Selasa, 01 November 2011

Liminal Malem Minggu


Sabtu malam aku ingin nginjen acara yang dilakukan teman-teman di Candi Abang. Lokasinya menarik dan sangat strategis untuk acara seperti yang biasa dilakukan teman-teman meskipun ada beberapa rumah penduduk yang sangat dekat dengan lokasi. Malam itu aku mencoba tanya pada beberapa teman-teman yang menyatakan diri sebagai senior. “Pakai konsep teori siapakah acara ini?” Beberapa mengatakan tidak tahu dan beberapa mengatakan ,”Masih seperti biasanya, kayak yang kemarin.” Maka aku berpikir berarti masih seperti dulu menggunakan konsepnya Victor Turner “Masyarakat Bebas Struktur.”
Lalu ketika masih asyik ngobrol dengan beberapa teman membicarakan ramalan kiamat 2012 dari berbagai pandangan dari Suku Maya maupun ramalan ilmiah dari Nasa memang ada kemungkinan tahun 2012 bumi akan ditabrak sebuah benda luar angkasa yang kemungkinan akan mengakibatkan kerusakan yang parah di salah satu bagian bumi, hanya bagian mana yang tertimpa benda itu belum ada yang pasti. Dari pembicaraan inipun kita mengambil pandangan bahwa sebenarnya manusia itu selalu liminal di ambang ambigu dan ketidak pastian. Juga menyangkut masalah global warming, andaikan kutup utara maupun selatan es-nya mencair dan permukaan laut naik maka orang akan berbondong-bondong lari dan mengungsi di daerah yang tinggi misalnya lari ke puncak Merapi. Ketika jaman Nuh kembali terjadi dan yang tersisa hanya daratan di puncak Merapi dan tiba-tiba status Merapi meningkat lalu meletus, kemanakah lagi manusia harus tinggal? Pertanyaan yang hanya angan-angan itu lalu sirna begitu saja ketika kami diajak teman-teman ngumpul di tenda panitia.
Tiba-tiba ada pos Religi, Konflik, Pemaknaan, Pendinginan. Aku diam dan bingung, ini jadi pakai konsepnya Turner tidak? Lalu dimana tahap separasi, liminal, dan reintegration sebab dalam buku yang pernah kubaca separasi ditandai dengan pelepasan dari individu atau kelompok baik dari keadaan tetap dalam struktur sosial maupun dari serangkaian keadaan kultural. Kemudian memasuki tahap liminal ditandai dengan sifat khas subyek ritual ambigu melampaui bidang kultural yang mempunyai beberapa ciri masa lalu dan masa yang akan datang. Dihubungkan dengan simbol-simbol kematian, dalam rahim ibu, kegelapan. Kemudian berlanjut ke tahap reaggregation yang artinya peralihan menjadi sempurna. Subyek ritual kembali ke keadaan semula. Subyek ritual mempunyai hak-hak dan kewajiban seperti yang lain. Victor Turner terinspirasi dari Masyarakat Ndembu. Liminalitas di antara Masyarakat Ndembu itu mempunyai kondisi suci. Liminalitas dilihat sebagai suatu tahap pembinaan bagi anak-anak yang akan masuk ke alam kedewasaan.
Ciri-ciri yang telah disebut itu dapat kita ringkas sebagai berikut:
-Adanya kerendahan hati dari si subyek ritual. Kerendahan hati di sini menunjuk pada sikap pasrah dan patuh dari subyek ritual pada pemimpin upacara.
-yang tertinggi menjadi yang terendah dalam keadaan liminal.
-tiadanya perbedaan di antara mereka yang menjadi subyek ritual.
-tiadanya perbedaan seksual, tiadanya perbedaan tingkat.
-subyek ritual digambarkan sebagai hampir telanjang. Hampir telanjang di sini mengacu pada tiadanya milik dalam dirinya, bahkan si subyek ritual berpakaian minim [misalnya, dalam Isoma baik suami maupun istri hanya memakai pakaian sebatas pinggang].
-ada keterbalikan dengan kehidupan sehari-hari. Yang dalam kehidupan sehari-hari dikatakan sebagai tinggi, pemimpin, maka dalam liminalitas dia menjadi budak.
Akhirnya, liminalitas mempunyai ciri ambigu karena subyek ritual mengalami suatu keadaan yang lain denagn kehidupan sehari-hari, namun juga dialami masa sekarang dan masa yang akan datang. Dalam liminalitas terlihat juga adanya kekuatan dari Si Lemah, kendati dalam kehidupan sehari-hari Si Lemah itu memang lemah.
Merasa tidak tercapainya liminalitas ini, aku hanya berpikir konseptor acara ini tidak menggunakan Victor Turner sebagai pijakan konsepnya mungkin menggunakan teori lain namun aku tidak paham dan tidak tahu mungkin karena aku terlambat mengikuti proses dan hanya bingung sendiri memaknai sehingga malah ambigu sendiri dan malah liminal sendiri karena tak tahu apa yang harus kuperbuat.
Karena aku janjian dengan temanku untuk mengiinisasi diri sendiri dengan naik sepeda dari Bintaran ke Sriningsih melewati jalan bukit yang naik dan melingkar maka sebelum acara pelantikan aku mengundurkan diri dan paginya langsung tidur sebentar dan ke Bintaran dan naik sepeda. Di sini mereka yang janjian akan ikut sepedaan menyiksa diri sendiri ternyata tidak ada. Dolop sudah pulang dengan Pak Nar dan Katon. “Apakah karena terlambat mereka bertiga berangkat sendiri?” Pikirku dalam hati. Lalu aku mencoba ngampiri di rumah Pak Nar ternyata mereka masih di rumah. Dolop sempat mengeluh, “Padahal yang tak SMS sudah banyak, tapi setiap kali aku punya ide selalu tidak laku.” “Ya kalau punya ide ya dilakoni dewe.” “Wis saiki mangkat wong loro.” Kataku. Namun ternyata Katon juga ingin ikut dan akhirnya kami berangkat bertiga. Sementara Si Jo langsung menuju Sriningsih dari rumahnya di Klaten.
Pengalaman dulu waktu sepedaan ke Jatiningsih kita hanya mengikuti insting asal ada jalan ke barat lalu utara, barat lalu utara akan sampai di Jatiningsih. Metode ini kita terapkan juga untuk perjalanan ke Sriningsih dan ternyata metode itu tidak berlaku dan malah kita keblasuk di jalan yang naik ke bukit dan mau kembali turun sudah nanggung dan akhirnya kita jalani bertiga nuntun pit diatas perbukitan. Kita tanya penduduk jalan ke Sriningsih katanya hanya akan melewati 3 tanjakan dan setelah itu akan turun terus jalannya sampai di Gayamharjo. Ternyata setelah kita jalani kita harus melewati tiga bukit untuk sampai di Sriningsih. Dan masih harus melewati undak-undakan untuk sampai ke pendopo di mana Bejo sudah menunggu di sana. Membayangkan kaki sudah akan kram dan masih jauh perjalanan mengayuh pulang ke Bintaran kita hanya pasrah menikmati waktu yang terus berjalan meskipun kita berharap berhenti karena kelelahan ini. Meskipun akhirnya sampai di rumah pukul 19.00 malam kita benar-benar merasakan dan bisa membayangkan bagaimana prosesi jalan salib dulu yang tentunya perjalanan kami tidak ada apa-apanya.

Candi Abang, Sriningsih
Sabtu-Minggu, 29-30 Oktober 2011