setelah Pak Farukh masih ada pembicara lain yakni P.M Laksono. Kali ini Pak Laksono melanjutkan ada yang sudah disampaikan Pak Farukh dengan tema “Respon-respon Budaya Masyarakat Kabupaten Maluku Tenggara terhadap Prakarsa Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat” Budaya kita sudah terkoneksi dengan dunia, dengan jagat yang ramai. Belum tentu masyarakat yang terisolir tidak terkoneksi dengan dunia luar. Menara handphone itu ada di tempat yang sunyi, sepi, dan ada yang terpencil namun membawa pesan dari dunia. Makan nasi itu awalnya budaya kolonial, tidak semua daerah di Indonesia makan nasi, namun oleh ORBA makan nasi ini dipaksakan di seluruh Indonesia sehingga akhirnya semua daerah cinta nasi. Apakah benar kemerdekaan kita sudah menyingkirkan budaya kolonialisme? Kebudayaan kita lihat sebagai struktur sosial, budaya bisa berubah. Perubahan budaya memerlukan waktu dan proses yang lama dan kebudayaan sebagai wacana kreatif. Antropologi itu belajar atau mempelajari orang hidup berkomunitas. Salah seorang antropolog Peter Cary melihat bahwa istilah bangsa muncul bukan pada masa 1908 namun sudah sejak jaman Diponegoro. Masa Diponegoro inilah awal istilah bangsa. Diponegoro menulis Babad Diponegoro selama 9 bulan dan Peter Cary mempelajari babad ini membutuhkan waktu 30 tahun. Indonesia ini adalah “ruang antara”. Dalam “ruang” ini tidak ada definisi final, yang bisa dilakukan adalah menceritakan pengalaman kita yang bersifat fenomenologis sehingga reflektif. Posisi historis komunitas adat apakah ada yang “asli”? Salah satu contoh misalnya tentang isu “energi terbarukan” ada yang menciptakan isu bahwa bahan bakar fosil akan habis dan ini menciptakan kepanikan dalam kepanikan ini untuk menciptakan energi terbarukan beberapa lembaga yang menanggani proyek ini lalu kebanjiran dana milyaran rupiah namun tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Contoh lain adalah isu tambang busang di Kalimantan yang katanya mengandung emas yang banyak sehingga banyak investor masuk dan komunitas adat di sana juga tidak bodoh, mereka juga ikut bermain dengan isu politis ini sehingga komunitas adat ikut “ngedan”. Di jaman edan yen ora ngedan ora keduman. Yang namanya Adat dimana-mana (musyawarah/damai) termasuk di Kei Maluku. Penyelesaian masalah antara mereka yang arif secara lokal adalah musyawarah, hal ini seperti Bhinnekha Tunggal Ika tapi cara Kei. Adat perkawinan di setiap komunitas seperti inti dan pokok karena disana ada resiprositas dan redistribusi harta. Namun Mas Kawin di Kei tergolong mahal yakni senilai 1 meriam. Sehingga mengakibatkan inflasi harta kawin, sebab pendapatan masyarakat tidak senilai meriam tersebut sehingga jika ada yang mengadakan hajatan pernikahan mengakibatkan kebangkrutan. Namun hal ini juga bisa diselesaikan secara adat yakni bisa hutang dulu untuk mas kawin dan dibayar kemudian sehingga biarpun mahal acara pernikahan tetap selalu bisa dilangsungkan. Dalam hal program pemberdayaan masyarakat banyak yang gagal dan hal ini disimpulkan bahwa itu karena permasalahan budaya. Hal ini karena program yang dijalankan tidak bersifat interkoneksi. Padahal dalam pemberdayaan masyarakat ini tidak bisa bersifat parsial dan harus holistik atau menyeluruh dengan menghubungkan sejarah masa lalu dengan ruang kekinian

Senin, 09 Desember 2013

Spiritualitas St. Maria dan St. Yusup

Minggu sore kemarin sewaktu ikut misa, aku melihat kerangka gua natal di sebelah kiri depan sudah mulai terpasang. Entah mengapa dengan melihat kerangka gua natal itu mengingatkanku akan peristiwa beberapa tahun silam ketika Mudika Bramin dan Petrus ditunjuk untuk membuat gua natal. Waktu itu kami mengkonsep gua dengan kertas semen dan di samping gua kami desain ada sungainya atau air yang mengalir. Kebetulan ada teman yang waterpump-nya nganggur jadi selama masa natal bisa kita pinjam. Hampir satu bulan penuh kami mengerjakan gua itu siang dan malam. Karena masih muda dan idealis dengan beberapa konseptor akhirnya membuat penyelesaian gua berjalan lambat karena bongkar pasang kertas semen yang kurang sesuai. Siangnya ada yang nyicil memasang kertas semen membentuk gua versi mereka malamnya sama teman yang kurang sesuai dibongkar lagi, akhirnya untuk mempermudah pengerjaan yang mengkonsep biarlah satu orang yang lain membantu saja. Waktu kurang satu minggu dari target penyelesaian pengerjaan baru selesai 70% kira-kira sehingga malam harus lembur. Nah di proses kerja lembur ini peristiwa yang terlintas dalam misa kemarin sore itu terlintas lagi. Dulu ketika Koster Bintaran masih dijabat Mas Darman (Sekarang sudah meninggal) kami masih sering membantu memberesi alat-alat khususnya sehabis EKM, sehingga alat-alat musik dan sound misalnya harus segera dibereskan agar besok paginya bisa dipakai misa pagi dengan lancar dan bersih. Nah kebetulan waktu itu sore hari tinggal aku dan Mas Darman yang terakhir mau menutup pintu sakristi. Sebelum menutup pintu Mas Darman memberi tahu,” Kene tak andani, kae nang balkon mburi ono suster lagi sembahyang”. Aku yang tak melihat apapun hanya komentar,”Ah endi, raono, aku ra weruh.” “Kae lho lagi jengkeng, mesti tiap malam di sana.” Aku yang tetap tidak melihat hanya bilang,”Ah, ra weruh, njenengan thok wae le weruh,”. Lalu kami menutup pintu sakristi. Kembali lagi ke waktu lembur malam mengerjakan gua. Karena saya juga merasa bertanggung jawab kurang satu minggu gua natal masih belum selesai akhirnya kami tiap malam harus lembur. Malam itu kira-kira pukul 2.00 pagi, aku masih menstaples kertas semen yang sudah dicat hitam ke dalam kerangka bambu agar berbentuk menyerupai batu, teman-teman sudah kecapekan sehingga mereka beberapa tidur di ruang UKS. Karena kurasa kurang sedikit lagi dan wujud gua sudah mulai tampak maka kuselesaikan sendiri menstaples sendirian. Suasana hening, lalu lambat laun terdengar suara thok-thok-thok seperti orang memukuli kayu pake palu. Tadinya tidak kuperhatikan karena masih terbawa suasana ketika bersama teman bekerja ada yang memalu paku, ada yang menggergaji suara ramai, lalu ketika ada suara thok-thok-thok kukira ada teman yang masih memalu paku. Baru kusadari kemudian setelah sadar bahwa temanku semua sudah tidur di ruang UKS dan suara itu semakin mendekat, kali ini suara thok-thok tepat ada di belakangku di deretan bangku paling depan. Tadinya aku tidak berpikir apa-apa, tapi gara-gara ingat yang diceritakan Mas Darman beberapa waktu yang lalu, aku jadi merinding dan lari meninggalkan staples menuju tempat di mana teman-temanku sudah ngorok di ruang UKS dan bergabung pura-pura ngorok bersama mereka. Terlintas peristiwa itu aku hanya ketawa kecil dalam hati setelah melihat kerangka gua natal di Misa kemarin sore. Namun andaikan yang diceritakan Mas Darman dulu benar, tentu saja pemaknaanku sekarang berbeda, ketika suara thok-thok-thok itu mendekat tentu saja ada pesan yang ingin disampaikan kepadaku dengan caranya. Dan kira-kira apa pesan itu?
Gerakan Wanita di Bintaran. Setelah kubuka-buka lagi sejarah Bintaran ternyata memang gerakan perempuan di Bintaran juga sudah tua. Dalam buku “Kenangan Tahun Syukur Intan” pada tahun 1937 Mudo Wanita Katholik (MWK) mengadakan kegiatan di “kamar idjoe” Patoran Bintaran berupa kursus ketrampilan seperti menyulam, membuat corsage,merangkai bunga dan berbagai kegiataan lainnya. Masa ketika Rama Soegijapranata,SJ masih di Kidulloji sebelum di Bintaran, di kanan-kiri gereja Kidulloji terdapat kompleks biara Bruder FIC dan Suster OSF, Fransiskanes dari Heythusen, masing-masing dengan sekolah. Di depan Pastoran Kidulloji, melintas jalan- namanya Kampemenstraat. Pelayanan pendidikan untuk kaum pribumi juga berkembang. Semula hanya ada di tiga tempat, yaitu satu untuk anak-anak Eropa di susteran Yogyakarta dan dua untuk anak-anak pribumi di Mendut dan Muntilan dengan beberapa ratus siswa. Dalam komunitas Serikat Yesus di pastoran Kidulloji, sampai menjelang kedatangan Romo Soegijapranata, ada lima Yesuit yang tinggal di sana. Komunitas tersebut dipimpin oleh Romo G. Rietra yang mengemban tugas pelayanan sakramental dan pelayanan pastoral lainnya seperti memimpin perayaan Ekaristi, menerimakan sakramen pengampunan dosa, mengajar agama, berkhotbah, menjadi pendamping kelompok generasi muda, kelompok militer, kelompok suster-suster CB, dan OSF serta bruder-bruder FIC dan beberapa organisasi lainnya. (Subanar, 2003:102). Sekolah Mendut ini punya kiprah yang luar biasa dalam emansipasi perempuan Katolik seperti yang ditulis oleh Iswanti dalam bukunya berjudul “Jalan Emansipasi Perempuan Katolik Pionir dari Mendut 1908-1943” yang diterbitkan kanisius 2008. Tampak dari keterangan di atas bahwa gerakan emansipasi wanita khususnya di Yogyakarta yang menyentuh Bintaran dan sekitarnya tidak bisa lepas dari peran pendidikan. Pendidikan dan sekolah terbukti memiliki peran yang penting dalam sebuah gerakan emansipasi perempuan.
Spiritualitas St. Maria dan St.Yusup. Dalam film “The nativity story” dikisahkan bagaimana perjalanan St.Yusup dan St. Maria. Dalam film itu dikisahkan bagaimana Maria dan Yusup dijodohkan oleh orangtua mereka, sisi manusiawi dan pertimbangan manusia juga ditampilkan dalam film ini, bagaimana Maria yang masih sangat muda dan Yusup yang sudah cukup berumur harus bersama. Masa-masa Maria yang masih senang bermain dengan teman sebayanya seolah direnggut dengan peran yang harus dijalaninya bukan menurut kehendaknya. Jika bukan Malaikat Gabriel yang memberikan wahyu, mungkin keputusan mereka lain. Bagaimana iman mereka sangat diuji dengan menerima sabda dan meninggalkan bahkan meniadakan ego mereka untuk karya penyelamatan. Natal menjadi bukti kesetiaan iman mereka.

Jumat, 06 Desember 2013

Mencoba Memahami “100% Katolik 100% Indonesia” dan kadang ada yang menambahkan “ 100% Jawa”

Minggu, 8 April 1934 suasana peresmian Gereja Santo Yusup Bintaran Yogyakarta amat semarak. Dalam ruangan luas di belakang gereja, aula paroki yang sebagian dimanfaatkan untuk ruang sekolah dasar, hadirin berkumpul. Pidato sambutan disampaikan oleh Romo Provicaris –pimpinan misi serta dua orang wakil masyarakat Katholik Jawa, Raden Mas B. Djajaendra dan Raden Mas L. Jama. Keduanya bekas murid sekolah guru Muntilan yang saat itu bekerja di sekolah Bruderan Yogyakarta. Sayangnya, salah seorang pemrakarsa pembangunan yaitu Rama van Driessche tidak bisa hadir. Kondisi kesehatannya mengharuskan beliau tetap berbaring di rumah sakit dan tidak diizinkan dokter berangkat ke Bintaran. Tetapi sudah bisa dipastikan bahwa hati dan jiwanya menyertai kegembiraan umat dalam menyambut datangnya gereja baru milik mereka. Sebuah artikel dalam Majalah St. Claverbond melukiskan suasananya sebagai berikut: “Sesaat jarum melewati angka tujuh, waktu penantian berakhir. Yang Mulia Provicaris Rama A. Th. van Hoof, SJ langsung menuju depan. Diawali para pelayan misa (putera altar) serta diiringi dua rohaniawan terkemuka, Rama van Kalken, SJ –Regulier Ovreste Missi Jesuit di Jawa serta Rama G. Riestra, SJ –pastor kepala di Yogyakarta (massa itu). Prosesi keliling gereja segera dilakukan, dilengkapi dengan pemberkatan serta doa keselamatan bangunan”. “Seluruh tempat di bagian depan penuh sesak. Di atas tikar yang digelar memenuhi ruangan, masyarakat Katolik Jawa duduk berhimpit-himpitan. Di sebelah kiri duduk para lelaki dan anak-anaknya, sedang di sebelah kanan duduk para ibu dan anak perempuan mereka. Di belakang, di atas bangku, duduk para rama, bruder, frater, warga masyarakat Eropa dan orang-orang Jawa terkemuka” Bangunan gereja Santo Yusup di Kampung Bintaran dikenal sebagai gereja Jawa Pertama di Yogyakarta. Saat itu jumlah umat Katolik di Yogyakarta bertambah yang tidak mungkin tertampung lagi di sebuah gudang di timur Gereja Kidul Loji. Catatan di atas merupakan tulisan dalam salah satu bab “Berdirinya Gereja St. Yusup Bintaran” dalam buku “75 Tahun Bintaran Menjadi Garam dan Terang Dunia Retnaning Rat Nayakaning Bawana”. Masa sekitar tahun 1934 sampai Masa Kemerdekaan Republik Indonesia memang merupakan masa penting bagi peletakan dasar visi dan misi Gereja Bintaran. Tentu saja di masa ini tidak bisa lepas dari sosok Rama Soegijapranoto, SJ yang mempunyai andil besar dalam peletakan dasar itu.
Sama seperti Kotabaru, Bintaran merupakan kawasan hunian alternatif bagi orang Belanda yang menetap di wilayah Indonesia, berkembang setelah kawasan Loji Kecil tak lagi memadai. Dari segi fisik, kawasan yang bisa ditempuh dengan berjalan ke timur dari perempatan Gondomanan itu tak begitu pesat perkembangannya seperti Kotabaru. Salah satu faktornya adalah letaknya yang masih dekat dengan Loji Kecil sehingga beragam fasilitas masih bisa diakses dengan mudah. Sebelum berkembang menjadi pemukiman Indisch, Bintaran dikenal sebagai tempat berdirinya Ndalem Mandara Giri, kediaman Bendara Pangeran Haryo Bintoro, salah satu trah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Perkembangan Bintaran sebagai pemukiman Indische diperkirakan dimulai tahun 1930an ditandai pembangunan rumah, fasilitas seperti gereja dan bahkan penjara. Umumnya, orang Belanda yang bermukim di Bintaran adalah yang bekerja sebagai opsir dan pegawai pabrik gula. Selain Ndalem Mandara Giri ada bangunan yang berdekatan di seberang timur jalan yaitu Gedung Sasmitaloka Jenderal Soedirman yang berdiri tahun 1890 yang masa itu dimanfaatkan sebagai kediaman pejabat keuangan Puro Paku Alam VII bernama Wijnschenk. Bangunan itu juga sempat menjadi rumah dinas Jenderal Soedirman, kemudian kediaman Kompi Tukul setelah kemerdekaan. (Yunanto Wiji Utomo, 2007).
Dalam buku “Soegija Si Anak Betlehem van Java” yang ditulis oleh G. Budi Subanar, SJ., masa antara 1934-1945 adalah Masa Soegija berkiprah secara aktif sebagai Imam. Belum genap setahun di Kidulloji, Romo Soegijapranata pindah ke Pastoran Bintaran untuk mengepalai paroki pribumi. Gereja St. Yosep Bintaran digunakan untuk perayaan Ekaristi untuk pertama kali oleh Vikaris Apostolik Batavia, Mgr. A. Van Hoof pada tanggal 8 April 1934 dengan dihadiri 1800 umat pribumi. Jadi, sungguh-sungguh merupakan gereja yang baru untuk kaum Katolik pribumi. Di tempatnya yang baru, Romo Soegijapranata dibantu oleh Romo A. De Kuijper. Romo de Kuijper adalah orang baru untuk wilayah Yogyakarta, baru satu tahun bertugas di Yogyakarta, tepatnya di Kolese Ignatius Kotabaru, tempat pembinaan calon-calon imam Serikat Yesus. Berbagai pengalaman dan perjuangan para misionaris bersama umat pribumi, sebagaimana tertulis dalam majalah St. Claverbond, memperlihatkan bagaimana umat pribumi bertahan dalam situasinya dan menghayati berbagai keutamaan dalam keterbatasannya. Mereka menyelenggarakan praktik jimpitan, yaitu usaha menabung dalam bentuk innatura untuk berbagai kepentingan sosial. Satu hal lain yang juga mencolok adalah bagaimana Romo Soegijapranata memberi perhatian kepada kaum muda yang kreatif. Dalam sebuah tulisan di Swaratama, Romo Soegijapranata menyoroti dan memberi pujian pada kreativitas yang muncul dari suatu kelompok anak muda. Contoh yang diacu adalah sebuah kelompok yang secara kreatif mengumpulkan dana melalui usaha ekonomi yang mereka lakukan. Dari hasil penjualan produk yang mereka pasarkan, kelompok kemudian mewujudkan keprihatinannya dengan menggunakan dana yang mereka peroleh dari hasil kerja mereka. Kelompok anak-anak muda tersebut menyumbangkan hasilnya untuk pembelian bahan-bahan keperluan liturgi seperti taplak altar dan keperluan lain.Romo Soegijapranata tahu bahwa kelompok ini tidak membutuhkan pujian. Akan tetapi, dengan mengangkat kreativitas mereka, diharapkan dapat memberi motivasi bagi usaha-usaha pada berbagai kelompok lain. Karya Romo Soegijapranata tidak berhenti melulu sebagai pastor paroki untuk umat pribumi. Beberapa saat kemudian tugas lain menyusul. Mulai tahun 1935, Romo Soegija kembali terlibat dengan penerbitan majalah Swaratama. Saat itu, Romo Soegijapranata diangkat menjabat kepala redaktur majalah. Sejak itu, untuk memudahkan urusan kantor, redaksi dipindahkan dari Muntilan ke Bintaran, Yogyakarta. Sesekali Romo Soegijapranata masih menyempatkan diri menulis karangan. Dengan tugas barunya di Swaratama ini berarti bahwa Romo Soegija tidak melepaskan diri dari dunia tulis-menulis yang sudah ditekuninya sejak 1926.
Rama Y.B. Mangunwijaya,Pr dalam bukunya “Gereja Diaspora” juga menyoroti kinerja Rama Soegijapranata pada masa itu, khususnya masa pasca kemerdekaan RI. Kemudian “zaman normal” kembali tiba, dari sistem Gereja/paroki ala Noord-Brabant dan Limburg dipulihkan. Kembali para biarawan dan biarawatilah yang mendominasi seluruh medan perutusan gereja. Modifikasi di sana-sini tentulah diusahakan , tetapi tanpa meninggalkan pola lama ketika Jepang belum mengobrak-abrik gereja. Dengan pusat-pusat seperti tempo dulu: kolese dan biara suster. Ibarat rumah Joglo Jawa yang sudah diadaptasi, dimodifikasi, dimodernisasi, direnovasi, ditambahi macam-macam bangunan bahkan parabola, tetapi polanya tetap rumah joglo. Hanya Uskup A. Soegijapranata yang arif sadar akan zaman yang serba baru karena beliaulah yang langsung menghadapi ujian paling berat di zaman Jepang dan Revolusi. Mati-matian beliau berusaha agar Gereja Katolik di Indonesia jangan kembali menjadi Gereja kolonial berekspresi barat. Namun, sang Waktu dan Maut sudah tidak banyak memberi kesempatan bagi beliau. Anugerah dan hiburan terbesar yang masih beliau terima dari Tuhan ialah kehormatan terpanggil untuk ikut Sidang Akbar yang amat historis dan hanya terjadi sekali dalam sekian abad, Konsili Vatikan II.
Sumber: -75 Tahun Bintaran Menjadi Garam dan Terang Dunia Retnaning Rat Nayakaning Bawana. Kenangan Tahun Syukur Intan (1934-2009) (Panitia Perayaan Syukur Intan, Yogyakarta: 2010). -G. Budi Subanar SJ. “Soegija Si Anak Betlehem Van Java. Biografi Mgr. Albertus Soegijapranata,SJ.” Yogyakarta, Kanisius 2003. -Y.B. Mangunwijaya, Pr. “Gereja Diaspora” Yogyakarta, Kanisius 1999. -Yunanto Wiji Utomo. “Bintaran, Dari Kediaman Pangeran Bintoro ke Kawasan Indisch” Copyright©2007 YogYes.COM.

Rabu, 04 Desember 2013

Cerita Tentang Parkit

Parkit putih albino mata merah ini kuberi nama Kitkit untuk betinanya dan pejantannya Kitkot. Kebetulan saja burung ini kupelihara, karena awalnya hanya jalan-jalan ke Pasar Legi Kotagede Yogyakarta untuk melihat-lihat. Inspirasi awal hanya ingin memelihara burung putih polos sebagai simbol kesucian agar bisa mempengaruhi aura rumah. Namun setelah beberapa saat jalan-jalan keliling dan bertanya-tanya, ada 3 pilihan alternatif untuk burung putih polos yaitu: merpati putih, puter putih, kenari putih, dan parkit putih. Setelah tanya harga cukup lumayan, untuk merpati putih sepasang dibandrol harga Rp.150.000,- ,Puter putih Rp.140.000,- Kenari putih AF Rp.750.000,- dan Parkit Putih Rp.150.000,-. Setelah mengetahui harga tersebut kemudian kembali berpikir mana yang akan dipilih sesuai budget. Dulu pernah memelihara sepasang merpati putih namun karena untuk pemeliharaannya harus membutuhkan tempat yang luas dan dilepas bebas maka akhirnya kutitipkan teman. Puter juga pernah memelihara walaupun bukan putih dan sempat beranak pinak di kurungan, Kenari juga pernah memelihara walaupun dulu warnanya kuning dan bond, akhirnya pilihan jatuh pada parkit karena belum pernah memelihara dan setelah keliling tinggal satu pasang itu yang berwarna putih itu. Kubelilah Kitkit dan Kitkot. Inilah cerita mereka.
Sebagai orang yang belum pernah memelihara burung parkit salah satu cara belajarnya adalah coba-coba. Dengan browsing di internet tentang cara memelihara parkit akhirnya dapat beberapa artikel tentang cara memelihara burung parkit ini. Selain dari internet kebetulan teman rondaku di kampung juga seorang peternak parkit yang sudah lama beternak burung ini sehingga aku sering konsultasi padanya tentang pemeliharaannya. Awalnya Kitkit dan Kitkot ini kupelihara di kandang besi yang digantung, sehingga kalau siang kugantung di teras kalau malam kumasukkan rumah, untuk makanannya kuberi makan jagung muda dan milet. Sangkar gantungnya kuberi glodok yang berbentuk rumah. Cara memasukkannya susah sekali sehingga aku terpaksa membongkar bagian bawah kandang untuk memasukkannya glodok itu. Akhirnya kandang terasa berat dan ruangnya tampak sesak dengan adanya glodok tersebut. Kupikir parkit itu seperti merpati yang tidur di dalam gupon, ternyata tidak, mereka tidur di atas glodok tersebut, sehingga rasanya percuma sangkar itu kukasih glodok. Mungkin sangkar itu terlalu sesak sehingga Kitkit dan Kitkot tidak mau masuk rumah mereka. Akhirnya sangkar kuganti dengan sangkar persegi berwarna biru yang kubeli di PASTY. Kata penjualnya satu sangkar kawat ini bisa digunakan untuk 3 pasang, sayang kalau hanya untuk sepasang parkit. Setelah berhasil memindah Kitkit dan Kitkot ke sangkar barunya walaupun dengan pengorbanan harus merasakan gigitan paruh bengkok Kitkit ini yang lumayan sakit.
Setelah itu aku mengikuti nasehat penjual sangkar untuk membeli 2 pasang parkit untuk teman Kitkit dan Kitkot. Akhirnya satu sangkar biru ada 3 pasang parkit dengan 3 gelodok. Namun setelah semalam ronda dan cerita dengan teman rondaku tentang parkit, parkit ternaknya satu kandang hanya diisi sepasang parkit. Siangnya aku melihat bagaimana kandang peternakan parkit milik temanku itu. Dengan terinspirasi temanku itu yang sudah sukses memperanakkan beberapa pasang parkit, maka aku mencoba membuat kandang untuk 2 pasang parkit dengan bahan kayu blabak dan kawat strimin. Akhirnya setelah hampir satu minggu beralih profesi jadi tukang kayu jadilah kandang untuk 2 pasang parkit. Akhirnya Kitkit dan Kitkot kupindah ke kandang baru bersama sepasang temannya berwarna biru. Namun beberapa hari di situ tidak juga membuat Kitkit mau bertelur malah hal yang tak kuduga terjadi yaitu, kandang belakang pakunya lepas dan kayunya menganga di seruduk tikus yang mengakibatkan sepasang parkit biru terbang mengembara entah kemana. Rasanya jengel bercampur kecewa perjuangan membuat kandang seminggu rasanya sia-sia, akhirnya daripada Kitkit dan Kitkot mengalami hal serupa kupindah kembali mereka ke kandang biru. Akhirnya kandang kayu blabak itu kupindah dan kumanfaatkan untuk memelihara ayam kate yang tidak bisa terbang walaupun lubangnya menganga terbuka, akhirnya aku membeli sepasang parkit baru warna hijau muda dan biru muda untuk mengganti yang lepas.
Beberapa waktu berselang, akhirnya Kitkit dan Kitkot mau masuk glodok dan bertelur. Dari kelima telurnya menetas 2 ekor dan dipelihara serta diloloh oleh kedua induknya. Akhirnya setelah sebulan mulailah mereka belajar terbang keluar glodok. Anehnya anak Kitkit dan Kitkot tidak berwarna putih namun biru dan hijau muda. Namun sayang karena waktu belajar terbang dan belajar minum, Si Biru anak Kitkit kepalanya masuk tempat minum dan tak bisa keluar maklum masih piyik dan akhirnya mati terendam air minum. Kecewa lagi, setelah penantian selama sebulan akhirnya hanya gara-gara hal sepele terlalu kecilnya tempat minum dan keasatan sehingga mengakibatkan matinya Si Mungil Biru. Akhirnya tinggal Si Hijau Muda ini harapan dan bukti proses pembelajaran yang tidak mudah.