Jumat, 03 September 2010

Tema dan Foto


Dalam Bulan Kitab Suci 2010, tema yang diambil adalah “Betapa agung nama-Mu, ya Tuhan” dari Mazmur 8. Kitab Mazmur termasuk kelompok kitab-kitab Kebijaksanaan, yang ditempatkan setelah kitab Ayub dan sebelum kitab Amsal. Kitab Mazmur terdiri atas 150 buah syair keagamaan yang pada mulanya biasa dipakai dalam ibadat Yahudi. Sebenarnya kitab Mazmur bisa disebut sebagai kumpulan dari kumpulan. Sebagai suatu kumpulan doa, kitab Mazmur amat kaya dengan ungkapan hati manusia sebagai umat beriman menghadapi berbagai macam situasi dalam hidupnya. Di dalamnya kita temukan ungkapan perasaan umat beriman dari yang lembut sampai ke perasaan emosional, ada keluhan atau ratapan, pujian, ketakutan, kepercayaan, kesedihan dan kegembiraan (Bahan Pertemuan Lingkungan, Komisi Kitab Suci KAS, 2010:7).
Dalam Bulan Kitab Suci ini Tim Pewartaan ingin membuat suatu kegiatan yang kreatif dalam memaknai bulan kitab suci. Dalam diskusi yang melibatkan beberapa pihak, muncul kesepakatan membuat lomba foto. Mengapa lomba foto? Sebab jaman sekarang anak-anak muda khususnya juga remaja dan anak-anak lebih akrab dengan dunia visual. Maka jika dalam memaknai bulan kitab suci dengan bentuk cerita dan tulisan dirasa akan kurang menyentuh dunia kaum muda, remaja, dan anak-anak. Maka bagaimana mengisi kegiatan dalam bulan kitab suci agar menyentuh dunia kaum muda adalah dengan media visual. Foto adalah salah satu hal yang bisa dikerjakan dan dibuat oleh sebagian besar anak muda untuk mengekspresikan apa yang ada di benak mereka dan memaknai lingkungan sekitar. Sehingga dengan membahasakan tema bulan kitab suci ini ke dalam foto, akan bisa melihat seberapa peka anak muda gereja memaknai lingkungannya.
Foto adalah data dan fakta. Juga makna. Dunia fotografi, sebagaimana dunia wartawan umumnya, diuntungkan oleh rumusan “God given the news”, Tuhan yang memberikan berita-atau gambar-dengan berbagai peristiwa: tabrakan pesawat, banjir, artis kawin-cerai-selingkuh, atau bahkan peristiwa-peristiwa seremonial. Namun, tetap saja ada upaya kreatif bagaimana menentukan sudut pengambilan, memperhitungkan kedalaman, kesatuan dengan masalah keseluruhan, di samping ketekunan dan keterlibatan dengan objek atau peristiwa. Sedemikian perkasanya visual yang dihasilkan sehingga karyanya tak memerlukan “caption”, teks yang menjembatani. Karena semua yang inti telah tervisualkan. Di sinilah peran juru foto tak tergantikan. Di sinilah sepotong penggalan gambar menjadi “artefak’ sejarah, menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan bermedia zaman modern: dengan data, dengan fakta, dengan menyambung makna (Arswendo Atmowiloto).
Ungkapan “Mahkota foto adalah kejujuran” bukan hal yang mengada-ada. Objek kecil dalam foto berita yang dianggap mengganggu objek utama bisa dihilangkan untuk menyempurnakan hasil, apalagi saat ini fotografi mencapai zaman keemasan digital- hanya dengan program Photoshop komputer, pemotret bisa menambah atau mengurangi objek dalam foto berita. Memang, tindakan ini bisa dianggap penipuan-pelanggaran etika berita yang kemungkinan besar menimbulkan reaksi emosional merugikan. Croping maupun retouching, misalnya, bisa menimbulkan distorsi pesan berita.
Hukum foto berita adalah fakta. Rekayasa tidak dibenarkan. Nyawa foto atau tingkat keberhasilannya sudah ditentukan saat pemotret berada di lokasi pemotretan. Oleh karena itu, wartawan foto yang baik harus selalu siap di lokasi/ tempat kejadian.

Sabtu, 28 Agustus 2010

Teratai Putih yang Bisu


Entah sudah ke sekian kalinya
Aku merenung lagi
Kembali ke sini
Malam minggu ini


Masih menganga cluritan dulu itu
Meninggalkan genangan luka yang belum kering
Berdarah lagi jika terkelupas
Menetes lagi luka itu


Membuatku membisu
Tak tahu
Mengapa harus merasa
Tanpa tawa


Apakah kamu akan mengambil satu duri itu?
Atau akan menambahkan duri di kepala itu?
Mungkin berat
Hanya dialog dalam batin ini
Kali ini hanya ditemani teratai putih
Di atas air


Sekitar tak paham
Tak ada yang paham
Dan tak akan paham
Mengapa kamu mengambil duri?
Sementara yang lain dengan tawa menancapkan duri itu

Sungguh tak enak mungkin
Sudah habis raga ini diinjak-injak
Sudah tak punya apa-apa lagi
Masih harus menanggung beban di punggung

Namun air itu justru mengalir deras
Ketika luka itu kembali menganga
Luka karena memilih mengambil duri
Dan menancapkan di kepala ini
Dan hati ini……
Air yang damainya tak terkatakan
Dan tak terucapkan….
Hanya air mata ini yang mampu berkata…….

Kamis, 19 Agustus 2010

Ngoco



Tentang perjalanan meniti ke dalam diri banyak terinspirasi oleh berbagai cerita dan kisah. Salah satunya adalah cerita dalam Serat Dewaruci yang menceritakan bagaimana Bima mencari “susuhing angin” (sarang angin). Dalam cerita ini dikisahkan bagaimana Bima menjelajahi berbagai tempat dari hutan dan mengalahkan penunggunya sampai mengalahkan penguasa laut dan sampai pada penemuannya bahwa sebenarnya apa yang dicarinya itu ada di dalam dirinya. Yang dimaksud “susuhing angin” ternyata adalah hidung. Hidung itu adalah tempat keluar dan masuknya napas. Napas adalah sumber hidup manusia. Anthony de Mello dalam bukunya “Jalan Menuju Tuhan” juga menyebutkan bahwa inti untuk bisa hidup adalah berada di sini dan saat ini. Dia menyebutkan bahwa hanya sedikit manusia yang menyadari bahwa masa lalu sebenarnya tidak nyata dan masa depan juga tidak nyata sedangkan yang nyata adalah detik ini dan hari ini. Sehingga jika manusia berada di sini dan saat ini dia akan hidup. Anthony juga memberi contoh, ada sepasang suami istri berencana pergi ke Swiss selama berbulan-bulan dia merencanakan untuk pergi ke sana, akhirnya setelah sampai sana, dia merencanakan bagaimana caranya untuk pulang. Dari cerita itu sangat disayangkan sebenarnya pasangan suami istri itu tidak pernah berada di Swiss.


Menurutku, kalimat hidup di sini dan saat ini akan sangat mudah diucapkan tetapi begitu sulitnya untuk dilaksanakan. Seperti pikiran kita yang selalu pergi ke masa lalu dan punya rencana untuk ke masa depan dan betapa sulitnya untuk bisa di sini saat ini. Seperti saat ini merupakan peristiwa yang sangat langka buatku karena aku sedang menulis ini di sebuah gubuk di tengah sawah. Karena ketika merencanakan menulis hari ini, ketika mau menulis di kamar ternyata ada ayahku ada tamu dan obrolan mereka terdengar sampai kamarku dan sangat mengganggu konsentrasiku, lalu aku berusaha keluar rumah naik motor mencari lokasi yang jauh dari kebisingan dan aku melihat ada sebuah gubuk di tengah sawah kelihatannya sangat sepi dari gangguan maka kuparkirkan motorku di bawah pohon jati lalu aku berjalan melewati pematang sawah menuju gubuk ini. Gubuk ini atapnya tertutup seng-seng bekas dan dindingnya dari triplek bekas, sangat nyaman karena angin di tengah sawah ini begitu sejuk dan tepat di samping gubuk air galengan mengalir dengan deras sehingga menyadarkanku bahwa hidup ini memang harus mengalir dan menulis ini juga harus mengalir karena aku hanya menuliskan apa yang yang ada di pikiranku saat ini dan di sini.


Dulu pernah aku punya keinginan punya rumah sederhana yang dikelilingi sawah yang hijau untuk tempat merenung dan menulis dan saat ini keinginan ini terwujud. Aku benar-benar bisa menulis di atas gubuk dan dikelilingi sawah-sawah yang ditanami padi. Setelah keinginan tempat ini terwujud kebingungan kedua lalu muncul, sekarang apa yang mau ditulis? Rasanya seperti orang yang ingin ke Swiss tadi yang diceritakan Anthony de Mello, mungkin nanti jika aku sudah punya rumah di tepi sawah malah tidak jadi menulis apapun di sana malah bisa jadi untuk punya keinginan apa lagi dan tak menulis apapun. Padahal aku rencananya tadi datang ke lokasi ini untuk merefleksikan perjalananku kemarin ke Gua Kerep Ambarawa.


Baiklah kita mulai fokus ke perjalanan menuju Ambarawa. Sambil merenung aku melihat di galengan sawah di sampingku yang sejak tadi mengalirkan air aku berimajinasi jika menjadi bagian air akan hanyut entah diserap akar, terbawa sampai laut akhirnya menguap menjadi awan lalu menetes sebagai hujan dan jatuh menjadi air yang mengalir ke sungai lagi. Mungkin juga hidup itu begitu ada kalanya harus berubah tempat namun kembali lagi seperti sebuah lingkaran siklus kehidupan.


Dalam perjalanan kemarin sebenarnya aku tahu bahwa akan seperti Bima yang mencari susuhing angin sebab pemaknaan nantinya akan kembali pada diriku sendiri memaknai perjalanan itu. Sehingga aku dalam perjalanan itu tidak tergesa-gesa. Pertama mampir ke Makam Romo Sanjaya, di sana selain mengistirahatkan pantat yang pegel dan menghilangkan rasa kantuk aku dan Bejo juga berdoa dan meditasi. Dalam perjalanan ini ternyata pikiran sangat mempengaruhi, sebab di jalan Bejo terlintas keinginan untuk mampir ke tempat pakdenya dan akhirnya kami mampir ke sana. Lalu sekalian bertanya jalan menuju Sendang Candi Umbul dan Gua Maria Grabag sebab setelah saya tanya panitia ternyata misanya masih jam 6 sore padahal kami berangkat tadi jam 10 pagi, memang sengaja agar tidak tergesa-gesa dan bisa menikmati perjalanan.
Setelah melanjutkan perjalanan kami melihat ada tulisan Pemandian Banyubening lalu kami tertarik untuk melihat ternyata hanya sebuah kolam renang biasa sehingga kami kurang tertarik untuk masuk. Akhirnya Sendang Candi Umbul ketemu juga dan kami istirahat di situ cukup lama karena tanpa rencana dan melihat tempatnya asik kami njegur juga dan mencoba meditasi di situ. Setelah itu kami meneruskan perjalanan menuju Gua Kerep Ambarawa dan di sana sudah ada Pak Nuri, Pak Totok dan Mbak Pur, dengan celana yang masih basah karena tidak bawa ganti kami mengikuti prosesi sampai selesai lalu bermalam di sana.


Saya mencoba meditasi di berbagai tempat, mulai di depan gua, di kapel, di tempat doa dekat makam dan di ruang adorasi abadi namun energi dan tempat yang paling nyaman saya rasakan adalah di ruang adorasi abadi itu. Entah kalau orang lain tapi bagi saya berada di situ rasanya bisa no mind melepaskan semua pikiran dan kembali ke hati. Namun akhirnya harus menggunakan main lagi untuk bergerak, ya mungkin kondisi no mind ini juga harus seimbang dengan mind. Lalu paginya kami sarapan dulu di warung, lalu pulang rencananya mau langsung pulang ke Jogja tapi ini ada masalah lagi dengan mind sebab di pikiran Bejo masih terlintas pikiran untuk mampir di Gua Maria Grabak sehingga balik ke Grabak lagi lewat Tegalrejo ya walaupun harus jalan naik turun akhirnya sampai juga ke Gua Maria Grabak. Pulangnya kami mampir ke Romo Sanjaya dan pulang menuju Jogja melewati Pakem dan mampir ke Sumur Kitiran Mas.


Refleksi dalam perjalanan ini bagiku adalah pentingnya menjaga tujuan jika ingin pergi ke tempat jauh sesuai dengan rencana awal sebab di jalan pikiran-pikiran kita dan keinginan-keinginan sesaat bisa menimbulkan keinginan baru yang membuat tujuan awal terlupakan. Karena itulah mengapa saya menyebut bahwa untuk hidup saat ini dan di sini itu begitu sulitnya.

Senin, 16 Agustus 2010

Hangatnya Sendang Candi Umbul


Sendang Candi Umbul terletak di Desa Kartoharjo, Kecamatan Grabak, Kabupaten Magelang. Perjalanan menuju lokasi ini sangat mudah karena jalan menuju sendang sudah diaspal halus sampai di depan pintu masuk candi. Jika ingin menuju tempat ini, dari jalan Magelang-Semarang ambil arah ke Grabak kurang lebih 10 km akan ada petunjuk Candi Umbul nanti tinggal mengikuti papan petunjuk tersebut. Mendekati lokasi jalan akan naik turun dan lokasi ini berada di turunan. Pemandangan yang indah selama perjalanan akan ditemui karena di kanan kiri akan ditemui hamparan sawah di bawah lereng gunung. Kurang lebih empat kilometer sebelum sendang akan ditemui di kiri jalan sebuah komplek makam tanpa pagar dengan pohon kamboja besar-besar memenuhi seluruh areal makam. Dari kejauhan akan tampak pemandangan yang indah karena bentuk batang kamboja yang putih artistik diantara hijaunya sawah-sawah jika pada musim tanam.
Di depan pintu masuk akan ditemui beberapa motor yang diparkir, namun menurut keterangan penjaganya motor yang dititipkan di situ sebagian bukan motor milik pengunjung sendang atau peziarah namun milik para pemancing yang mancing di sungai bawah sendang. Sendang Candi Umbul masuk dalam benda cagar budaya sehingga untuk masuk ke lokasi ini dikenai retribusi sebesar Rp.3000,- dan parkir motor Rp.1000,-. Ketika kami ke sana sendang itu sedang dipakai oleh beberapa anak muda laki-laki dan perempuan mandi dan bermain air. Sendang ini terdiri dari 2 kolam kotak dengan air yang mengalir selalu penuh berwarna hijau kebiruan. Melihat bentuk bangunan dengan 2 kolam, kolam satu ada mezbah kotak yang terendam dan satunya mezbah bundar terletak di depan mezbah kotak dengan lokasi lebih rendah. Di depan mezbah itu ada stupa yang kelihatannya untuk membakar dupa karena warnanya yang hitam legam bekas asap. Di keempat sudut kolam ada batu bulat yang tingginya sama terendam dalam air. Jika melihat konsep tata letaknya, sendang ini sekilas menggambarkan tempat yang dikhususkan untuk laku topo kungkum atau meditasi sambil berendam dalam air. Namun melihat suasananya kelihatannya tempat ini menjadi obyek wisata yang hanya digunakan untuk mandi dan berenang. Sehingga mereka yang ingin lelaku topo kungkum atau meditasi atau sembayang seolah tersisih dan tersingkir oleh kesibukan mereka yang ingin mandi dan berenang.
Menurut Renville Siagian dalam Candi (2002), Candi patirtan yang berupa kolam ini dikelilingi oleh batu andersit. Kolam dengan airnya yang hangat itu memiliki ukuran panjang 21 meter dan lebar 7 meter dengan kedalaman 2 meter yang terbagi dua dimana airnya bersambungan. Kolam besar memiliki ukuran panjang 12,5 meter dan lebar 7,2 meter. Sedangkan kolam kecil berukuran 7 meter kali 8,2 meter. Kolam ini membujur arah timur barat dan menghadap arah timur laut. Candi Umbul dalam kolam ini dibangun sekitar abad ke-9 Masehi yang dahulunya dipergunakan keluarga bangsawan.
Ada 2 batu menyerupai gong diantara stupa itu menurut Tatag bedasarkan keterangan Dharma Sas, dulunya batu itu untuk mencetak gong. Ada kesaksian rohani yang bersifat penampakan, tentang mezbah dan empat kursi batu yang mengelilingi dengan terendam air hangat itu. Pelaku Budaya Jawa, Dharma Sas, memberikan kesaksian bahwa meja dan empat kursi adalah lambang empat kiblat lima pancer. Tetapi dahulu, kursi dan meja itu memang digunakan untuk duduk berendam air hangat sembari menikmati hidangan makanan dan minuman.
Kecuali lambang empat kiblat lima pancer berupa meja dan kursi itu, ada pula pohon ajaib. Pohon ajaib itu dilihat dari arah barat menghadap ke timur saat menjelang matahari terbit. Di saat matahari mulai terbenam maka akan terlihat bayangan siluet dari pohon ajaib itu. Mengapa dikatakan ajaib karena pada pohon tersebut ada tiga warna bunga yang menghiasi pohon ajaib itu, yaitu merah, hijau dan kuning. Pula yang membuat pohon itu disebut ajaib, karena ketika matahari menumpahkan sinar hangat di waktu sore hari, keluarlah asap di seluruh tubuh pohon itu.
Mengikuti sebuah penampakan seperti wisik tetapi disaksikan dalam alam setengah sadar, Dharma Sas mengkisahkan, wilayah Sendang Candi Umbul dahulu merupakan tempat suci, sebuah pertapaan yang ditempati oleh seorang brahmana. Nama brahmana tersebut adalah Pu Dharma Khebi. Brahmana tersebut memiliki dua putrid yang sangat menjaga tradisi kebrahmanaan, yaitu Dyah Sekar dan Dyah Tantri. Pada jamannya itu, Brahmana tersebut memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sang raja, Raja Sanjaya. Raja Sanjaya ini begitu dekatnya dengan Sang Brahmana sampai seperti anak sendiri.
Tetapi celakalah buat Sang Raja Sanjaya, karena terbiasa akrab dan terbiasa bergaul, sang raja akhirnya jatuh cinta pada putri bungsu Sang Brahmana, Dyah Tantri. Jatuh cinta itu ternyata jatuh cinta yang terlarang. Karena kedudukan sebagai anak bagi putri brahmana dan anak angkat bagi sang raja menghalangi jatuh cinta itu. Berikrarlah Sang Raja, dirinya tidak akan menyentuh putri selama hidupnya. Seperti diketahui dalam sejarah, yang meneruskan Raja Sanjaya memegang pemerintahan adalah anak saudara perempuan Sanjaya yang bernama Sanaha. Maka jalan hidup membiara ditempuhnya bagi Sang Raja, setelah usianya tidak kuat lagi mengemban tugas sebagai raja di Kerajaan Mataram (Mataram Hindu). Itulah kisah jatuh cinta yang terlarang di Sendang Candi Umbul. (Tatag, 2004: 34-35).
Aku dan Bejo temanku, setelah beberapa anak muda dan remaja yang tadi berenang, mandi, dan bermain air di situ naik, kami lalu mencoba bermeditasi di situ secara bergantian. Aku dulu sedangkan Bejo mengawasi lalu gantian. Ketika bermeditasi, yang kurasakan airnya agak panas, sedangkan di kolam yang tak bermezbah hangat, angin siwir-siwir datang namun hanya sebentar namun entah kenapa rasanya ada energi yang nampek sehingga membuat dada kananku agak sakit. Namun memang kurasakan ada energy yang besar di sekitar stupa dan entah benar atau tidak di belakang stupa itu terlihat seperti ada sebuah gundukan tanah menyerupai makam. Seperti yang pernah dikatakan Bejo, beberapa penganut kebatinan Jawa, melakukan “Kramas tanpo toyo” (Mandi keramas tanpa air), hal ini merupakan filosofi bahwa manusia itu tidak cukup bersih secara fisik tetapi meliputi keseluruhannya yaitu tubuh, jiwa, dan roh. Sehingga di sendang ini jika hanya mandi secara fisik rasanya kurang lengkap jika tanpa mandi jiwa dan roh. Namun apakah karena aku datang sore sehingga menyaksikan orang-orang hanya mandi fisik, atau mungkinkah malam-malam tertentu atau tiap malam tempat ini untuk “kramas tanpo toyo” aku kurang mengerti karena belum melihat.
Sendang Candi Umbul merupakan salah satu situs penting, namun bukan situs dalam pengertian situs di internet. Namun apakah keberadaannya akan seperti ketika dibangun yaitu pertapaan suci atau bangunan suci adalah tergantung generasi penerus memaknai tempat ini. Lelaku atau ritual merupakan salah satu bentuk menganggap tempat itu ada atau juga mengembangkannya. Menurut hukum evolusi bagian tubuh yang jarang digunakan akan mengecil dan berfungsi, begitu pula jika tempat ini jarang dipakai untuk ritual “kramas tanpo toyo” akhirnya hanya akan menjadi tempat permandian biasa seperti kolam renang di perkotaan.

Hangatnya Sendang Candi Umbul

Sendang Candi Umbul terletak di Desa Kartoharjo, Kecamatan Grabak, Kabupaten Magelang. Perjalanan menuju lokasi ini sangat mudah karena jalan menuju sendang sudah diaspal halus sampai di depan pintu masuk candi. Jika ingin menuju tempat ini, dari jalan Magelang-Semarang ambil arah ke Grabak kurang lebih 10 km akan ada petunjuk Candi Umbul nanti tinggal mengikuti papan petunjuk tersebut. Mendekati lokasi jalan akan naik turun dan lokasi ini berada di turunan. Pemandangan yang indah selama perjalanan akan ditemui karena di kanan kiri akan ditemui hamparan sawah di bawah lereng gunung. Kurang lebih empat kilometer sebelum sendang akan ditemui di kiri jalan sebuah komplek makam tanpa pagar dengan pohon kamboja besar-besar memenuhi seluruh areal makam. Dari kejauhan akan tampak pemandangan yang indah karena bentuk batang kamboja yang putih artistik diantara hijaunya sawah-sawah jika pada musim tanam.
Di depan pintu masuk akan ditemui beberapa motor yang diparkir, namun menurut keterangan penjaganya motor yang dititipkan di situ sebagian bukan motor milik pengunjung sendang atau peziarah namun milik para pemancing yang mancing di sungai bawah sendang. Sendang Candi Umbul masuk dalam benda cagar budaya sehingga untuk masuk ke lokasi ini dikenai retribusi sebesar Rp.3000,- dan parkir motor Rp.1000,-. Ketika kami ke sana sendang itu sedang dipakai oleh beberapa anak muda laki-laki dan perempuan mandi dan bermain air. Sendang ini terdiri dari 2 kolam kotak dengan air yang mengalir selalu penuh berwarna hijau kebiruan. Melihat bentuk bangunan dengan 2 kolam, kolam satu ada mezbah kotak yang terendam dan satunya mezbah bundar terletak di depan mezbah kotak dengan lokasi lebih rendah. Di depan mezbah itu ada stupa yang kelihatannya untuk membakar dupa karena warnanya yang hitam legam bekas asap. Di keempat sudut kolam ada batu bulat yang tingginya sama terendam dalam air. Jika melihat konsep tata letaknya, sendang ini sekilas menggambarkan tempat yang dikhususkan untuk laku topo kungkum atau meditasi sambil berendam dalam air. Namun melihat suasananya kelihatannya tempat ini menjadi obyek wisata yang hanya digunakan untuk mandi dan berenang. Sehingga mereka yang ingin lelaku topo kungkum atau meditasi atau sembayang seolah tersisih dan tersingkir oleh kesibukan mereka yang ingin mandi dan berenang.
Menurut Renville Siagian dalam Candi (2002), Candi patirtan yang berupa kolam ini dikelilingi oleh batu andersit. Kolam dengan airnya yang hangat itu memiliki ukuran panjang 21 meter dan lebar 7 meter dengan kedalaman 2 meter yang terbagi dua dimana airnya bersambungan. Kolam besar memiliki ukuran panjang 12,5 meter dan lebar 7,2 meter. Sedangkan kolam kecil berukuran 7 meter kali 8,2 meter. Kolam ini membujur arah timur barat dan menghadap arah timur laut. Candi Umbul dalam kolam ini dibangun sekitar abad ke-9 Masehi yang dahulunya dipergunakan keluarga bangsawan.
Ada 2 batu menyerupai gong diantara stupa itu menurut Tatag bedasarkan keterangan Dharma Sas, dulunya batu itu untuk mencetak gong. Ada kesaksian rohani yang bersifat penampakan, tentang mezbah dan empat kursi batu yang mengelilingi dengan terendam air hangat itu. Pelaku Budaya Jawa, Dharma Sas, memberikan kesaksian bahwa meja dan empat kursi adalah lambang empat kiblat lima pancer. Tetapi dahulu, kursi dan meja itu memang digunakan untuk duduk berendam air hangat sembari menikmati hidangan makanan dan minuman.
Kecuali lambang empat kiblat lima pancer berupa meja dan kursi itu, ada pula pohon ajaib. Pohon ajaib itu dilihat dari arah barat menghadap ke timur saat menjelang matahari terbit. Di saat matahari mulai terbenam maka akan terlihat bayangan siluet dari pohon ajaib itu. Mengapa dikatakan ajaib karena pada pohon tersebut ada tiga warna bunga yang menghiasi pohon ajaib itu, yaitu merah, hijau dan kuning. Pula yang membuat pohon itu disebut ajaib, karena ketika matahari menumpahkan sinar hangat di waktu sore hari, keluarlah asap di seluruh tubuh pohon itu.
Mengikuti sebuah penampakan seperti wisik tetapi disaksikan dalam alam setengah sadar, Dharma Sas mengkisahkan, wilayah Sendang Candi Umbul dahulu merupakan tempat suci, sebuah pertapaan yang ditempati oleh seorang brahmana. Nama brahmana tersebut adalah Pu Dharma Khebi. Brahmana tersebut memiliki dua putrid yang sangat menjaga tradisi kebrahmanaan, yaitu Dyah Sekar dan Dyah Tantri. Pada jamannya itu, Brahmana tersebut memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sang raja, Raja Sanjaya. Raja Sanjaya ini begitu dekatnya dengan Sang Brahmana sampai seperti anak sendiri.
Tetapi celakalah buat Sang Raja Sanjaya, karena terbiasa akrab dan terbiasa bergaul, sang raja akhirnya jatuh cinta pada putri bungsu Sang Brahmana, Dyah Tantri. Jatuh cinta itu ternyata jatuh cinta yang terlarang. Karena kedudukan sebagai anak bagi putri brahmana dan anak angkat bagi sang raja menghalangi jatuh cinta itu. Berikrarlah Sang Raja, dirinya tidak akan menyentuh putri selama hidupnya. Seperti diketahui dalam sejarah, yang meneruskan Raja Sanjaya memegang pemerintahan adalah anak saudara perempuan Sanjaya yang bernama Sanaha. Maka jalan hidup membiara ditempuhnya bagi Sang Raja, setelah usianya tidak kuat lagi mengemban tugas sebagai raja di Kerajaan Mataram (Mataram Hindu). Itulah kisah jatuh cinta yang terlarang di Sendang Candi Umbul. (Tatag, 2004: 34-35).
Aku dan Bejo temanku, setelah beberapa anak muda dan remaja yang tadi berenang, mandi, dan bermain air di situ naik, kami lalu mencoba bermeditasi di situ secara bergantian. Aku dulu sedangkan Bejo mengawasi lalu gantian. Ketika bermeditasi, yang kurasakan airnya agak panas, sedangkan di kolam yang tak bermezbah hangat, angin siwir-siwir datang namun hanya sebentar namun entah kenapa rasanya ada energi yang nampek sehingga membuat dada kananku agak sakit. Namun memang kurasakan ada energy yang besar di sekitar stupa dan entah benar atau tidak di belakang stupa itu terlihat seperti ada sebuah gundukan tanah menyerupai makam. Seperti yang pernah dikatakan Bejo, beberapa penganut kebatinan Jawa, melakukan “Kramas tanpo toyo” (Mandi keramas tanpa air), hal ini merupakan filosofi bahwa manusia itu tidak cukup bersih secara fisik tetapi meliputi keseluruhannya yaitu tubuh, jiwa, dan roh. Sehingga di sendang ini jika hanya mandi secara fisik rasanya kurang lengkap jika tanpa mandi jiwa dan roh. Namun apakah karena aku datang sore sehingga menyaksikan orang-orang hanya mandi fisik, atau mungkinkah malam-malam tertentu atau tiap malam tempat ini untuk “kramas tanpo toyo” aku kurang mengerti karena belum melihat.
Sendang Candi Umbul merupakan salah satu situs penting, namun bukan situs dalam pengertian situs di internet. Namun apakah keberadaannya akan seperti ketika dibangun yaitu pertapaan suci atau bangunan suci adalah tergantung generasi penerus memaknai tempat ini. Lelaku atau ritual merupakan salah satu bentuk menganggap tempat itu ada atau juga mengembangkannya. Menurut hukum evolusi bagian tubuh yang jarang digunakan akan mengecil dan berfungsi, begitu pula jika tempat ini jarang dipakai untuk ritual “kramas tanpo toyo” akhirnya hanya akan menjadi tempat permandian biasa seperti kolam renang di perkotaan.

Kamis, 05 Agustus 2010

Menggugah Kasih dengan Lelaku Patirtan


Entah kebetulan atau tidak. Ketika aku mencari literatur untuk menjawab kegelisahanku dan pertanyaanku sendiri yaitu mengapa banyak orang melakukan laku spiritual dengan ritual tertentu? aku belum tahu jawabnya. Yang kuamati dan kusaksikan sendiri adalah di sekitarku di Jogja khususnya kelihatannya sudah ada dan banyak tempat ibadah dari berbagai agama dan bahkan beberapa pengikut aliran kebatinan Jawa. Meskipun aku juga menjumpai orang-orang yang tidak peduli atau mungkin sudah jenuh dengan lembaga-lembaga agama dan menyebut diri mereka agnostic. Aku baru tahu sebutan agnostic awal tahun 2010 ini, sebelumnya aku tidak pernah dengar istilah ini. Dari situ aku melihat ternyata masing-masing manusia menjalani hubungan vertikal dengan Tuhannya dengan keyakinan dan kenyamanan cara mereka masing-masing. Meskipun kadang ada benturan dan gesekan dalam pergaulan di lingkungan masyarakat yang mengklaim kepercayaannya yang paling benar. Sehingga memaksakan dirinya untuk dituruti oleh orang lain. Menurut pengalamanku sendiri, aku juga pernah berbuat begitu dan setelah sedikit belajar tentang kedewasaan sikap hal seperti itu seperti “seorang anak yang merajuk” ini kata Anthony de Mello dalam bukunya “Jalan Menuju Tuhan”.
Tentang keyakinanku sendiri, aku menulis pengalamanku sendiri bukannya untuk narsis tapi model penulisanku memang seperti ini karena dengan menulis seperti ini akan memudahkanku untuk menuangkan apa yang ada di pikiranku, meskipun bagi orang lain mungkin akan dinilai narsis, kemaki, mbagusi, gumagah, sesumbar, atau apapun mungkin itu penilaian mereka. Tapi paling enak menulis adalah dari pengalaman yang dialami sendiri dan dilihat sendiri. Sebenarnya dengan membaca literature atau melihat film maupun televisi itu juga akan menambah pengetahuan dan pengalaman kita tapi bagiku rasanya jika tidak mengalami sendiri rasanya kurang mantap.
Kembali ke masalah laku spiritual tadi, menurutku itu juga tergantung bakat dan pengalaman serta kematangan seseorang. Ada orang yang sejak kecil bisa melihat hal-hal gaib atau makhluk gaib namun ada yang tidak. Ada yang mendapatkannya setelah peristiwa tertentu ada yang karena ngelmu dan lain-lain. Aku sendiri tidak bakat dan tidak bisa melihat hal-hal seperti itu tapi beberapa temanku bisa. Ketertarikan awalku tentang hal-hal spiritual adalah karena pertanyaan yang tidak bisa kujawab sendiri? Mengapa ketika berjalan di jalan tertentu kadang aku merinding sendiri atau ketika aku berjalan di suatu tempat ada bau seperti ketela bakar dan bau wangi bunga kanthil atau melati. Jika bunga mungkin di situ memang ada bunga yang sedang mekar namun bau ketela bakar itu tidak mungkin bunga. Hal lain lagi aku juga sering bau dupa di ruangan tertentu dan bau asap rokok tanpa di situ kulihat ada asap mengepul.
Pengenalan pertama dengan dunia gaib adalah ketika aku meditasi dengan beberapa murid Paguyuban Tritunggal, ketika aku memejamkan mata setelah latihan pernapasan dan meditasi tiba-tiba ada bau harum bunga dan rasanya ada sesuatu yang memberatiku. Setelah meditasi selesai, guruku bilang ada perempuan berbaju putih dan pocongan yang menggangguku tapi sudah diusir oleh guruku. Pengalaman inilah yang membuatku penasaran tentang dunia ini dan aku mencoba memahami. Akhirnya aku diberi saran oleh seorang Romo untuk belajar meditasi dengan tradisi agamaku. Aku mempelajari bukunya John Main, OSB kemudian membaca Sadhana. Secara teori aku sedikit paham tapi dalam prakteknya betapa sulitnya menjalankan disiplin ini ternyata adanya roh-roh halus atau mahkluk gaib bukan tujuan meditasi memang akan dijumpai hal-hal seperti itu tapi itu adalah ujian untuk menyerahkan diri total kepada Tuhan. Lalu sekarang aku berdoa dulu sebelum meditasi. Ritual yang kujalani masih menggunakan metodenya John Main, OSB.
Namun ketika aku melakukan ziarah ke makam Romo Sanjaya, aku menemui ada buku yang menarik kelihatannya dibaca. Kebetulan pula uang di sakuku pas untuk membeli buku itu buku itu berjudul “Kisah Peri Menari di Atas Sendang,Sebuah Refleksi Laku Spiritual”, karangan Daniel Tatag. Setelah kubaca isinya sangat menyentuh karena hampir sama dengan beberapa pengalamanku tentang laku spiritual yang kualami. Beberapa orang Jawa sejak dulu memang banyak yang melakukan lelaku patirtan ini. Air memang melambangkan pembersihan dan penyucian. Aku lalu ingin melihat kesembilan sendang itu. Mungkin juga hal-hal spiritual yang melingkupinya, mungkin akan menjadi menarik lelaku itu. Sebelum ke sana mungkin pengalaman lelaku sendang dengan teman-teman “Sadhana Bintaran” ini merupakan salah satu kisah yang menarik bagiku.
Sadhana yang berarti ‘jalan’ yang oleh Anthony de Mello diartikan sebagai ‘Jalan Menuju Tuhan’ merupakan pengalaman yang harus dialami sendiri. Pengalaman awal untuk menemukan Tuhan adalah melalui keheningan. Kemudian bagaimana mencapai keheningan adalah melalui meditasi. Teman-teman ‘Sadhana Bintaran’ mencoba belajar untuk mengenal keheningan melalui meditasi. Setiap selasa malam mereka berkumpul dan mempelajari Sadhana, meskipun setelah mempraktekkan meditasi ternyata sangat sulit untuk bisa hening apalagi mencapainya. Dengan semangat pantang menyerah dan tidak putus asa mereka mencoba untuk terus belajar dan berupaya bisa mengenal keheningan itu.
“Outdoor meditation” adalah kegiatan yang dilakukan sebulan sekali oleh komunitas ini. Tempat-tempat yang sering menjadi tujuan dari kegiatan “outdoor meditation” antara lain Gua Maria Bintaran, Sendang Jatiningsih, Sendang Sriningsih, Gua Kerep Ambarawa, Gunung Sempu, Patirtan Ganjuran, dan beberapa tempat yang lain. ‘Outdoor meditation’ ini juga mempunyai tujuan untuk mengenal Tuhan dalam segala. Kadang Tuhan menyampaikan pesan untuk manusia melalui alam atau tanda-tanda alam. Setelah meditasipun, biasanya satu orang dengan yang lainnya mendapat pendengaran suara, atau penangkapan rasa yang berbeda satu dengan yang lain. Sungguh unik cara Tuhan menyentuh hati masing-masing manusia dan tidak ada yang sama. Mungkin kisah satu ini bisa menjadi contoh:
Pada tanggal 1 Agustus 2010 teman-teman Sadhana Bintaran merencanakan akan pergi ke Candi Ganjuran dengan naik sepeda. Rencana berangkat dari Gereja Bintaran pukul 7.00 namun karena ada yang terlambat sehingga berangkat pukul 7.30 WIB. Yang ikut bersepeda ada 5 orang yaitu: Johanes, Doni, Joshua, Neri, dan saya. Di jalan kami bersepeda satu-satu dengan jarak antara 3-10 m satu dengan yang lain. Ketika sampai di depan Hotel Winotosastro, dompetnya Doni jatuh untung Joshua yang dibelakangnya melihat lalu diambil dan oleh Doni disimpan dalam tas. Rute yang ditempuh adalah melewati Pojok Beteng Kulon ke Selatan lalu setelah sampai ring-road selatan ke barat melewati Pabrik Gula Madukismo ke selatan terus. Sesampainya di pertigaan beringin Kasongan Bantul kami ke kiri lalu kembali menyusuri Jalan Bantul. Sebelum sampai Kota Bantul kurang lebih 2 km, tiba-tiba stang depan sepedaku poroknya patah di dalam mungkin karena sudah sangat tua buatan tahun 1830an sehingga sepeda itu harus dituntun untuk mencari tukang las, karena bengkel sepeda tidak bisa memperbaiki. Setelah berjalan kurang lebih 3 km, baru ketemu spesialis bengkel sepeda yang bisa mereparasi, lalu sepeda itu ditinggal, namun sebelumnya Doni menitipkan uang Rp.20.000,- untuk porsekot awal biaya bengkel.Akhirnya aku boncengan dengan Johanes menggunakan sepedanya Romo Wondo yang dipinjam Johanes.
Sesampainya di Ganjuran mereka istirahat sejenak di pendopo Ganjuran untuk melepas lelah dan mengendorkan otot-otot kaki. Lalu makan pagi di warung sebelah Barat Gereja Ganjuran. Kemudian ketika mau membayar ternyata dompetnya Doni tidak ada yang berisi KTP dan uang Rp.80.000,-. Akhirnya mereka yang masih punya uang di saku bantingan untuk membayar. Entah mengapa hari itu aku dan Doni baru apes sehingga mereka harus mengalami hal yang tidak menyenangkan. Apa maksud Tuhan di balik ini semua?
Sesampainya di depan Candi Ganjuran, Johanes bertemu dengan Rini, wanita yang dulu pernah dia puja-puja dan Johanes pernah punya keyakinan bahwa besoknya dia akan menikah dengan wanita ini di depan gereja. Tiba-tiba wanita ini muncul dan mereka bersalaman lalu berpisah dan berdoa sendiri-sendiri. Apalagi ini maksud Tuhan? Dalam perjalanan pulang kembali ke Gereja Bintaran perjalanan lancar-lancar saja tanpa hambatan yang berarti, kami lalu mampir sebentar ke tukang bengkel sepeda tadi, kebetulan sepedanya Agung sudah selesai dan benar ternyata porok dalam patah melingkar dan harus ganti porok baru dengan biaya Rp.35.000,-. Kebetulan yang bawa uang banyak hari itu Joshua sehingga kami hutang dulu pada Joshua.
Othak-athik gathuk, itulah yang sering dilakukan orang Jawa termasuk saya mungkin dan setelah beberapa hari makna itu mungkin terjawab sebab niat keberangkatanku ke Ganjuran adalah untuk mendoakan Ibu mertuanya adikku yang sedang dirawat di rumah sakit Panti Rapih. Hari selasa sore setelah siangnya kami doakan bersama-sama, beliau dipanggil menghadap Tuhan. Keinginanku mungkin bukan keinginan Tuhan, itulah refleksiku. Sebab kami menginginkan adanya mukjizat dalam kondisi seperti itu tapi Tuhan menghendaki lain.
Bagiku apapun yang diberikan Tuhan adalah yang terbaik buat manusia, Tuhan memberi petunjuk dan pertanda lewat segala sesuatu di sekitar kita. Doaku yang dulu selalu menuntut dan menginginkan ini dan itu mulai berubah. Aku lalu mulai bisa memahami betapa beriman dan pasrahnya Maria kepada Tuhan. “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut kehendak-Mu”.

Minggu, 25 Juli 2010

Spiritual Traveling


Selama traveling dari tempat ke tempat di Jawa dan beberapa ke pulau kecil seperti Karimunjawa dan Bali banyak sekali hal yang menarik dan dijumpai. Setelah kurenungkan ternyata berangkatnya aku ke tempat-tempat tersebut adalah awalnya hanya karena mimpi dan keinginan yang besar untuk pergi ke tempat itu. Secara kebetulan pula dan tentunya spontanitas yang tidak pernah direncanakan matang. Tawaran dan ajakan itu tiba-tiba muncul dari teman-teman sekitar. Seperti misal mimpiku untuk pergi ke Bali dan naik pesawat serta kereta. Jujur saja, sebenarnya aku orang yang malas untuk pergi jauh karena satu hal yaitu “mabukan”. Sejak kecil jika diajak pergi jauh naik mobil atau bus, aku pasti mabuk dan hal ini membuatku tidak menikmati perjalanan tapi malah berusaha keras agar bisa menghilangkan rasa pening dan ingin muntah jika sudah mulai mabuk. Hal ini sangat menjengkelkan, kecuali aku pergi naik sepeda motor aku tidak akan mabuk tapi jika naik mobil atau bus jarak jauh aku pasti mabuk, kata orang-orang, kamu itu “wong ndesit tenan”. Namun keinginan yang kuat untuk melihat tempat-tempat indah di luar membuatku nekat. Waktu ingin ke Bali aku ingin naik sepeda motor tapi teman-temanku tidak ada yang berani, akhirnya kami nekat dengan bekal seadanya kami berangkat saja dan pulangnya naik pesawat. Jadi dalam perjalanan itu komplit, yaitu: naik kereta api, bus, taksi, di lokasi naik motor serta pulangnya naik pesawat. Dan semuanya itu bisa kulewati tanpa aku mabuk darat, laut, maupun udara. Satu tantangan sudah kulewati. Pengalaman pertama yang meningkatkan rasa percaya diri bahwa ternyata aku bisa melewati semuanya dan menikmati perjalananku.
Mimpi kedua yang juga aneh menurutku adalah bergabungnya aku di JHS (Jogja Heritage Society) tahun 2009. Kala itu karena bingung harus kemana lagi melangkahkan kaki, aku menggunakan insting karena bukan seorang planner yang baik yang selalu merencanakan rencana hidupnya secara detil, aku orang yang menikmati hari ini dan di sini, besok mau apa lagi, entah. Selama ini begitu yang kujalani. Kadang bertemu dengan orang-orang lain sedikit memberikan pencerahan dan petunjuk tentang jalan mana lagi yang harus kutempuh dan kulanjutkan. Hari itu aku meditasi di Candi Ganjuran, pulangnya sejak dari situ dan dalam perjalanan aku selalu bau dupa. Bau dupa ini selalu mengitariku, kadang aku jadi prindang-prinding sendiri. Tiba-tiba di jalan aku merasa blank dan tak tahu arah pulang, kok aneh. Jalan yang biasa kulewati tiba-tiba menjadi asing bagiku, lalu aku menuruti saja arah matahari agar bisa pulang ke utara tapi tiba-tiba sampai di Makam Pajimatan Imogiri, lalu aku balik dan mencari jalan pulang akhirnya ketemu jalan Bantul dan pulang ke rumah. Perjalanan hari itu menjadi permenungan panjang. Ada apa ini? Besoknya aku ditelpon temanku, untuk membantu kegiatannya di Imogiri lokasinya di sekitar Pajimatan. Langsung saja aku menyanggupinya dan mungkin ini tugas perjalananku selanjutnya karena setelah itu aku juga harus ke Pelemgede yang juga menurut cerita adalah tempat turunnya wahyu kerajaan. Semua serba kebetulan, dan akhirnya aku berkenalan dengan bukunya W.S. Olthof “Babad Tanah Jawi”. Dari cerita-cerita di situ aku sedikit memahami makna pengalaman ini. Apakah aku harus mempelajari historis kerajaan di Jawa ini? Lalu untuk apa, mungkin apakah selanjutnya aku harus merunut lagi tempat-tempat bersejarah dan makam tokoh-tokoh besar Jawa itu. Kadang peristiwa kebetulan atau tidak sebab aku juga membaca di bukunya Anand Krishna tentang Atisha bahwa dulu ada Orang Jawa yang berilmu tinggi yang mengajar di Tibet dan mengajarkan ajaran “Tong Leh” (Cinta Kasih) mungkinkah aku harus menurut orang ini sampai Tibet, aku kurang tahu? Aku hanya menjalani hari ini dan di sini. Entah peristiwa kebetulan dan mimpi apalagi yang akan menghampiriku.

Sabtu, 12 Juni 2010

Ngimpi

Saya masih ingat ketika dosen saya dulu bilang bahwa maunusia hidup itu hanya melakukan 2 kegiatan yaitu bermimpi dan menjawab bertanyaan. Jika kita ingin hidup kita harus punya impian dan menjawab permasalahan yang datang setiap hari meskipun impian atau permasalahan itu tidak bisa dijawab pada hari itu.

Menurut Wolfgang, mimpi itu adalah bahasa sandi Tuhan untuk menyeimbangkan jiwa manusia. Sehingga jika ingin memahami dengan tepat makna mimpi tersebut apa yang kita impikan harus dicatat dengan teliti jika mimpi itu muncul. Nanti jika dibaca akan membentuk suatu pola yang menjadi pertanda perbuatan kita yang harus kita lakukan.

Menurut Freud, mimpi itu adalah gambaran munculnya alam bawah sadar manusia yang terbentuk sejak kecil dan menunjukkan kondisi psikologis seseorang pada waktu itu. Bagi orang Jawa, mimpi itu kembange wong turu, jadi bunga tidur sehingga ada waktu-waktu tertentu yang menjadikan mimpi itu bisa terlaksana seperti waktu-waktu "puspo tajem".

Namun kadang aku tidak bisa memaknai mimpi yang terjadi beberapa malam kemarin....

Selasa, 08 Juni 2010

Sadhana

Dalam buku Sadhana karya Anthony de Mello saya menemukan banyak sekali butir-butir kebijaksanaan beliau yang diajarkan dengan cara yang sederhana. Agar semua orang dapat menangkap dan memahami apa yang dimaksudnya. Banyak pembimbing rohani menyatakan tidak berdaya ketika mengajarkan orang berdoa namun tidak bagi Anthony. Salah satu dasar menyatakan, bahwa doa itu suatu latihan yang membawa perkembangan dan memberi kepuasan, dan memang banyak kita mencari ini semua dalam doa. Dasar lain mengatakan bahwa doa itu harus lebih dilakukan dengan hati daripada dengan budi. Memang, semakin cepat doa bebas dari pemikiran kepala, semakin jadi menyenangkan dan bermanfaat. Kebanyakan imam dan religius menyamakan doa itu dengan berpikir-pikir. Itu gagasan mereka.
Seorang rekan Yesuit bercerita pada Anthony, bahwa ia menghubungi seorang guru Hindu untuk mendapatkan pengarahan dalam hal doa. Guru itu berkata: Pusatkan perhatianmu pada pernapasan. Rekan Anthony langsung melakukan itu selama lima menit. Lalu guru berkata: “Udara yang anda hirup itu Tuhan. Anda menghirup Tuhan dan menghembuskanNya. Sadarilah itu dan bertahanlah dalam kesadaran itu”. Berjam-jam , hari demi hari, dan ia kagum menemukan bahwa berdoa itu dapat menjadi sederhana seperti bernapas saja; menghirup dan menghembuskan udara.
Pengalaman saya sendiri bersama teman-teman Sadhana Bintaran yang mencoba menerapkan latihan rohani Anthony de Mello ini menjadikan hidup ini bisa dinikmati. Jika dulu saya sering stress dan kemrungsung dalam semua kegiatan harian saya karena pikiran yang selalu menuntut namun sekarang kita mencoba lebih sering menggunakan hati. Lebih sering mengaca dan berefleksi atas apa yang sedang kita lakukan. Mulai bisa menertawakan diri sendiri betapa bodohnya saya ini dan betapa kuatnya ego dan harga diri saya. Sehingga saya menyadari bahwa saya ini sebenarnya sakit jiwa yang akut dan tidak pernah mau disembuhkan. Karena untuk sembuh awalnya saya tidak mau, saya lebih nyaman dengan topeng yang saya pakai, dan untuk sembuh memang menyakitkan karena jiwa kita akan ditusuk-tusuk oleh hati nurani.Kita menjadi sadar ada luka batin yang masih bersarang dalam jiwa kita yang selalu muncul dan pelan-pelan dikeluarkan. Seperti sebuah gelas kaca yang didalamnya terdapat gumpalan kopi yang hitam pekat. Bagaimana agar air yang menyimbulkan jiwa kita itu bening, tidak ada jalan lain kecuali menempatkan gelas itu di bawah guyuran air bening terus menerus sampai semua kopi hitam dalam gelas itu keluar dengan sendirinya dan air di dalam gelas itu menjadi bening.

Selasa, 25 Mei 2010

Belajar Memotret

Beberapa hari ini aku sedang belajar memotret menggunakan kamera digital saku (poket). Secara teori aku membaca bukunya Atok Sugiarto yang berjudul Paparazzi. Meskipun dalam buku itu inti pokok tulisannya lebih kepada bagaimana memotret untuk tujuan kewartawanan na mun dalam bab terakhir ada tulisan yang menguraikan bagaimana menggunakan kamera saku digital. Poin-poin di situ sangat penting bagiku sebagai seorang pemula yang baru belajar memotret.

Memotret ternyata tidak mudah, selain mata harus peka terhadap subyek yang akan dipotret kita harus menguasai benar kamera yang kita pegang. Oleh karena itu dalam rangka menguasai kamera ini, saya berlatih memotret berkali-kali sampai gambar benar-benar bagus untuk ukuran saya. Untung sekarang pakai digital andaikan masih menggunakan film berapa rol yang kita butuhkan untuk belajar menguasai kamera.
Posisi paling sulit ternyata adalah menjaga kamera agar tidak goyang. Di sini jika subyeknya diam mungkin akan memudahkan kita, namun jika subyeknya bergerak maka betapa sulitnya mengambil waktu yang tepat untuk melepaskan rana dan mengatur fokus serta framing.

Tapi sangat menarik, apalagi waktu memotret malam hari, sangat sulit mengatur format kamera yang tepat agar cahaya pas. Namun ternyata apa yang kita lihat dengan mata telanjang belum tentu waktu jadi seperti yang kita lihat. Selalu ada kejutan-kejutan yang tak dikira waktu mengabadikan ruang dan waktu.

Senin, 03 Mei 2010

Energi Terbarukan

Perpustakaan Kota Jl. Suroto Kotabaru kerjasama dengan Impulse
25 Maret 2010 pukul 16.00-17.30 WIB, Tema Diskusi “Energi Terbarukan”
Pembicara: Prof Endarto dan Mas Baning
Pada kesempatan pertama Prof Endarto diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangannya terlebih dahulu tentang energi dan lingkungan.
“Indonesia itu kurang apa sih? Panas bumi melimpah, cadangan gas juga melimpah, bahan bakar fosil: minyak bumi dan batubara juga ada. Lalu bagaimana merawatnya? permasalahan yang lain adalah bagaimana me-manage-nya?”
Pertama yang harus dipahami tentang energy adalah energy tidak bisa diciptakan hanya bisa dirubah. Jadi jika ada orang yang mengatakan ada alat yang bisa mengubah energy masuk kecil keluar besar itu salah besar. Energy berbeda dengan daya. Kalau alat penguat daya itu ada. Jadi jika ada orang bisa mengubah air menjadi bensin itu bohong besar seperti kasus “banyu geni” itu tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.
Melihat kondisi yang ada sekarang mengingat bahan bakar fosil bisa habis yang bisa segera dilakukan adalah merubah kebiasaan dari budaya boros energy ke budaya hemat energy sebab energy mempunyai efek samping dan polusi. Energi gerak bisa memindahkan benda dari satu ke tempat yang lain. Bensin bisa menghasilkan energy gerak. Namun efek sampingnya adalah gas buang polusi kalau Carbonnya tidak terbakar sempurna. Selama ini bahan bakar yang kita gunakan berasal dari fosil seperti minyak bumi dan batubara, ada alternative lain ke energy terbarukan seperti panas matahari dan air.
Kontribusi polusi negara berkembang tidak sebesar negara maju, Negara maju menghasilkan polusi 10 kali lipat dari negara Indonesia. Orang modern serba ingin nyaman. Untuk menghidupkan AC butuh energy untuk menghidupkan Kulkas butuh energy. Misal Amerika itu menghabiskan 1/5 bahan bakar energy dunia. Prancis mencukupi kebutuhan energinya 70% dari nuklir. Tapi yang perlu dipikirkan sangat adalah nuklir punya polusi radioaktif yang tidak bisa diurai ribuan tahun.
Indonesia memiliki energy panas bumi terbesar di dunia. Kedua adalah energy air: pemerintah belum menggalakkan energy alternative ini. Tahun 2005 Indonesia rencananya akan mempunyai energy nuklir tapi karena kendala dan perdebatan yang belum selesai permasalahan nuklir ini maka belum bisa diwujudkan rencana itu. Pertimbangan ini dasarnya adalah bahwa tiap tahun Indonesia mengalami kenaikan pasokan listrik sebesar 7% dan 14 tahun lagi kebutuhan listrik Indonesia adalah 2 kali lipat kebutuhan saat ini. Mengingat bahan bakar fosil tidak akan mencukupi maka pembangkit listrik energy nuklir itu yang mungkin.



Pembicara selanjutnya adalah Mas Baning: Aktivis lingkungan dan pemrakarsa energy biogas tingkat dusun. Berdomisili di Sinduadi Mlati Sleman.
Dari jumlah energy fosil yang ada minyak bumi 50 tahun ke depan akan habis sedangkan batubara 160 tahun ke depan akan habis jika penggunaan bahan bakar fosil masih seperti sekarang.
Pembangunan di Indonesia dijalankan tidak serius bahkan bukan itu saja bisa dikatakan konyol. Peradaban kita harus dibangun dengan serius, kita sadar sumber energy terbatas, kita membutuhkan energy terbarukan. Kita harus mengendalikan diri. Sebab selama ini terjadi kontradiksi di satu sisi orang berusaha menghemat energy di satu sisi orang menghabiskan energy. Yang harus dilakukan adalah meredam impian kemakmuran. Hasil peradaban modern adalah menjanjikan sesuatu yang nyaman dan instant. Kemudahan yang dihasilkan oleh modernitas mempunyai 2 sisi kontradiktif, anak kandung modernitas energy terbarukan akan menjadi nyata dan bisa menggantikan energy fosil.
Kita sudah terlanjur nyaman, Kita enggan melepaskan diri dari kenyamanan itu. Apakah pemerintah siap? Dari proses berpikir ala mazhab modernitas ini akan berpikir instant, mudah, dan cari nyamannya yaitu mengambil jalan pintas: nuklir. Perlu diberi catatan berapa tahun plutonium bisa diurai? Bukankah ribuan tahun, dampaknya yang menikmati kesengsaraan anak cucu kita.
Alternatif lain adalah Biofuel: tapi berapa berapa hektar lahan yang dibutuhkan untuk tanaman ini. Jerman membutuhkan lahan satu juta hektar untuk menghasilkan energy yang masih belum mencukupi. Di Brasil dan Amerika juga mengalami hal yang sama. Lalu benturannya adalah lahan yang digunakan menjadi pertempuran antara Pangan VS Bahan Bakar.
Alternatif lainnya lagi adalah Biogas, Mas Baning sudah mencoba dan menerapkannya dari 50 ekor sapi cukup untuk 10 KK untuk memasak, hanya kemudian masalah yang muncul adalah perlu pengorganisasian yang tidak mudah dan mengorganisir kelompok sangat sulit sebab nanti yang muncul diantara mereka adalah reactor biogas ini milik siapa? Sementara ini negara tidak memikirkan alternative ini.
Jika masyarakat desa mampu seperti itu maka bentuk distribusi ke depan untuk cakupan dusun, RT/RW biar diurus masing-masing dusun dan biarlah mereka punya hak desentralisasi masalah listrik dan energy sendiri dan negara hanya memikirkan hal-hal yang besar seperti industry dan pabrik.
Dari perbincangan itu kemudian disepakati dan consensus bahwa nuklir untuk saat ini dengan sumber SDM yang masih kurang sangat tidak dimungkinkan untuk dibuat di Indonesia mengingat juga polusi efek sampingnya. Bahan bakar fosil jika masih seperti ini penggunaannya jelas akan habis, yang perlu segera dilakukan adalah membuat sumber energy dari panas matahari, angin, dan energy air laut jangan buat PLTA yang dampaknya seperti kasus Kedungombo, yang memakan korban yang tidak sedikit. Terlebih lagi kita masing-masing individu harus melakukan pertobatan pribadi, lingkungan, sosial, dan negara untuk memulai ramah lingkungan dan hemat energy yang dimulai dari diri sendiri.

Senin, 12 April 2010

Perjalanan Ke Gua Kerep Ambarawa

Rencana ziarah dan meditasi ke Gua Maria Kerep Ambarawa sebenarnya sudah direncanakan sejak Bulan Januari kemarin oleh Kelompok Sabin (Sadhana Bintaran). Namun karena kesibukan masing-masing dan tidak punya cukup waktu untuk pergi bersama-sama semua anggota, akhirnya rencana itu ditunda sambil menunggu waktu yang tepat. Selama Masa Prapaskah, anggota kelompok ini disibukkan oleh penyelenggaraan Tableau yang cukup menyita waktu dan menguras energi serta pikiran sehingga setelah Tablo terlaksana maka sudah waktunya untuk merealisasikan rencana itu. Mendengar informasi bahwa Jaringan Kodok akan menyelenggarakan acara di Gua Maria Kerep Ambarawa pada bulan April maka kami segera mencari informasi tentang acara tersebut. Kebetulan juga pada saat misa nanti yang diminta bertugas untuk koor adalah Paduan Suara Fidelis dari Gereja Bintaran, sehingga kami ada teman untuk berangkat ke sana. Pada pertemuan Hari Selasa diperoleh kepastian bahwa Misa akan diselenggarakan Hari Minggu 11 April pukul 10.00 WIB. Lalu ditawarkanlah ke teman-teman siapa saja yang mau berangkat ke sana namun ternyata Waldi tidak bisa karena dia ada syukuran di Bintaran dan Doni juga harus menjadi walinya maka usulan teman-teman malam itu agar mencari waktu lain yang luang agar semua bisa. Namun, melihat rencana sudah sejak Bulan Januari dan sudah Bulan April rencana itu belum terlaksana maka jika harus menunggu semua bisa tidak akan berangkat maka diputuskan siapa saja yang bisa untuk berangkat maka Bejo dan saya yang akhirnya bisa dan punya waktu maka berangkatlah kami berdua mewakili Sabin ke Ambarawa.
Rencananya kami akan berangkat hari Sabtu sore 10 April pukul 15.00 sehingga di jalan tidak kemalaman dan disana malamnya akan meditasi dan berdoa ujub pribadi lalu tidur di sana dan siangnya membantu Fidelis untuk koor. Fidelis mengadakan latihan hari Rabu dan Jumat, aku hanya bisa latihan hari Jumat itupun sebelum latihan semua lagu selesai pukul 21.00 disusul Waldi diajak berembug sesuatu di angkringan depan Gereja Bintaran. Sementara Anjar dan teman-teman yang lain akan jaga panduan misa. Kesepakatan malam itu kami membagi tugas karena ternyata 10-11 April banyak kegiatan dan benturan dengan kegiatan yang lain sehingga keputusan itu diterima oleh masing-masing individu. Setelah latihan koor dengan Fidelis, saya dapat kepastian bahwa Fidelis akan berangkat dari Bintaran hari Minggu jam 5.00 pagi, lalu aku memutuskan akan berangkat sendiri dengan Bejo karena jika bersama Fidelis kami tidak sempat meditasi dan ujub pribadi serta sharing spriritualitas. Maka aku memutuskan untuk berangkat dari Jogja hari Sabtu pukul 15.00 WIB.
Hari Sabtu siang aku mempersiapkan segalanya mulai servis motor dan ganti oli lalu mempersiapkan sleepingbag serta pakaian ganti siapa tahu kehujanan di jalan. Aku keluar rumah pukul 15.30 karena ada beberapa yang harus dipersiapkan, sesampainya di kiosnya Jo ternyata dia belum apa-apa dan masih harus menunggu 2 sandal yang harus dilemnya. Apalagi pukul 16.00 mulai turun hujan dan akhirnya menunggu hujan reda pukul 17.30, Itupun masih harus mengantar setoran sepatu Joe keUtara pasar Ngasem. Pertanda akan banyak ujian dan harus sabar melebarkan hati dan pikiran. Setelah selesai setor kami berangkat pukul 18.00 dengan kondisi hujan sehingga mau tidak mau kami mengenakan mantol. Sesampainya Jalan Magelang hujan bertambah deras dan Joe minta mencari Angkringan karena sudah merasa lapar, katanya sehari ini mulai jam 6 pagi sampai jam 6 sore dia puasa. Setelah makan di angkringan, kami ngobrol dengan penjualnya, asalnya dari Bayat Klaten dan sudah 8 tahun berjualan di tempat ini padahal usianya masih muda baru 36 tahun tapi katanya karena kepepet sudah berkeluarga dan punya anak 2 maka mau tak mau dia harus cari pekerjaan dan jualan angkringan ini satu-satunya yang mungkin dia lakukan. Lama ngobrol ternyata dia dulu adalah teman satu pabrik waktu si Joe dan penjual angkringan ini bekerja di Nasa, dunia seolah sempit karena semua ternyata teman. Kami lalu meneruskan perjalanan dan sampai di Muntilan dapat cobaan lagi karena ban motor belakang bocor dan harus mencari tukang tambal ban dan harus menunggu satu jam karena antri.
Kami melanjutkan perjalanan lagi, meskipun jalan gelap dan banyak bus serta truk dan hujan kami tetap berjalan pelan-pelan. Sepatu mulai basah dan jaket serta baju juga mulai basah namun sesampainya di Magelang jalan kering dan tidak turun hujan di tempat ini. Meskipun begitu kami tidak melepas mantol karena tanggung dan siapa tahu nanti di depan hujan turun lagi. Setelah yakin tidak hujan sesampainya di Secang mantol aku lipat dan melanjutkan perjalanan. Kulihat tanda bensin masih 2 strip berarti masih 2 liter dan aku kira cukup untuk sampai Ambarawa.
Pukul 11.00 WIB akhirnya kami sampai di Gua Maria Kerep Ambarawa, lega rasanya meskipun pantat agak gringingen dan pegel-pegel gimana rasanya namun merupakan kebahagiaan tersendiri karena selamat sampai tujuan. Apalagi sampai di sana di pintu masuk sudah melihat banyak cewek cantik sehingga lumayan menyegarkan mata karena sejak tadi yang dilihat Cuma jalan dan lampu kendaraan. Spontan Joe berucap, “Wah penak ki nggone nggo Mbojo, yo mugo-mugo wae awake dewe cepet entuk jodho dadi sesuk nek rene iso bareng lan ngejak bojone dewe-dewe.” Kemudian tempat tujuan pertama adalah kamar mandi karena sudah ngempet sejak tadi. Kami gantian menjaga tas, dan karena sepatu basah lalu kulepas dan kujemur di pojok pendopo agar kering sehingga besok siang bisa kupakai pulang lalu aku mengenakan sandal jepit. Kami foto narsis dulu di tempat ini untuk mengabadikan sudah sampai di tujuan.
Pukul 12.00 WIB kami mencari tempat yang sepi di samping gua, tak ada seorangpun di situ lalu menyalakan lilin membaca doa dan kitab suci lalu meditasi 20 menit. Setelah selesai kami lalu berdoa sendiri di depan gua dengan ujub masing-masing. Kami lalu ngobrol di pelataran gua yang sepi sambil menggelar sleppingbag setelah curhat kami lalu tidur. Pagi harinya sudah banyak para peziarah yang berlalu lalang, aku lalu ke kamar mandi dan mengambil sepatuku, tapi sayang sudah tidak ada ditempatnya. Hilang, ah sepatu sobek dan murah dan kaos kakinya bau kok tetap masih ada yang berminat ya. Mungkin dianggap berkah oleh penemunya hihihi…ah biarlah kurelakan saja, akhirnya kemana-mana aku mengenakan sandal jepit. Sambil menunggu Fidelis, kami sarapan di warung dan ditengah-tengah sarapan Riko nelpon posisi di mana? Para petugas Fidelis sudah di Panti Koor. Aku lalu bergegas menuju Panti Koor lalu mengikuti Misa yang dipimpin Romo. R. Budiharyana, Pr. Tema Novena kali ini adalah “Syukur Atas Habitus Baru Dalam Paguyuban-Paguyuban Yang Menumbuh-Kembangkan Semangat Berbagi”. Setelah selesai kami berfoto bersama panitia Komunitas Jaringan Kodok DIY. Begitu selesai foto-foto tanpa disangka teman-teman OMK bermunculan untuk mengucapkan selamat pada Fidelis dan member dukungan. Lalu kami pulang sendiri-sendiri sesuai keberangkatan masing-masing. Kali ini kami selamat sampai di Gereja Bintaran tanpa kebanan dan langsung bertugas jaga panduan misa.

Kamis, 25 Februari 2010

Sehari Di Ruang Publik

Hari Sabtu tanggal 20 Februari 2010 tepat pukul 16.00 saya sampai di Perpustakaan Kota Yogyakarta, Jl. Suroto Kotabaru. Di situ sudah hadir beberapa orang untuk mendengarkan gagasan dari Arie Setyaningrum Pamungkas, Dosen Sosiologi UGM tentang: Konsep-Konsep Michel Foucoult.
Siapakah Michel Foucault, dulu dia adalah orang yang tidak terkenal sampai akhirnya essai-essainya dikumpulkan dan diterjemahkan dalam Bahasa Inggris dari situlah dia mulai dikenal dunia. Foucault tidak pernah menulis buku, dia hanya menulis essay dan essay inilah dikumpulkan oleh seorang teman baru dipublikasikan dalam sebuah buku kumpulan essay. Michel Foucault menyumbangkan gagasan yang provokatif sekaligus subversive di dalam Perkembangan Teori Postmodernisme menjelang akhir abad 20. Gagasan intinya yang membedah “kuasa pengetahuan dan bagaimana pengetahuan melahirkan (generating) kekuasaan” merupakan perspektif yang secara progresif mengubah kritik terhadap kuasa dan kekuasaan sebelumnya yang melulu berbasis pada aspek structural (empirisme), meskipun dalam gagasannya sama sekali tidak menafikkan aspek struktur social
Dari gagasan-gagasan kuncinya, pemikiran Foucoult kemudian diaplikasikan lebih jauh oleh banyak intelektual lainnya yang memfokuskan analisisnya pada topic-topik sebagai berikut:
1. Biopolitics: Kekuatan social, politis, ekonomi, yang berbasis pada reproduksi “biologis” dan berdampak pada “Kuasa yang bersifat hegemonic-dominatif.
2. Rezim regulasi: Pengkondisian kondisi normalitas abnormalitas di dalam masyarakat melalui kekuasaan yang membedakan 2 sumber rasionalitas: Legitimate-illegitimate (contested term: masih merupakan gagasan Foucault yang terbuka hingga kini masih merupakan diskusi yang problematic)
3. The Politics of Identities > Gagasan Foucoult yang memuat ide tentang “the biopolitics’ dan “the regime of regulations” mendorong banyak intelektual membedah ulang (dekonstruksi) analisis kekuasaan yang bersifat hegemonic atau bahkan dominan dengan sekaligus kritik atas analisis metodologi ilmu social yang berbasis pada metode ‘oposisi biner’
4. Foucault memperkenalkan konsep ‘truth is a contested relative mechanism in relation between power-knowledge> mendorong penemuan baik secara ‘ideologis’ maupun secara ‘partisipatif’ pada kajian-kajian ‘Pascakolonial” yang mencoba keluar dari bingkai (frame) analisis lama yang berbasis pada oposisi biner.
Itulah inti dari diskusi hari itu tentang Michel Foucault, kemudian aku dan beberapa teman melihat “Jazz On The Book” di halaman Kompas. Kali ini acara dibuka oleh para pemusik Jazz Jogja yang membawakan beberapa lagu. Alat music yang dimainkan : Saxophone, Gitar, Drum dan Keyboard. Kemudian Mbah Landung Simatupang membacakan prosa untuk awal. Kemudian dia juga membacakan puisi-puisi Wiji Thukul yang bertemakan “Inclusive Citizenship” dikatakan oleh Landung bahwa Inclusive adalah lawan kata dari Exclusive tidak mudah untuk menjalankan prinsip ini karena kita harus punya hati dan pikiran yang lapang untuk menerima semua perbedaan. Wiji Thukul yang entah dimana sekarang keberadaannya, tidak mengenyam pendidikan tinggi, dia hanya mengolah rasa dan akal sehatnya untuk membuat puisi-puisi yang melihat bahwa banyak ketidak adilan social di sekitarnya. Kumpulan puisi Wiji Thukul ini juga diberi pengantar oleh Munir yang akhirnya dibunuh di udara. Selain itu juga Landung juga membacakan Puisi Aidit saat berada di Paris untuk membela kaum buruh.
Setelah pembacaan Landung selesai saya ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang sedang berlangsung pembacaan puisi dan happening art oleh teater Tantra. Teater Tantra menampilkan bagaimana anak jalanan digusur dan dibinasakan bahkan tidak ada tempat untuk dimakamkan. Ditangkapi polisi dan dikejar-kejar, profesi mereka sebagai pengamen seolah sampah bagi penguasa.
Malam pukul 22.00 saya pulang dengan hati getir……………………..

Jumat, 12 Februari 2010

Tujuh Jurus Mendapatkan Cinta

Cinta adalah suatu konsep yang paling sulit didefinisikan, tapi beberapa orang bisa merasakannya. Saya tidak akan mendefinisikan konsep cinta ini karena masing-masing orang punya definisi sendiri tentang konsep ini. Valentine’s day saya kira banyak orang tahu yang jatuh pada tanggal 14 Februari, kisah seorang pastur yang rela mengorbankan diri untuk kebahagiaan orang-orang yang dicintainya sebuah kata yang ditinggalkan oleh pastur itu “LOVE FROM YOUR VALENTINE” menjadi kenangan bagi orang-orang tercinta yang ditinggalkan. Di sini saya juga tidak membatasi diri untuk membicarakan Valentine’s day bagi agama Kristiani saja tapi saya harap spirit ini juga bisa mendewasakan kita sebagai masyarakat yang terbuka dan memahami bahwa ada beberapa tradisi di sekitar kita.
Nah sekarang kita kembali ke masalah cinta tadi. Banyak sekali literatur dan referensi yang menulis tentang cinta yang kebanyakan menjadi tema novel dan film. Mengapa dibuat novel, film, dan juga puisi? Karena cinta berada di tataran perasaan bukan logika. Banyak literatur yang mengatakan ada perbedaan antara laki-laki dan wanita yaitu laki-laki lebih senang menggunakan logika dan wanita lebih menggunakan rasa. Ronald Frank dalam bukunya “Cara Memikat Wanita Idaman” mengatakan bahwa kebanyakan kesalahan yang dilakukan pria adalah menganggap wanita itu senang pada harta dan kecerdasan yang menggunakan logika. Banyak laki-laki terjebak dengan perdebatan pada logika, padahal menurut Frank kebanyakan pendekatan yang berhasil jika laki-laki itu bisa menggunakan seni mengolah rasa bukan logika. Itu menurut Ronald Frank. Ada juga artikel tentang “Tips Cewek Buat Para Cowok” dalam artikel ini beberapa strategi yang disarankan adalah: Temukan daya pikat alamiah diri, Manja, Jinak-jinak merpati, Kenali Tipe Cowok Khusus,Mengenal dan Mengerti Hobi Cowok, Percaya Diri. Nah membandingkan kedua literatur itu maka agar adil dan tidak mendiskreditkan salah satu, ada beberapa hal kesamaan yang bisa dijembatani di sana. Selain dari teori di atas perlu dikombinasi dengan pengalaman nyata khususnya dari beberapa teman saya yang saya nilai berhasil mendapatkan seni bercinta itu tanpa saya menyebutkan nama mereka.
Tujuh jurus yang saya kira perlu dipahami dan dimengerti oleh pria maupun wanita adalah:
1. Pentingnya memahami “Seni Berkenalan”
Hal ini tidak mudah, bagi yang punya kemampuan berkomunikasi bagus mungkin tidak menjadi kendala tapi ada beberapa orang yang “groginan” baru berdekatan saja sudah keluar keringat dingin, juga ada yang kalau dengan teman biasa bisa ngomong lancar tapi begitu mau ngomong dengan orang yang ditaksir seolah mulutnya terkunci dan hanya dag-dig-dug sendiri. Hal ini perlu dipelajari sendiri bagaimana pentingnya berkenalan agar terlihat alami. Banyak kiat di berbagai literature atau Tanya teman yang sudah berpengalaman.
2. Pentingnya “Cara Menarik Perhatian”
Nah di sini perlu digunakan teori “yang unik itu menarik” dan yang minoritas diantara yang mayoritas biasanya adalah yang diperhatikan. Atau “devian itu solusi” kadang perilaku yang menyimpang malah menjadi pusat perhatian. Contoh kongkritnya, apa yang kita kenakan sebenarnya adalah medan pertempuran untuk menentukan makna. Teman saya yang sukses menerapkan ini adalah ketika dia berpindah agama dan ditentang oleh keluarganya demi menarik perhatian seorang wanita yang sekarang menjadi istrinya.
3. Pentingnya “Membangun Komunikasi”
Nah jika perhatian sudah didapat missal sudah punya nomor hapenya atau punya e-mailnya hal yang perlu dibina adalah menjalin terus komunikasi dan ini memerlukan seni tersendiri agar tidak membosankan.
4. Pentingnya “Membuat Kesepakatan”
Jika komunikasi sudah berjalan, perhatian sudah didapat, langkah selanjutnya adalah “Nyaman” tidakkah hubungan itu. Jika hubungan itu nyaman bisa dilanjutkan ke tahap penentuan kesepakatan, apakah hanya sebagai teman atau pacar.
5. Pentingnya “Teknik Menembak”
Nah di sini kadang yang menjadi titik yang paling menentukan dan paling sulit. Beberapa contoh sukses teman saya yang berhasil menerapakan seni menembak adalah salah satunya dengan metode “Lady First” dia sengaja menarik perhatian wanita yang dipujanya, lalu mencoba membiarkannya atau metode “tarik ulur” nah lama kelamaan si wanita itu penasaran dan tidak sabar lalu mengajak makan di suatu restoran mewah untuk menanyakan sebenarnya hubungan mereka mau dibawa ke mana? Dan di sinilah si laki-laki baru mengatakan “Aku sebenarnya mau mengatakan itu tapi tidak berani, lalu bagaimana? Apakah kamu mau kita pacaran.” Sejak itu mereka pacaran dan laki-laki itu member cincin perak di jari si wanita sebagai bukti mereka sekarang jadian.
Contoh teknik lain adalah dengan menggunakan alat perekam. Jika anda punya alat perekam akan sangat membantu bagi anda yang sulit untuk menghadapi kegrogian jika bertatap langsung dengan pujaan. Teman saya yang sukses dulu seperti ini: Dia memutar lagu-lagu romantic di depan sebagai prolog lalu ditengah-tengah dia merekam suaranya sendiri yang mengungkapkan betapa dia mencintai wanita tersebut dan menanyakan maukah menjadi kekasihnya? Lalu ditutup dengan lagu romantic lagi sebagai epilog. Lalu setelah jadian lelaki itu memberi wanita itu gelang perak sebagai bukti mereka sudah jadian.
6. Pentingnya “Membeli Perak”
Nah sebelum atau sesudah menembak alangkah penting anda memiliki perak untuk persiapan diberikan kepada calon atau pasangan anda bisa berupa cincin, anting, gelang, ataupun bross.
7. Pentingnya “ Mengetahui Tempat Penjualan Perak”
Ada beberapa tempat penjualan perak salah satunya, di Dusun Pelemgede Desa Sodo, Kecamatan Paliyan, Wonosari, bisa dilihat di www.perakpelemgede.blogspot.com.
Atau bisa pesan ke saya atau email saya (agoenk_gondrong@yahoo.com) atau bisa juga saya antar anda ke sana.

Begitulah mungkin tujuh jurus mendapatkan cinta yang diramu dari berbagai sumber. Semoga berguna. Hihihi………

Senin, 08 Februari 2010

Spiritualitas Pemerdekaan

4o Hari Gus Dur dan 11 Tahun Romo Mangun
Kaum Muda Merayakan Indonesia
Inilah tema yang diangkat dalam acara di Auditorium Puskat Kotabaru Yogyakarta. Pembicaranya adalah Romo Baskoro, penulis buku dan staff pengajar Universitas Sanata Dharma, kemudian Atong dan Wisnu: keduanya adalah aktivis mahasiswa tahun 1998.
Pada awal acara dibuka dengan lagu-lagu perjuangan kemanusiaan oleh Wiridan Sarikraman kelompok musik yang bermarkas di DED (Dinamika Edukasi Dasar) yang konsen pada perjuangan kemanusiaan. Sempat saya merinding ketika acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Lama saya tidak menyanyikan lagu ini dan ketika menyanyi terlintas betapa banyak korban dan darah yang tertumpah untuk mendirikan sebuah negara bernama Indonesia. Yang pondasinya sudah diletakkan oleh para founding father namun arah ril yang dilaluinya berbelok-belok dan dibelokkan oleh banyak kepentingan yang ada di dalamnya sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum terwujud.
Romo Baskoro memaparkan kedua tokoh yang visinya sama yaitu berjuang demi rakyat namun dalam ranah yang berbeda. Gus Dur lebih berjuang di tataran politik nasional dan internasional sedangkan Romo Mangun berjuang di tataran praksis grassroot bersama dengan orang-orang lapangan. Negara ini menjadi arena pertarunagn politis dari kubu Liberalisme di barat dan Komunisme di timur sehingga dulu untuk mendirikan negara ini diperlukan orang yang Nonblok seperti Soekarno untuk member warna tersendiri di dunia internasional. Meskipun arena pertarungan itu menimbulkan korban yang tidak sedikit.
Kedua Guru Bangsa ini menginspirasi para aktivis mahasiswa tahun 2008 untuk menuntut lengsernya rezim yang dictator dan kurang membela rakyat pada masa pemerintahan Soeharto. “Bayangkan pada masa itu kami menganggap Marxis itu sudah kiri tapi oleh Romo Mangun Marx itu disebut kanan” Ucap Wisnu. Sehingga kami terus mempelajari bentuk teori dan praksis seperti apa yang pantas diterapkan untuk negara ini. Atong lebih berjuang dengan ekspresi dunia seninya dengan poster dan papan reklame serta lukisan kanvasnya dan sekarang menggeluti dunia tato. Kalau kita disuruh menjadi seperti kedua tokoh kita itu Romo Mangun dan Gus Dur akan sulit karena pasti akan migraine dengan pemikiran yang mereka kuasai. Itu butuh proses dan disiplin tersendiri. Sebab bayangkan saja dari hal kecil Gus Dur itu bisa menghapal 500 nomor telepon itu belum pemikirannya yang sangat brilliant. Romo Mangun juga seorang arsitek, budayawan, novelis, penulis buku. Siapa orang yang bisa seperti mereka. Yang mungkin bisa kita lakukan sekarang adalah berkarya di bidang masing-masing demi mewujudkan cita-cita luhur bangsa ini.
Secara teologi kedua tokoh ini menjalankan Teologi Pembebasan tapi lebih tepatnya adalah mereka menjalankan spiritualitas pemerdekaan. Romo Baskoro pernah menulis tentang Spritualitas Pembebasan. Namun kedua tokoh ini lebih menjalankan spiritualitas pemerdekaan karena bisa diterapkan di lini apapun di segala bidang yang bisa dilakukan oleh masing-masing individu.

Minggu, 31 Januari 2010

Apin

“Mak, Mengapa Emak tidak pernah dolan tiap malam seperti Bapak?”
Sela Apin malam hari sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan Emaknya. Merangkak lalu menuju dinding bambu tempat foto keluarga ditempel yang diterangi cahaya senthir.
“Ah, Laki-laki memang seperti itu, sudahlah ini sudah malam, waktunya kamu tidur Pin, besok Emak harus bangun pagi.”
Apin lalu kembali ke pelukan Emaknya dan sambil mendengarkan tembang yang didendangkan Emaknya, perlahan-lahan terlelaplah anak itu. Namun mata Emak menerawang jauh ke suatu peristiwa tempat dimana tiap malam Bapak nongkrong.
Ayam berkokok, sebelum mentari mengintip di ufuk timur. Apin sudah berada di punggung gendongan Emaknya menuju sebuah pasar di ujung desa. Menggelar dagangan. Namun hanya tiap Legi dan Pahing.
Begitu mentari tepat di atas kepala, menandakan bahwa waktunya untuk pulang ke rumah. Siang itu udara memang panas, ditambah lagi musim kemarau yang masih berjalan dan belum memasuki musim penghujan, membuat para warga Dusun Pinadah lebih memilih melakukan aktivitas di luar rumah untuk mendapatkan kesegaran angin yang sedang berhembus. Memegang penjepit logam dan menghadap sebuah kursi kayu atau meja kayu merupakan pemandangan keseharian yang dilakukan para warga Dusun Pinadah. Bedanya dengan dusun dan desa sekitar yang pemandangan kesehariannya hampir sama adalah kepercayaan diri yang dimiliki warga Dusun Pinadah yang tertanam dalam benak mereka bahwa mereka adalah warga dusun pinilih sebagi tempat turunnya wahyu kerajaan.
“Laris Yu!”
Sela Pak Lurah ketika Emak sudah sampai di rumah. Siang itu Bapak lagi kedatangan tamu Pak Lurah yang sedang membicarakan rencana pameran desa.
“Lumayan Pak Lurah.” Jawab Emak.
Bapak adalah seorang tokoh masyarakat terkenal yang sampai sekarang masih terus menceritakan kisah turunnya wahyu kerajaan itu kepada setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya.
“Dahulu menurut cerita orang-orang tua, di sini itu ada dua orang kakak beradik yang sedang menjalani ritual puasa dan matiraga untuk bertapa agar mendapatkan wahyu dari Yang Maha Kuasa. Suatu hari Sang Kakak mendapatkan wangsit barangsiapa bisa menghabiskan kelapa ini satu tegukan saja, dia yang akan menjadi raja. Namun ketika kelapa itu dibawa pulang karena Sang Kakak belum haus benar maka diletakkan kelapa itu di dapur dan berpesan kepada Sang Istri dengan keras agar kelapa itu jangan di apa-apakan. Kebetulan Sang Adik di suatu tempat punya kerinduan untuk bertemu dengan Sang Kakak maka dia berjalan kaki menuju rumah Sang Kakak, sesampainya di sana langsung menuju dapur dan karena haus maka diteguknyalah kelapa itu satu tegukan sampai habis. Maka Sang Adiklah yang menjadi raja. Namun dalam hal ini yang paling berjasa dan lebih suci hatinya adalah Sang Kakak karena dia yang mendapat wahyu pertama kali.”
Begitulah Bapak selalu bercerita sebagai orang yang bangga dengan sejarah desanya sebagai desa yang mendapat wahyu pinilih dari Yang Kuasa.
Pak Lurah seorang tokoh pejuang di Dusun Pinadah yang berbeda dengan Bapak dalam memandang persoalan dusunnya sering berbedebat dan berbeda pendapat.
“Kalau saya prihatin dengan kondisi pemuda di sini yang banyak menganggur dan mencari pekerjaan di kota besar sehingga dulunya sangat sedikit pemuda yang ada di dusun tapi berkat perjuangannya mendirikan kelompok pengrajin logam maka sekarang hampir semua pemuda menngeluti kerajinan ini dan tidak ada yang menganggur bahkan sedikit sekali sekarang para pemuda yang mengadu nasib di kota besar sebab di sini sangat mebutuhkan tenaga para pemuda tersebut. Jadi untuk memajukan desa adalah berpikir kreatif dan kerja bukan dengan mengingat romantisme jaman dulu.”
Begitu jika Pak Lurah bercerita kepada Bapak tentang pandangannya terhadap desa ini.
“Saya juga tidak sepakat jika ada ritual yang hanya melanggengkan masa lalu yang terbukti tidak membawa kemajuan seperti upacara memperingati 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari. Itu merupakan pemborosan.”
Demikian Pak Lurah menekankan prinsipnya.
Apin hanya menemani Emak menyiapkan minum di dapur lalu menyuguhkan ke tamu. Lalu Emak segera mengambil piring, gelas, dan peralatan dapur yang kotor lalu pergi ke sumur umum. Setelah selesai mencuci piring, Emak mengambil baju-baju yang kotor lalu kembali ke sumur umum lagi. Setelah selesai, Emak lalu mengambil kursi lalu mengerjakan “isen-isen perak” yang harus diselesaikan karena Bapak kemarin menyanggupi Pak Bos di kota bahwa minggu ini pesanannya akan selesai. Setelah selesai mengerjakan isen-isen, Bapak yang mematri dan menyelesaikan perhiasan tersebut sampai bentuk jadi.
Malam hari Bapak akan pergi nongkrong di warung angkringan lalu bersama laki-laki lain tertawa terbahak-bahak dan pulang sudah sempoyongan lalu tidur. Sementara Emak masih harus melempit pakaian dan menyiapkan dagangan yang akan dibawa besok pagi ke pasar.
***
Apin sudah sunat. Dia oleh Emak sudah dibiarkan bermain bebas dengan teman-teman di luar sekehendak hatinya. Bersepeda dengan teman-teman adalah kegemarannya. Suatu hari dengan teman-temannya mereka menuju kota. Ada festifal kesenian di Alun-Alun Kota ada ular naga yang ditarikan oleh banyak orang diiringi bunyi kedompyang-kedompyeng, Ada iring-iringan mobil dan truk yang dihias, ada andong hilir mudik. Tapi ada yang janggal. Apin melihat Bapak menggandeng wanita yang lebih muda dari Emak. Apin begitu gembira bertemu ayah di alun-alun tapi Apin diberi uang oleh Bapak dan disuruh pulang dan dengan wajah marah Bapak mengancam, “Jangan bilang Emak. Awas!”
Apin pulang dengan sedih, dia pulang ke rumah masih melihat Emak sedang mencuci baju di sumur umum. Sambil menimba air untuk mandi, Apin bertanya pada Emak. “Mak kalau laki-laki bergandengan sama wanita namanya apa Mak?”
“Pacaran.” Jawab Emak lirih
“Kamu sudah punya pacar? Atau kamu lagi senang dengan perempuan mana?” Tanya Emak sambil tersenyum.
“Ndak Mak”. Jawab Apin.
Sore hari Apin dan teman-teman nonton tipi di rumah Pak Lurah. Apin melihat di kota banyak bus, mobil, kereta api, dan gedung-gedung bertingkat yang di dusunnya tidak ada. Pulang ke rumah Apin berbicara dengan Emak.
“Mak kapan kita ke kota?”
“Ah itu hanya laki-laki yang ke kota biasa ke tempat Pak Bos, sekali-kali kamu ikut Bapak ke kota untuk setor.”
***
Apin merantau ke kota untuk mencari pengalaman dan penghidupan yang lebih baik karena sekarang dia sudah dewasa. Apin bekerja di rumah Pak Bos yang dulu sering ke rumah untuk mengambil pesanan.
Di Kota Apin mulai kenal yang namanya kost-kostan. Dia juga kenal yang namanya pacaran seperti yang dikatakan Emak waktu dulu. Apin sering melihat Tinah, seorang pelayan warung makan tempat biasa dia makan siang waktu jam istirahat. Karena sering makan di situ dan ngobrol, Apin jadi tahu bahwa kegiatan Tinah tidak jauh dari kegiatan harian Emak. Melihat mata Tinah, Apin seolah melihat mata Emak. Tidak bertemu dengan Tinah sehari, seolah ada sesuatu yang hilang dari relung hati Apin. Apin menjadi peduli dan perhatian pada Tinah. Jika Tinah sedih, Apin ikut sedih. Jika Tinah sakit, Apin juga merasakan sakit.
Apin dan Tinah akhirnya seperti Emak dan Bapak. Hanya Apin berjanji tidak akan membuat Tinah menangis seperti yang sering dilihatnya dulu jika Emak dipukul Bapak. Apin di rumah juga mencuci, ke pasar, dan tiap malam jarang nongkrong di tempat kumpul laki-laki. Apin tidak pernah pulang sempoyongan.
***
Suatu hari Tinah pulang ke rumah dengan sempoyongan dan mabuk. Sebab tiap malam dia nongkrong dengan teman-teman wanitanya di warung pojok dusun. Bu Lurah sering mengantar Tinah pulang ke rumah. Apin di rumah hanya heran sambil menggendong anaknya melihat kelakuan Tinah.