Sabtu, 28 Agustus 2010

Teratai Putih yang Bisu


Entah sudah ke sekian kalinya
Aku merenung lagi
Kembali ke sini
Malam minggu ini


Masih menganga cluritan dulu itu
Meninggalkan genangan luka yang belum kering
Berdarah lagi jika terkelupas
Menetes lagi luka itu


Membuatku membisu
Tak tahu
Mengapa harus merasa
Tanpa tawa


Apakah kamu akan mengambil satu duri itu?
Atau akan menambahkan duri di kepala itu?
Mungkin berat
Hanya dialog dalam batin ini
Kali ini hanya ditemani teratai putih
Di atas air


Sekitar tak paham
Tak ada yang paham
Dan tak akan paham
Mengapa kamu mengambil duri?
Sementara yang lain dengan tawa menancapkan duri itu

Sungguh tak enak mungkin
Sudah habis raga ini diinjak-injak
Sudah tak punya apa-apa lagi
Masih harus menanggung beban di punggung

Namun air itu justru mengalir deras
Ketika luka itu kembali menganga
Luka karena memilih mengambil duri
Dan menancapkan di kepala ini
Dan hati ini……
Air yang damainya tak terkatakan
Dan tak terucapkan….
Hanya air mata ini yang mampu berkata…….

Kamis, 19 Agustus 2010

Ngoco



Tentang perjalanan meniti ke dalam diri banyak terinspirasi oleh berbagai cerita dan kisah. Salah satunya adalah cerita dalam Serat Dewaruci yang menceritakan bagaimana Bima mencari “susuhing angin” (sarang angin). Dalam cerita ini dikisahkan bagaimana Bima menjelajahi berbagai tempat dari hutan dan mengalahkan penunggunya sampai mengalahkan penguasa laut dan sampai pada penemuannya bahwa sebenarnya apa yang dicarinya itu ada di dalam dirinya. Yang dimaksud “susuhing angin” ternyata adalah hidung. Hidung itu adalah tempat keluar dan masuknya napas. Napas adalah sumber hidup manusia. Anthony de Mello dalam bukunya “Jalan Menuju Tuhan” juga menyebutkan bahwa inti untuk bisa hidup adalah berada di sini dan saat ini. Dia menyebutkan bahwa hanya sedikit manusia yang menyadari bahwa masa lalu sebenarnya tidak nyata dan masa depan juga tidak nyata sedangkan yang nyata adalah detik ini dan hari ini. Sehingga jika manusia berada di sini dan saat ini dia akan hidup. Anthony juga memberi contoh, ada sepasang suami istri berencana pergi ke Swiss selama berbulan-bulan dia merencanakan untuk pergi ke sana, akhirnya setelah sampai sana, dia merencanakan bagaimana caranya untuk pulang. Dari cerita itu sangat disayangkan sebenarnya pasangan suami istri itu tidak pernah berada di Swiss.


Menurutku, kalimat hidup di sini dan saat ini akan sangat mudah diucapkan tetapi begitu sulitnya untuk dilaksanakan. Seperti pikiran kita yang selalu pergi ke masa lalu dan punya rencana untuk ke masa depan dan betapa sulitnya untuk bisa di sini saat ini. Seperti saat ini merupakan peristiwa yang sangat langka buatku karena aku sedang menulis ini di sebuah gubuk di tengah sawah. Karena ketika merencanakan menulis hari ini, ketika mau menulis di kamar ternyata ada ayahku ada tamu dan obrolan mereka terdengar sampai kamarku dan sangat mengganggu konsentrasiku, lalu aku berusaha keluar rumah naik motor mencari lokasi yang jauh dari kebisingan dan aku melihat ada sebuah gubuk di tengah sawah kelihatannya sangat sepi dari gangguan maka kuparkirkan motorku di bawah pohon jati lalu aku berjalan melewati pematang sawah menuju gubuk ini. Gubuk ini atapnya tertutup seng-seng bekas dan dindingnya dari triplek bekas, sangat nyaman karena angin di tengah sawah ini begitu sejuk dan tepat di samping gubuk air galengan mengalir dengan deras sehingga menyadarkanku bahwa hidup ini memang harus mengalir dan menulis ini juga harus mengalir karena aku hanya menuliskan apa yang yang ada di pikiranku saat ini dan di sini.


Dulu pernah aku punya keinginan punya rumah sederhana yang dikelilingi sawah yang hijau untuk tempat merenung dan menulis dan saat ini keinginan ini terwujud. Aku benar-benar bisa menulis di atas gubuk dan dikelilingi sawah-sawah yang ditanami padi. Setelah keinginan tempat ini terwujud kebingungan kedua lalu muncul, sekarang apa yang mau ditulis? Rasanya seperti orang yang ingin ke Swiss tadi yang diceritakan Anthony de Mello, mungkin nanti jika aku sudah punya rumah di tepi sawah malah tidak jadi menulis apapun di sana malah bisa jadi untuk punya keinginan apa lagi dan tak menulis apapun. Padahal aku rencananya tadi datang ke lokasi ini untuk merefleksikan perjalananku kemarin ke Gua Kerep Ambarawa.


Baiklah kita mulai fokus ke perjalanan menuju Ambarawa. Sambil merenung aku melihat di galengan sawah di sampingku yang sejak tadi mengalirkan air aku berimajinasi jika menjadi bagian air akan hanyut entah diserap akar, terbawa sampai laut akhirnya menguap menjadi awan lalu menetes sebagai hujan dan jatuh menjadi air yang mengalir ke sungai lagi. Mungkin juga hidup itu begitu ada kalanya harus berubah tempat namun kembali lagi seperti sebuah lingkaran siklus kehidupan.


Dalam perjalanan kemarin sebenarnya aku tahu bahwa akan seperti Bima yang mencari susuhing angin sebab pemaknaan nantinya akan kembali pada diriku sendiri memaknai perjalanan itu. Sehingga aku dalam perjalanan itu tidak tergesa-gesa. Pertama mampir ke Makam Romo Sanjaya, di sana selain mengistirahatkan pantat yang pegel dan menghilangkan rasa kantuk aku dan Bejo juga berdoa dan meditasi. Dalam perjalanan ini ternyata pikiran sangat mempengaruhi, sebab di jalan Bejo terlintas keinginan untuk mampir ke tempat pakdenya dan akhirnya kami mampir ke sana. Lalu sekalian bertanya jalan menuju Sendang Candi Umbul dan Gua Maria Grabag sebab setelah saya tanya panitia ternyata misanya masih jam 6 sore padahal kami berangkat tadi jam 10 pagi, memang sengaja agar tidak tergesa-gesa dan bisa menikmati perjalanan.
Setelah melanjutkan perjalanan kami melihat ada tulisan Pemandian Banyubening lalu kami tertarik untuk melihat ternyata hanya sebuah kolam renang biasa sehingga kami kurang tertarik untuk masuk. Akhirnya Sendang Candi Umbul ketemu juga dan kami istirahat di situ cukup lama karena tanpa rencana dan melihat tempatnya asik kami njegur juga dan mencoba meditasi di situ. Setelah itu kami meneruskan perjalanan menuju Gua Kerep Ambarawa dan di sana sudah ada Pak Nuri, Pak Totok dan Mbak Pur, dengan celana yang masih basah karena tidak bawa ganti kami mengikuti prosesi sampai selesai lalu bermalam di sana.


Saya mencoba meditasi di berbagai tempat, mulai di depan gua, di kapel, di tempat doa dekat makam dan di ruang adorasi abadi namun energi dan tempat yang paling nyaman saya rasakan adalah di ruang adorasi abadi itu. Entah kalau orang lain tapi bagi saya berada di situ rasanya bisa no mind melepaskan semua pikiran dan kembali ke hati. Namun akhirnya harus menggunakan main lagi untuk bergerak, ya mungkin kondisi no mind ini juga harus seimbang dengan mind. Lalu paginya kami sarapan dulu di warung, lalu pulang rencananya mau langsung pulang ke Jogja tapi ini ada masalah lagi dengan mind sebab di pikiran Bejo masih terlintas pikiran untuk mampir di Gua Maria Grabak sehingga balik ke Grabak lagi lewat Tegalrejo ya walaupun harus jalan naik turun akhirnya sampai juga ke Gua Maria Grabak. Pulangnya kami mampir ke Romo Sanjaya dan pulang menuju Jogja melewati Pakem dan mampir ke Sumur Kitiran Mas.


Refleksi dalam perjalanan ini bagiku adalah pentingnya menjaga tujuan jika ingin pergi ke tempat jauh sesuai dengan rencana awal sebab di jalan pikiran-pikiran kita dan keinginan-keinginan sesaat bisa menimbulkan keinginan baru yang membuat tujuan awal terlupakan. Karena itulah mengapa saya menyebut bahwa untuk hidup saat ini dan di sini itu begitu sulitnya.

Senin, 16 Agustus 2010

Hangatnya Sendang Candi Umbul


Sendang Candi Umbul terletak di Desa Kartoharjo, Kecamatan Grabak, Kabupaten Magelang. Perjalanan menuju lokasi ini sangat mudah karena jalan menuju sendang sudah diaspal halus sampai di depan pintu masuk candi. Jika ingin menuju tempat ini, dari jalan Magelang-Semarang ambil arah ke Grabak kurang lebih 10 km akan ada petunjuk Candi Umbul nanti tinggal mengikuti papan petunjuk tersebut. Mendekati lokasi jalan akan naik turun dan lokasi ini berada di turunan. Pemandangan yang indah selama perjalanan akan ditemui karena di kanan kiri akan ditemui hamparan sawah di bawah lereng gunung. Kurang lebih empat kilometer sebelum sendang akan ditemui di kiri jalan sebuah komplek makam tanpa pagar dengan pohon kamboja besar-besar memenuhi seluruh areal makam. Dari kejauhan akan tampak pemandangan yang indah karena bentuk batang kamboja yang putih artistik diantara hijaunya sawah-sawah jika pada musim tanam.
Di depan pintu masuk akan ditemui beberapa motor yang diparkir, namun menurut keterangan penjaganya motor yang dititipkan di situ sebagian bukan motor milik pengunjung sendang atau peziarah namun milik para pemancing yang mancing di sungai bawah sendang. Sendang Candi Umbul masuk dalam benda cagar budaya sehingga untuk masuk ke lokasi ini dikenai retribusi sebesar Rp.3000,- dan parkir motor Rp.1000,-. Ketika kami ke sana sendang itu sedang dipakai oleh beberapa anak muda laki-laki dan perempuan mandi dan bermain air. Sendang ini terdiri dari 2 kolam kotak dengan air yang mengalir selalu penuh berwarna hijau kebiruan. Melihat bentuk bangunan dengan 2 kolam, kolam satu ada mezbah kotak yang terendam dan satunya mezbah bundar terletak di depan mezbah kotak dengan lokasi lebih rendah. Di depan mezbah itu ada stupa yang kelihatannya untuk membakar dupa karena warnanya yang hitam legam bekas asap. Di keempat sudut kolam ada batu bulat yang tingginya sama terendam dalam air. Jika melihat konsep tata letaknya, sendang ini sekilas menggambarkan tempat yang dikhususkan untuk laku topo kungkum atau meditasi sambil berendam dalam air. Namun melihat suasananya kelihatannya tempat ini menjadi obyek wisata yang hanya digunakan untuk mandi dan berenang. Sehingga mereka yang ingin lelaku topo kungkum atau meditasi atau sembayang seolah tersisih dan tersingkir oleh kesibukan mereka yang ingin mandi dan berenang.
Menurut Renville Siagian dalam Candi (2002), Candi patirtan yang berupa kolam ini dikelilingi oleh batu andersit. Kolam dengan airnya yang hangat itu memiliki ukuran panjang 21 meter dan lebar 7 meter dengan kedalaman 2 meter yang terbagi dua dimana airnya bersambungan. Kolam besar memiliki ukuran panjang 12,5 meter dan lebar 7,2 meter. Sedangkan kolam kecil berukuran 7 meter kali 8,2 meter. Kolam ini membujur arah timur barat dan menghadap arah timur laut. Candi Umbul dalam kolam ini dibangun sekitar abad ke-9 Masehi yang dahulunya dipergunakan keluarga bangsawan.
Ada 2 batu menyerupai gong diantara stupa itu menurut Tatag bedasarkan keterangan Dharma Sas, dulunya batu itu untuk mencetak gong. Ada kesaksian rohani yang bersifat penampakan, tentang mezbah dan empat kursi batu yang mengelilingi dengan terendam air hangat itu. Pelaku Budaya Jawa, Dharma Sas, memberikan kesaksian bahwa meja dan empat kursi adalah lambang empat kiblat lima pancer. Tetapi dahulu, kursi dan meja itu memang digunakan untuk duduk berendam air hangat sembari menikmati hidangan makanan dan minuman.
Kecuali lambang empat kiblat lima pancer berupa meja dan kursi itu, ada pula pohon ajaib. Pohon ajaib itu dilihat dari arah barat menghadap ke timur saat menjelang matahari terbit. Di saat matahari mulai terbenam maka akan terlihat bayangan siluet dari pohon ajaib itu. Mengapa dikatakan ajaib karena pada pohon tersebut ada tiga warna bunga yang menghiasi pohon ajaib itu, yaitu merah, hijau dan kuning. Pula yang membuat pohon itu disebut ajaib, karena ketika matahari menumpahkan sinar hangat di waktu sore hari, keluarlah asap di seluruh tubuh pohon itu.
Mengikuti sebuah penampakan seperti wisik tetapi disaksikan dalam alam setengah sadar, Dharma Sas mengkisahkan, wilayah Sendang Candi Umbul dahulu merupakan tempat suci, sebuah pertapaan yang ditempati oleh seorang brahmana. Nama brahmana tersebut adalah Pu Dharma Khebi. Brahmana tersebut memiliki dua putrid yang sangat menjaga tradisi kebrahmanaan, yaitu Dyah Sekar dan Dyah Tantri. Pada jamannya itu, Brahmana tersebut memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sang raja, Raja Sanjaya. Raja Sanjaya ini begitu dekatnya dengan Sang Brahmana sampai seperti anak sendiri.
Tetapi celakalah buat Sang Raja Sanjaya, karena terbiasa akrab dan terbiasa bergaul, sang raja akhirnya jatuh cinta pada putri bungsu Sang Brahmana, Dyah Tantri. Jatuh cinta itu ternyata jatuh cinta yang terlarang. Karena kedudukan sebagai anak bagi putri brahmana dan anak angkat bagi sang raja menghalangi jatuh cinta itu. Berikrarlah Sang Raja, dirinya tidak akan menyentuh putri selama hidupnya. Seperti diketahui dalam sejarah, yang meneruskan Raja Sanjaya memegang pemerintahan adalah anak saudara perempuan Sanjaya yang bernama Sanaha. Maka jalan hidup membiara ditempuhnya bagi Sang Raja, setelah usianya tidak kuat lagi mengemban tugas sebagai raja di Kerajaan Mataram (Mataram Hindu). Itulah kisah jatuh cinta yang terlarang di Sendang Candi Umbul. (Tatag, 2004: 34-35).
Aku dan Bejo temanku, setelah beberapa anak muda dan remaja yang tadi berenang, mandi, dan bermain air di situ naik, kami lalu mencoba bermeditasi di situ secara bergantian. Aku dulu sedangkan Bejo mengawasi lalu gantian. Ketika bermeditasi, yang kurasakan airnya agak panas, sedangkan di kolam yang tak bermezbah hangat, angin siwir-siwir datang namun hanya sebentar namun entah kenapa rasanya ada energi yang nampek sehingga membuat dada kananku agak sakit. Namun memang kurasakan ada energy yang besar di sekitar stupa dan entah benar atau tidak di belakang stupa itu terlihat seperti ada sebuah gundukan tanah menyerupai makam. Seperti yang pernah dikatakan Bejo, beberapa penganut kebatinan Jawa, melakukan “Kramas tanpo toyo” (Mandi keramas tanpa air), hal ini merupakan filosofi bahwa manusia itu tidak cukup bersih secara fisik tetapi meliputi keseluruhannya yaitu tubuh, jiwa, dan roh. Sehingga di sendang ini jika hanya mandi secara fisik rasanya kurang lengkap jika tanpa mandi jiwa dan roh. Namun apakah karena aku datang sore sehingga menyaksikan orang-orang hanya mandi fisik, atau mungkinkah malam-malam tertentu atau tiap malam tempat ini untuk “kramas tanpo toyo” aku kurang mengerti karena belum melihat.
Sendang Candi Umbul merupakan salah satu situs penting, namun bukan situs dalam pengertian situs di internet. Namun apakah keberadaannya akan seperti ketika dibangun yaitu pertapaan suci atau bangunan suci adalah tergantung generasi penerus memaknai tempat ini. Lelaku atau ritual merupakan salah satu bentuk menganggap tempat itu ada atau juga mengembangkannya. Menurut hukum evolusi bagian tubuh yang jarang digunakan akan mengecil dan berfungsi, begitu pula jika tempat ini jarang dipakai untuk ritual “kramas tanpo toyo” akhirnya hanya akan menjadi tempat permandian biasa seperti kolam renang di perkotaan.

Hangatnya Sendang Candi Umbul

Sendang Candi Umbul terletak di Desa Kartoharjo, Kecamatan Grabak, Kabupaten Magelang. Perjalanan menuju lokasi ini sangat mudah karena jalan menuju sendang sudah diaspal halus sampai di depan pintu masuk candi. Jika ingin menuju tempat ini, dari jalan Magelang-Semarang ambil arah ke Grabak kurang lebih 10 km akan ada petunjuk Candi Umbul nanti tinggal mengikuti papan petunjuk tersebut. Mendekati lokasi jalan akan naik turun dan lokasi ini berada di turunan. Pemandangan yang indah selama perjalanan akan ditemui karena di kanan kiri akan ditemui hamparan sawah di bawah lereng gunung. Kurang lebih empat kilometer sebelum sendang akan ditemui di kiri jalan sebuah komplek makam tanpa pagar dengan pohon kamboja besar-besar memenuhi seluruh areal makam. Dari kejauhan akan tampak pemandangan yang indah karena bentuk batang kamboja yang putih artistik diantara hijaunya sawah-sawah jika pada musim tanam.
Di depan pintu masuk akan ditemui beberapa motor yang diparkir, namun menurut keterangan penjaganya motor yang dititipkan di situ sebagian bukan motor milik pengunjung sendang atau peziarah namun milik para pemancing yang mancing di sungai bawah sendang. Sendang Candi Umbul masuk dalam benda cagar budaya sehingga untuk masuk ke lokasi ini dikenai retribusi sebesar Rp.3000,- dan parkir motor Rp.1000,-. Ketika kami ke sana sendang itu sedang dipakai oleh beberapa anak muda laki-laki dan perempuan mandi dan bermain air. Sendang ini terdiri dari 2 kolam kotak dengan air yang mengalir selalu penuh berwarna hijau kebiruan. Melihat bentuk bangunan dengan 2 kolam, kolam satu ada mezbah kotak yang terendam dan satunya mezbah bundar terletak di depan mezbah kotak dengan lokasi lebih rendah. Di depan mezbah itu ada stupa yang kelihatannya untuk membakar dupa karena warnanya yang hitam legam bekas asap. Di keempat sudut kolam ada batu bulat yang tingginya sama terendam dalam air. Jika melihat konsep tata letaknya, sendang ini sekilas menggambarkan tempat yang dikhususkan untuk laku topo kungkum atau meditasi sambil berendam dalam air. Namun melihat suasananya kelihatannya tempat ini menjadi obyek wisata yang hanya digunakan untuk mandi dan berenang. Sehingga mereka yang ingin lelaku topo kungkum atau meditasi atau sembayang seolah tersisih dan tersingkir oleh kesibukan mereka yang ingin mandi dan berenang.
Menurut Renville Siagian dalam Candi (2002), Candi patirtan yang berupa kolam ini dikelilingi oleh batu andersit. Kolam dengan airnya yang hangat itu memiliki ukuran panjang 21 meter dan lebar 7 meter dengan kedalaman 2 meter yang terbagi dua dimana airnya bersambungan. Kolam besar memiliki ukuran panjang 12,5 meter dan lebar 7,2 meter. Sedangkan kolam kecil berukuran 7 meter kali 8,2 meter. Kolam ini membujur arah timur barat dan menghadap arah timur laut. Candi Umbul dalam kolam ini dibangun sekitar abad ke-9 Masehi yang dahulunya dipergunakan keluarga bangsawan.
Ada 2 batu menyerupai gong diantara stupa itu menurut Tatag bedasarkan keterangan Dharma Sas, dulunya batu itu untuk mencetak gong. Ada kesaksian rohani yang bersifat penampakan, tentang mezbah dan empat kursi batu yang mengelilingi dengan terendam air hangat itu. Pelaku Budaya Jawa, Dharma Sas, memberikan kesaksian bahwa meja dan empat kursi adalah lambang empat kiblat lima pancer. Tetapi dahulu, kursi dan meja itu memang digunakan untuk duduk berendam air hangat sembari menikmati hidangan makanan dan minuman.
Kecuali lambang empat kiblat lima pancer berupa meja dan kursi itu, ada pula pohon ajaib. Pohon ajaib itu dilihat dari arah barat menghadap ke timur saat menjelang matahari terbit. Di saat matahari mulai terbenam maka akan terlihat bayangan siluet dari pohon ajaib itu. Mengapa dikatakan ajaib karena pada pohon tersebut ada tiga warna bunga yang menghiasi pohon ajaib itu, yaitu merah, hijau dan kuning. Pula yang membuat pohon itu disebut ajaib, karena ketika matahari menumpahkan sinar hangat di waktu sore hari, keluarlah asap di seluruh tubuh pohon itu.
Mengikuti sebuah penampakan seperti wisik tetapi disaksikan dalam alam setengah sadar, Dharma Sas mengkisahkan, wilayah Sendang Candi Umbul dahulu merupakan tempat suci, sebuah pertapaan yang ditempati oleh seorang brahmana. Nama brahmana tersebut adalah Pu Dharma Khebi. Brahmana tersebut memiliki dua putrid yang sangat menjaga tradisi kebrahmanaan, yaitu Dyah Sekar dan Dyah Tantri. Pada jamannya itu, Brahmana tersebut memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sang raja, Raja Sanjaya. Raja Sanjaya ini begitu dekatnya dengan Sang Brahmana sampai seperti anak sendiri.
Tetapi celakalah buat Sang Raja Sanjaya, karena terbiasa akrab dan terbiasa bergaul, sang raja akhirnya jatuh cinta pada putri bungsu Sang Brahmana, Dyah Tantri. Jatuh cinta itu ternyata jatuh cinta yang terlarang. Karena kedudukan sebagai anak bagi putri brahmana dan anak angkat bagi sang raja menghalangi jatuh cinta itu. Berikrarlah Sang Raja, dirinya tidak akan menyentuh putri selama hidupnya. Seperti diketahui dalam sejarah, yang meneruskan Raja Sanjaya memegang pemerintahan adalah anak saudara perempuan Sanjaya yang bernama Sanaha. Maka jalan hidup membiara ditempuhnya bagi Sang Raja, setelah usianya tidak kuat lagi mengemban tugas sebagai raja di Kerajaan Mataram (Mataram Hindu). Itulah kisah jatuh cinta yang terlarang di Sendang Candi Umbul. (Tatag, 2004: 34-35).
Aku dan Bejo temanku, setelah beberapa anak muda dan remaja yang tadi berenang, mandi, dan bermain air di situ naik, kami lalu mencoba bermeditasi di situ secara bergantian. Aku dulu sedangkan Bejo mengawasi lalu gantian. Ketika bermeditasi, yang kurasakan airnya agak panas, sedangkan di kolam yang tak bermezbah hangat, angin siwir-siwir datang namun hanya sebentar namun entah kenapa rasanya ada energi yang nampek sehingga membuat dada kananku agak sakit. Namun memang kurasakan ada energy yang besar di sekitar stupa dan entah benar atau tidak di belakang stupa itu terlihat seperti ada sebuah gundukan tanah menyerupai makam. Seperti yang pernah dikatakan Bejo, beberapa penganut kebatinan Jawa, melakukan “Kramas tanpo toyo” (Mandi keramas tanpa air), hal ini merupakan filosofi bahwa manusia itu tidak cukup bersih secara fisik tetapi meliputi keseluruhannya yaitu tubuh, jiwa, dan roh. Sehingga di sendang ini jika hanya mandi secara fisik rasanya kurang lengkap jika tanpa mandi jiwa dan roh. Namun apakah karena aku datang sore sehingga menyaksikan orang-orang hanya mandi fisik, atau mungkinkah malam-malam tertentu atau tiap malam tempat ini untuk “kramas tanpo toyo” aku kurang mengerti karena belum melihat.
Sendang Candi Umbul merupakan salah satu situs penting, namun bukan situs dalam pengertian situs di internet. Namun apakah keberadaannya akan seperti ketika dibangun yaitu pertapaan suci atau bangunan suci adalah tergantung generasi penerus memaknai tempat ini. Lelaku atau ritual merupakan salah satu bentuk menganggap tempat itu ada atau juga mengembangkannya. Menurut hukum evolusi bagian tubuh yang jarang digunakan akan mengecil dan berfungsi, begitu pula jika tempat ini jarang dipakai untuk ritual “kramas tanpo toyo” akhirnya hanya akan menjadi tempat permandian biasa seperti kolam renang di perkotaan.

Kamis, 05 Agustus 2010

Menggugah Kasih dengan Lelaku Patirtan


Entah kebetulan atau tidak. Ketika aku mencari literatur untuk menjawab kegelisahanku dan pertanyaanku sendiri yaitu mengapa banyak orang melakukan laku spiritual dengan ritual tertentu? aku belum tahu jawabnya. Yang kuamati dan kusaksikan sendiri adalah di sekitarku di Jogja khususnya kelihatannya sudah ada dan banyak tempat ibadah dari berbagai agama dan bahkan beberapa pengikut aliran kebatinan Jawa. Meskipun aku juga menjumpai orang-orang yang tidak peduli atau mungkin sudah jenuh dengan lembaga-lembaga agama dan menyebut diri mereka agnostic. Aku baru tahu sebutan agnostic awal tahun 2010 ini, sebelumnya aku tidak pernah dengar istilah ini. Dari situ aku melihat ternyata masing-masing manusia menjalani hubungan vertikal dengan Tuhannya dengan keyakinan dan kenyamanan cara mereka masing-masing. Meskipun kadang ada benturan dan gesekan dalam pergaulan di lingkungan masyarakat yang mengklaim kepercayaannya yang paling benar. Sehingga memaksakan dirinya untuk dituruti oleh orang lain. Menurut pengalamanku sendiri, aku juga pernah berbuat begitu dan setelah sedikit belajar tentang kedewasaan sikap hal seperti itu seperti “seorang anak yang merajuk” ini kata Anthony de Mello dalam bukunya “Jalan Menuju Tuhan”.
Tentang keyakinanku sendiri, aku menulis pengalamanku sendiri bukannya untuk narsis tapi model penulisanku memang seperti ini karena dengan menulis seperti ini akan memudahkanku untuk menuangkan apa yang ada di pikiranku, meskipun bagi orang lain mungkin akan dinilai narsis, kemaki, mbagusi, gumagah, sesumbar, atau apapun mungkin itu penilaian mereka. Tapi paling enak menulis adalah dari pengalaman yang dialami sendiri dan dilihat sendiri. Sebenarnya dengan membaca literature atau melihat film maupun televisi itu juga akan menambah pengetahuan dan pengalaman kita tapi bagiku rasanya jika tidak mengalami sendiri rasanya kurang mantap.
Kembali ke masalah laku spiritual tadi, menurutku itu juga tergantung bakat dan pengalaman serta kematangan seseorang. Ada orang yang sejak kecil bisa melihat hal-hal gaib atau makhluk gaib namun ada yang tidak. Ada yang mendapatkannya setelah peristiwa tertentu ada yang karena ngelmu dan lain-lain. Aku sendiri tidak bakat dan tidak bisa melihat hal-hal seperti itu tapi beberapa temanku bisa. Ketertarikan awalku tentang hal-hal spiritual adalah karena pertanyaan yang tidak bisa kujawab sendiri? Mengapa ketika berjalan di jalan tertentu kadang aku merinding sendiri atau ketika aku berjalan di suatu tempat ada bau seperti ketela bakar dan bau wangi bunga kanthil atau melati. Jika bunga mungkin di situ memang ada bunga yang sedang mekar namun bau ketela bakar itu tidak mungkin bunga. Hal lain lagi aku juga sering bau dupa di ruangan tertentu dan bau asap rokok tanpa di situ kulihat ada asap mengepul.
Pengenalan pertama dengan dunia gaib adalah ketika aku meditasi dengan beberapa murid Paguyuban Tritunggal, ketika aku memejamkan mata setelah latihan pernapasan dan meditasi tiba-tiba ada bau harum bunga dan rasanya ada sesuatu yang memberatiku. Setelah meditasi selesai, guruku bilang ada perempuan berbaju putih dan pocongan yang menggangguku tapi sudah diusir oleh guruku. Pengalaman inilah yang membuatku penasaran tentang dunia ini dan aku mencoba memahami. Akhirnya aku diberi saran oleh seorang Romo untuk belajar meditasi dengan tradisi agamaku. Aku mempelajari bukunya John Main, OSB kemudian membaca Sadhana. Secara teori aku sedikit paham tapi dalam prakteknya betapa sulitnya menjalankan disiplin ini ternyata adanya roh-roh halus atau mahkluk gaib bukan tujuan meditasi memang akan dijumpai hal-hal seperti itu tapi itu adalah ujian untuk menyerahkan diri total kepada Tuhan. Lalu sekarang aku berdoa dulu sebelum meditasi. Ritual yang kujalani masih menggunakan metodenya John Main, OSB.
Namun ketika aku melakukan ziarah ke makam Romo Sanjaya, aku menemui ada buku yang menarik kelihatannya dibaca. Kebetulan pula uang di sakuku pas untuk membeli buku itu buku itu berjudul “Kisah Peri Menari di Atas Sendang,Sebuah Refleksi Laku Spiritual”, karangan Daniel Tatag. Setelah kubaca isinya sangat menyentuh karena hampir sama dengan beberapa pengalamanku tentang laku spiritual yang kualami. Beberapa orang Jawa sejak dulu memang banyak yang melakukan lelaku patirtan ini. Air memang melambangkan pembersihan dan penyucian. Aku lalu ingin melihat kesembilan sendang itu. Mungkin juga hal-hal spiritual yang melingkupinya, mungkin akan menjadi menarik lelaku itu. Sebelum ke sana mungkin pengalaman lelaku sendang dengan teman-teman “Sadhana Bintaran” ini merupakan salah satu kisah yang menarik bagiku.
Sadhana yang berarti ‘jalan’ yang oleh Anthony de Mello diartikan sebagai ‘Jalan Menuju Tuhan’ merupakan pengalaman yang harus dialami sendiri. Pengalaman awal untuk menemukan Tuhan adalah melalui keheningan. Kemudian bagaimana mencapai keheningan adalah melalui meditasi. Teman-teman ‘Sadhana Bintaran’ mencoba belajar untuk mengenal keheningan melalui meditasi. Setiap selasa malam mereka berkumpul dan mempelajari Sadhana, meskipun setelah mempraktekkan meditasi ternyata sangat sulit untuk bisa hening apalagi mencapainya. Dengan semangat pantang menyerah dan tidak putus asa mereka mencoba untuk terus belajar dan berupaya bisa mengenal keheningan itu.
“Outdoor meditation” adalah kegiatan yang dilakukan sebulan sekali oleh komunitas ini. Tempat-tempat yang sering menjadi tujuan dari kegiatan “outdoor meditation” antara lain Gua Maria Bintaran, Sendang Jatiningsih, Sendang Sriningsih, Gua Kerep Ambarawa, Gunung Sempu, Patirtan Ganjuran, dan beberapa tempat yang lain. ‘Outdoor meditation’ ini juga mempunyai tujuan untuk mengenal Tuhan dalam segala. Kadang Tuhan menyampaikan pesan untuk manusia melalui alam atau tanda-tanda alam. Setelah meditasipun, biasanya satu orang dengan yang lainnya mendapat pendengaran suara, atau penangkapan rasa yang berbeda satu dengan yang lain. Sungguh unik cara Tuhan menyentuh hati masing-masing manusia dan tidak ada yang sama. Mungkin kisah satu ini bisa menjadi contoh:
Pada tanggal 1 Agustus 2010 teman-teman Sadhana Bintaran merencanakan akan pergi ke Candi Ganjuran dengan naik sepeda. Rencana berangkat dari Gereja Bintaran pukul 7.00 namun karena ada yang terlambat sehingga berangkat pukul 7.30 WIB. Yang ikut bersepeda ada 5 orang yaitu: Johanes, Doni, Joshua, Neri, dan saya. Di jalan kami bersepeda satu-satu dengan jarak antara 3-10 m satu dengan yang lain. Ketika sampai di depan Hotel Winotosastro, dompetnya Doni jatuh untung Joshua yang dibelakangnya melihat lalu diambil dan oleh Doni disimpan dalam tas. Rute yang ditempuh adalah melewati Pojok Beteng Kulon ke Selatan lalu setelah sampai ring-road selatan ke barat melewati Pabrik Gula Madukismo ke selatan terus. Sesampainya di pertigaan beringin Kasongan Bantul kami ke kiri lalu kembali menyusuri Jalan Bantul. Sebelum sampai Kota Bantul kurang lebih 2 km, tiba-tiba stang depan sepedaku poroknya patah di dalam mungkin karena sudah sangat tua buatan tahun 1830an sehingga sepeda itu harus dituntun untuk mencari tukang las, karena bengkel sepeda tidak bisa memperbaiki. Setelah berjalan kurang lebih 3 km, baru ketemu spesialis bengkel sepeda yang bisa mereparasi, lalu sepeda itu ditinggal, namun sebelumnya Doni menitipkan uang Rp.20.000,- untuk porsekot awal biaya bengkel.Akhirnya aku boncengan dengan Johanes menggunakan sepedanya Romo Wondo yang dipinjam Johanes.
Sesampainya di Ganjuran mereka istirahat sejenak di pendopo Ganjuran untuk melepas lelah dan mengendorkan otot-otot kaki. Lalu makan pagi di warung sebelah Barat Gereja Ganjuran. Kemudian ketika mau membayar ternyata dompetnya Doni tidak ada yang berisi KTP dan uang Rp.80.000,-. Akhirnya mereka yang masih punya uang di saku bantingan untuk membayar. Entah mengapa hari itu aku dan Doni baru apes sehingga mereka harus mengalami hal yang tidak menyenangkan. Apa maksud Tuhan di balik ini semua?
Sesampainya di depan Candi Ganjuran, Johanes bertemu dengan Rini, wanita yang dulu pernah dia puja-puja dan Johanes pernah punya keyakinan bahwa besoknya dia akan menikah dengan wanita ini di depan gereja. Tiba-tiba wanita ini muncul dan mereka bersalaman lalu berpisah dan berdoa sendiri-sendiri. Apalagi ini maksud Tuhan? Dalam perjalanan pulang kembali ke Gereja Bintaran perjalanan lancar-lancar saja tanpa hambatan yang berarti, kami lalu mampir sebentar ke tukang bengkel sepeda tadi, kebetulan sepedanya Agung sudah selesai dan benar ternyata porok dalam patah melingkar dan harus ganti porok baru dengan biaya Rp.35.000,-. Kebetulan yang bawa uang banyak hari itu Joshua sehingga kami hutang dulu pada Joshua.
Othak-athik gathuk, itulah yang sering dilakukan orang Jawa termasuk saya mungkin dan setelah beberapa hari makna itu mungkin terjawab sebab niat keberangkatanku ke Ganjuran adalah untuk mendoakan Ibu mertuanya adikku yang sedang dirawat di rumah sakit Panti Rapih. Hari selasa sore setelah siangnya kami doakan bersama-sama, beliau dipanggil menghadap Tuhan. Keinginanku mungkin bukan keinginan Tuhan, itulah refleksiku. Sebab kami menginginkan adanya mukjizat dalam kondisi seperti itu tapi Tuhan menghendaki lain.
Bagiku apapun yang diberikan Tuhan adalah yang terbaik buat manusia, Tuhan memberi petunjuk dan pertanda lewat segala sesuatu di sekitar kita. Doaku yang dulu selalu menuntut dan menginginkan ini dan itu mulai berubah. Aku lalu mulai bisa memahami betapa beriman dan pasrahnya Maria kepada Tuhan. “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut kehendak-Mu”.