Kamis, 09 Januari 2014

Menjadikan Abad ke-21 sebagai Era Kepedulian Kosmik dan Pelestarian Lingkungan Hidup (Bagian 2)

V. “QUO VADIS” PERKEMBANGAN ORDO PEREKONOMIAN KITA? Jelasnya belas kasih bukan belas kasih, apabila belum bisa menyentuh medan kehidupan yang nyata. Soalnya lalu, apa dan bagaimana ordo ekonomi belas kasih itu? Mungkinkah atau mampukah kita di Indonesia mensublimasi ordo ekonomi Pancasila sehingga semakin dapat mengejawantahkan kemanusiaan kita dalam kreativitas Tuhan yang berbelas kasih? Kalau itu cita-cita kita, hal itu tidak mungkin tercapai tanpa melalui jalan paradoksal yang harus ditempuh untuk bisa menuju konselebrasi. Perayaan bersama tidak mungkin tanpa didahului dengan penderitaan. Implikasi-implikasi yang harus kita perhitungkan ialah bahwa seolah-olah di dalam ordo ekonomi yang berlaku dewasa ini, kita mau tidak mau sudah harus mengakui hukum atau dalil-dalilnya yang dimiliki. Dalam hal ini seolah-olah daya kekuatan manusia maupun alam untuk berproduksi, distribusi, konsumsi serta recycling daya kekuatannya dianggap sudah harus berjalan seperti mesin yang sudah diciptakan oleh ordo ekonomi yang berlaku dewasa ini. Di dalam situasi demikian “moral belas kasih” sepertinya sudah tidak mempunyai relevansinya lagi. “Moral belas kasih” memuat beberapa pokok sebagai berikut: a. Meningkatkan kepeduliaan terhadap masalah keadilan dan perdamaian di dalam masyarakat yang dilanda ketidakadilan; terhadap masalah pembelaan kehidupan dan penghidupan dalam masyarakat yang dilanda pembunuhan kehidupan dan penghidupan. b. Meningkatkan kepedulian melawan gaya hidup yang serba mewah di tengah lautan kemiskinan yang semakin meluas. c. Meningkatkan kepedulian terhadap masalah keseimbangan dalam tanah, pencemaran udara dan air maupun terganggunya dunia fauna dan flora. Meningkatkan kepedulian masyarakat biotik. Kepedulian “moral belas kasih” tersebut berarti mengganggu perputaran mesin ordo ekonomi yang berlaku dewasa ini, untuk berjalan mulus seperti biasanya. Benarkah ordo ekonomi tidak mempersoalkan apakah itu bermoral atau amoral? Lord Keynes (1883-1946), bapak ekonomi yang sampai kini masih sangat berpengaruh mengatakan, “Paling sedikit dalam jangka seratus tahun mendatang kita masih perlu meyakinkan diri kita sendiri maupun setiap orang bahwa kewajaran ( dalam berekonomi) itu kotor dan perbuatan kotor tersebut adalah jaminan-jaminan ekonomi (economic security) yang tetap menjadi dewa-dewa yang harus kita pertahankan untuk waktu yang lebih lama lagi.” Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau isu-isu moralitas keadilan dan “belas kasih” tidak dipelajari dalam kuliah-kuliah ekonomi. Sebaliknya, obsesi untuk mengejar laju pertumbuhan ekonomi untuk berusaha memiliki lebih banyak lagi merupakan tolok ukur kemajuan ekonomi. Ekonomi pertumbuhan tampaknya sudah menjadi agama baru dalam zaman modern ini. Hukum penawaran dan permintaan, hukum pasar bebaslah yang menjadi dewa penentu tanpa suatu intervensi. Apalagi telah diteguhkan dalam penandatanganan GATT/ Putaran Uruguay pada tahun 1995, dan beroperasi sebagai WTO sejak tahun 1995 dengan akibat tumbuhnya ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat. Pemecahan yang dialamatkan pada sistemnya saja tidak akan memecahkan permasalahannya. Keberanian untuk masuk ke keharmonisan ekosistem yang menyeluruh kiranya merupakan pemecahan krisis dunia dewasa ini sebagai akibat sistem atau ideo-logi ekonomi pertumbuhan. Hikmah semacam ini adalah perdamaian dan keutuhan ciptaan. Sekaligus menangkal preokupasi berlebihan pada kelompok kecil yang semakin maju dengan mengorbankan masyarakat luas yang semakin tertinggal. VI. SPIRITUAL BELAS KASIH DALAM PEMBANGUNAN PEDESAAN A. Pembangunan Pedesaan Berwawasan Lingkungan Perjalanan pertanian modern/ konvensional yang sarat agrokimia di seluruh dunia termasuk Indonesia, dalam kurun waktu lima puluh tahun ini ternyata telah membunuh bumi dan kaum tani. Hal ini diungkapkan dalam Konferensi Internasional Pertanian yang diadakan oleh PBB (FAO) di kota Den Bosch, Belanda, pada tahun 1991 sebagai persiapan KTT Bumi di Rio de Jane-iro, Brasilia,1992. Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Den Bosch yang menyuarakan “Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lestari” (Sustanable Agriculture and Rural Development SARD). Selanjutnya permasalahan-permasalahan pokok yang dibahas dalam KTT Bumi di Rio de Janerio 1992 yang disebut dalam Agenda 21 yang terkenal ialah: 1) Pemanasan bumi; (2) Perlindungan terhadap aneka ragam hayati (biodiversity) dan (3) Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lestari, berikut Pola Produksi dan Konsumsi Lestari. Yang penting ialah dalam KTT Bumi semua pihak berusaha mencari dasar etis moral dan spiritual dalam hubungan manusia, bumi, dan kegiatan ekonominya. Dengan lain kata, hubungan Tuhan, manusia, bumi, dan kegiatan ekonomi. Revolusi hijau dalam jangka pendek telah berhasil mengupayakan swasembada pangan melalui budidaya pertanian yang sarat agrokimia. Berwawasan lingkungan dengan pola produksi dan konsumsi lestari, dengan memberi perhatian pada aneka ragam hayati. Oleh Revolusi Hijau, benih-benih padi kaum tani telah banyak dipunahkan diganti IR (berasal dari IRRI- International Rice Research Institute- Los Blanos, Filipina ). Dari poligenes menjadi monogenes yang sangat riskan merusak lingkungan. Sekarang dikembalikan lagi ke poligenes yang melestarikan lingkungan. Kearifan para petani tradisional yang akrab dan bersahabat dengan alam perlu digali dan diteliti kembali (penggunaan pupuk kandang, pupuk hijau, pupuk kompos, varietas local, dan lain sebagainya). Tanpa mengurangi pentingnya penelitian ilmiah, alam sendiri menjadi guru yang bijak. B. Deklarasi Ganjuran dan Lahirnya Paguyuban Tani-Nelayan, Hari Pangan Sedunia (Sebuah Praksis Pembangunan Pertanian dan Pedesaan yang Berwawasan Lingkungan). Bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia tanggal 16 Oktober 1990 di Desa Ganjuran, Kabupaten Bantul, DIY, diselenggarakan seminar para petani se-Asia. Seminar tersebut mencetuskan Deklarasi Ganjuran dan sekaligus menandai kelahiran Paguyuban Tani yang dikemudian hari berkembang menjadi Paguyuban Tani-Nelayan Hari Pangan Sedunia, meskipun masih minoritas, tetapi berkembang di seluruh pelosok Nusantara. 1. Amanat Pokok Deklarasi Ganjuran Mengajak masyarakat untuk membangun pertanian dan pedesaan yang lestari, yaitu yang berwawasan lingkungan (ecologically sound), murah secara ekonomi sehingga tergapai (economically feasible), sesuai dengan/berakar dalam kebudayaan setempat (culturally adapted/rooted) dan berkeadilan sosial (socially just). Untuk siapa saja dan apa saja (manusiawi dan kosmik) Singkatnya menjadi berkat bagi siapa saja dan apa saja demi keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. 2. Misi dan Program a. Pola produksi lestari (sustainable pattern of production) Meliputi pengendalian hama penyakit secara alami, pengolahan tanah dan air, daur ulang (menjaga keseimbangan kandungan-kandungan nutrisi dalam tanah/lahan. Sehingga unsur-unsur yang diserap tanaman seimbang dengan unsur-unsur yang dikembalikan ke tanah). Penggunaan benih asli kaum tani/lokal dan sebagainya. b. Pola konsumsi lestari (sustainable pattern of consumtion) Pola produksi lestari merupakan dasar pola konsumsi lestari. Mengubah gaya hidup yang merusak lingkungan/alam menjadi gaya hidup melestarikan/bersahabat dengan lingkungan/alam, saling menjadi berkat dengan siapa saja dan apa saja. Dengan demikian, semakin berkepribadian. c. Menentang Konsumerisme Tidak salah jika seseorang mau memperbaiki kehidupannya, tetapi akan salah apabila mencari perbaikan dan peningkatan hidup hanya pada apa yang dimiliki (to have more), dan bukan pada apa yang semakin menemukan jati dirinya (to be more) dalam arti berkiblat pada pencarian kebenaran, keindahan dan kebaikan, dengan semangat kegotongroyongan dalam persekutuan dengan orang lain, demi peningkatan taraf hidup. d. Pertanian Organik, Pertanian Masa Depan Pertanian organik merupakan pertanian masa depan, kini semakin luas berkembang di seluruh muka bumi ini, bukan hanya demi hasil bumi dan makanan bermutu, sehat dan aman, tetapi juga demi keselamatan manusia dan masyarakatnya termasuk alam lingkungan. Pelestarian alam kini semakin disadari sebagai kewajiban moral. Gerakan pertanian lestari/organik bukan semata-mata gerakan sosial ekonomi, tetapi sekaligus gerakan moral. “Malapetaka yang besar dalam sejarah umat manusia “, demikian Wandel Berry dalam bukunya,” A Contiunous Harmony”, karena manusia mengasingkan kesucian dari dunia, mengasingkan Tuhan dari ciptaan-Nya dengan hati dan pikirannya manusia bisa berdoa dengan khusuknya ke surga, tetapi seraya tangannya membunuh bumi dan sesamanya”. VII. HAK DESA DALAM CAKUPAN OTONOMINYA a. Hak masyarakat desa untuk mengembangkan budaya dan adat istiadat setempat, berseberangan dengan globalisasi kebudayaan. b. Hak masyarakat desa dalam pemeliharaan kesehatan secara tradisional termasuk obat-obatan tradisional, berseberangan dengan mafia bisnis kesehatan dan obat-obatan. Pangkal kesehatan bukan hanya sekedar tersedianya obat-obatan, entah itu tradisional maupun kpnvensional tetapi terutama tersedianya makanan sehat, bebas pencemaran. Maka, para konsumen perlu bersahabat dengan para produsen lestari/organik. Konkretnya bersahabat dengan petani organik. c. Hak masyarakat desa untuk mengembangkan dan memelihara benihnya sendiri (benih kaum tani) sebagai sumber aneka ragam hayati, berseberangan dengan mafia bisnis benih trans-nasional yang telah membajak dan memusnahkan benih kaum tani). Mafia industri benih tersebut menikmati monopoli dan pemerintah Orde Baru dalam praktik revolusi hijaunya yang selanjutnya diperkuat secara hukum oleh WTO, dengan pematenannya. Kita harus menyadari bahwa barangsiapa menguasai benih, menguasai penghidupan. Oleh karena itu, kembalikan kedaulatan benih kaum tani demi kedaulatan negeri ini. Sebagai contoh dalam rangka ekopolitik, sewajarnya di-perdes-kan penolakan desa terhadap masuknya benih-benih transgenik karena sangat riskan dampaknya bagi pelestarian masyarakat desa. d. Untuk masyarakat nelayan, hal itu berarti pelestarian dan konservasi sumber daya ikan. Termasuk konservasi habitatnya: terumbu karang, hutan bakau, dan muara-muara sungai. e. Kembalinya peranan kaum perempuan (ecofemenisme) f. Semuanya itu menghadapi globalisasi tata ekonomi yang berlaku yang tidak lain merupakan globalisasi kekuasaan dan kebudayaan, semua itu dalam rangka menghadapi globalisasi. MASYARAKAT DESA HARUS PRO-AKTIF DALAM MEWUJUDKAN OTONOMI DESA TERMASUK PELAKSANAAN EKO-POLITIK (POLITIK PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP) Masyarakat desa/ tani jangan hanya menunggu petunjuk pelaksanaan (PP) dari atas (pemerintah daerah/ kabupaten) yang tidak mustahil justru menggerogoti otonomi desa, tetapi proaktif membela dan menegakkan hak-hak desa termasuk pelaksanaan eko-politik dalam cakupan otonominya. Dalam hal ini Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dengan membuat peraturan desa (perdes) dengan segala cakupannya. Misalnya perdes yang proaktif mendukung, melindungi, dan mengembangkan benih lokal dan secara tegas menentang benih transgenik dan makanan hasil rekayasa genetika walaupun hal tersebut terwujud dalam bentuk bantuan-bantuan. Peraga-peraga dan lembaga-lembaga pecinta kaum tani dengan bekerja sama dengan tokoh-tokoh politik dan hukum hendaknya bisa bersungguh-sungguh membantu implementasi otonomi desa tersebut yang betul-betul akan membawa ke paradigma baru. Otonomi desa tersebut ditopang dengan IGO (Inlandsche Gemeente Ordonantie) tahun 1906 Staats Blad nomor 83, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 93 s/d 111 selanjutnya diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, lihat Pasal 209 s/d 216. Akan tetapi, harus disadari bahwa otonomi desa bukanlah pemberian pemerintah, baik pemerintah Hindia Belanda maupun pemerintah Republik Indonesia, tetapi merupakan hak desa yang otentik, hak asasi desa. VIII. MENYUSUTNYA KELOMPOK TANI SEBAGAI SUATU KEPRIHATINAN Jumlah kaum tani di mana-mana semakin menyusut. Kaum muda tani tak tertarik lagi untuk tinggal di pedesaan. Keprihatinan tersebut juga diungkapkan dalam Konggres Pertanian Organik di Victoria, Vancouver. Maka, perlu digalang kesetiakawanan dan jaringan kerja antar kaum muda di pedesaan secara lokal, regional, dan global bertumpu pada visi dan misi pembangunan pertanian dan pedesaan lestari. Langkah lainnya yang perlu ditempuh terutama: a. Mengintensifkan kemitraan usaha tani antar orang tua dan kaum muda (parent-youth parentship). Demi kemandirian kaum muda di masa mendatang. b. Mengakui dan menghormati hak milik kaum muda sejak dini (youth ownership) termasuk hak asasi anak muda, sehingga tumbuh kegairahan kerja dan menabung modal sejak awal. c. Mengembangkan klub-klup (paguyuban) kaum muda/mudi tani/ nelayan yang menggairahkan dan menggembirakan. d. Membatinkan dan mengamalkan visi dan misi pelestarian lingkungan. Sebuah program penyadaran yang sejak dini harus sudah ditumbuhkan. e. Bagaimana peranan sekolah,lembaga-lembaga religius/kelompok dalam menghadapi keprihatinan ini? IX. PENGEMBANGAN SPIRITUALITAS PAGUYUBAN Mencari gaya hidup yang melestarikan lingkungan hidup sebagai gerakan moral dan perwujudan kekuatan moral. a. Kita tidak menolak iptek modern, tetapi iptek modern yang merusak lingkungan hidup harus ditolak. (Karena merusak lingkungan hidup), sedangkan melestarikan lingkungan hidup merupakan kewajiban moral. b. Melestarikan lingkungan hidup secara sederhana dan kongkret sebaiknya dimulai di meja makan, dimulai dari anak-anak dalam keluarga, komunitas, dan lain sebagainya. Tubuh kita termasuk lingkungan hidup (ekosistem). Karena itu, jangan mencemari tubuh kita dengan makanan-makanan tercemar. c. Menghayati spiritualitas: Penciptaan, berkat, dan belas kasih. d. Motto Keluarga Besar Paguyuban Tani Nelayan Hari Pangan Sedunia Berpandangan global, bertindak secara lokal. (Think globally, act locally). Berpandangan global, betanam yang lokal, makan yang lokal dan organik (think globally, plant locally, eat locally and organically). Untuk menjadi berkat bagi siapa saja dan apa saja (to become a blessing for everyone and everything). X. MENEMUKAN VISI KEBUDAYAAN DALAM MISI MEMBANGUN PERTANIAN DAN PEDESAAN LESTARI a. Mencari Makna tentang Kebudayaan Banyak definisi mengenai kebudayaan, itu bukan soal kita. Yang penting bagi kita ialah melihat kebudayaan sebagai suatu ekspresi dari dinamika kreatif yang dilahirkan oleh sumbernya, yaitu manusia sendiri. Karena hanya manusia yang menciptakan kebudayaannya. Tetapi, kenyataannya kemampuan untuk mencipta itu seolah-olah terpenjara, kalau boleh dikatakan demikian, di dalam struktur-struktur yang multidimensional (baik di dalam maupun di luar manusia) yang berfungsi sebagai media untuk mengekspresikan dirinya. Maka terjadilah ketegangan antara dinamika kreatif tersebut dengan struktur yang ada. Ketegangan antara dinamika kreatif tersebut menunjukkan, di satu pihak kebesarannya. Gagasan tersebut di atas membawa kita untuk mengatakan sesuatu tentang dinamika kultural/ kebudayaan dari Tuhan yang menjadi sumber dan asal kemampuan kreatif manusia. Kultur atau kebudayaan pada dasarnya merupakan manifestasi kemampuan kreatif Tuhan yang terwujud di dalam bentuk dan peristiwa-peristiwa aktual di dunia ini. Dan, karena di dalam Tuhan tiada keterbatasan, penulis Kisah Penciptaan dunia mengatakan setiap karya Penciptaan Tuhan sebagai baik. Sehubungan dengan itu perlu digali spiritualitas yang terkandung oleh kebudayaan dalam konteks daerah atas suku tertentu dalam terang iman Tuhan Pencipta karena Tuhan Pencipta adalah asal dan sumber budaya manusia. Tugas kaum beriman adalah membuat penegasan kultural yang sebaiknya diupayakan dengan umat setempat yang mungkin saja berbeda agama dan kepercayaan. Hal ini justru akan membuka hati dan budi kita agar dimungkinkan masuknya udara segar dan terang baru dalam kawasan iman masing-masing. Ada dua macam pertanggungjawaban yang terkait dalam tugas penegasan kultural ini. Di satu pihak, itu merupakan pertyanggungjawaban yang negatif, yaitu meneliti dan mengamati sejauh mana kasih Allah kepada manusia dan lingkungan masyarakatnya itu dikorupsikan dan didistorsikan dengan kebudayaan tertentu –suatu kenyataan sejarah yang menyebabkan masyarakat banyak menderita. Di lain pihak, kalau kita percaya pada dasarnya ciptaan Tuhan itu baik, kita tidak boleh hanya berhenti pada pertanggungjawaban negatif saja. Di dalam pertanggungjawaban positif dimaksudkan agar kita juga berupaya mengamati dan mendalami sejauh mana kasih Allah itu terefleksikan atau terekspresikan dalam hidup dan karya-karya dari mereka yang hidup dalam konteks kultural yang berbeda-beda. Barangkali ini merupakan salah satu jalan bagi kita untuk sedikit atau banyak dapat memahami atau mendalami misteri dinamika kultural Tuhan Yang Penuh Kasih dan Bijaksana. Terlibat dan berkarya dalam ciptaan-Nya. b. Praksis dalam Kebudayaan yang Ada. Kawasan Nusantara terdiri dari banyak suku. Bagaimana hubungan kebudayaan yang partikular dan yang nasional/ universal? Dan, bagaimana hubungan antar kebudayaan yang partikular sendiri? Dari pengalaman yang ada, praksis tersebut diwujudkan dalam musyawarah atau dialog antar kebudayaan. Dengan cara saling menjadi berkat antar kelompok kebudayaan. Misalnya tukar pengalaman dalam usaha membangun pertanian dan pedesaan lestari (pola produksi lestari termasuk pengadaan dan pengembangan benih-benih lokal, pola konsumsi lestari,makan sesuai dengan musimnya dan lain-lain). Dalam konteks pengembangan kebudayaan, pada umumnya penegasan budaya sekaligus penegasan iman (cultural discerenment, spiritual discerenment), baik itu yang negatif maupun yang positif sangat diharapkan untuk diupayakan melalui dialog atau musyawarah. Mana yang budaya kutuk mana yang budaya berkat, mana yang budaya kematian mana yang budaya kehidupan. Dengan demikian, akan saling menjadi berkat dan saling menemukan kebaikan dan kebenaran semakin utuh. XI. PENUTUP Nilai budaya rakyat setempat pada umumnya mempunyai muatan religius yang dalam yang menandaskan hubungan integral antara Yang Ilahi, yang manusiawi, dan alam semesta, sehingga setiap aspek kehidupan mengandaikan adanya landasan-landasan religius tertentu. Karena seluruh alam semesta ini pada dasarnya merupakan pewahyuan Sang Pencipta. Sebenarnya jikalau kita benar-benar mendalami keimanan agama-agama yang ada di dunia ini baik Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Tao-Konfusius maupun agama-agama asli, kita akan menemukan pewahyuan Sang Pencipta yang selalu mencipta dan bersabda dan tiada sesuatu yang diciptakan tanpa Sang Sabda. Dengan demikian, kehadiran Tuhan yang slalu beserta kita sungguh nyata dan terasa baik dalam konteks pribadi, sosial maupun kosmik. Ini bukan pandangan panteisme yang menganggap “semua adalah Tuhan dan Tuhan adalah semua”, tetapi panteisme yang menyadari “Tuhan ada di dalam semua, dan semua ada dalam Tuhan”. Sabda yang demikian belas kasih-Nya mencipta dan menyabda segala ciptaan-Nya diungkapkan begitu indah dalam serat Centini sebagai berikut: Adepna mikanira iki Marang ing sang katon Hiya iku kabeh Rarahine Angalingi rahining dumadi Rarahi kang luwih Kang katon sawegung (Hadapkanlah mukamu Pada apa saja yang tampak Semua itu menyatakan wajah-Nya Tersembunyi dalam setiap wajah Yang tampak adalah wajah-Nya Yang Maha Agung) Kenyataan dewasa ini wajah-wajah Tuhan di alam semesta banyak yang rusak. Untuk itu, sesungguhnya kita membutuhkan laki-laki dan perempuan yang betul-betul berjiwa religius dalam menghadapi seluruh lingkungan hidup dan alam semesta, mereka adalah orang-orang yang rela berprasetya menjawab belas kasih Allah secara luas dan mendalam sampai pada seluruh alam ciptaan-Nya. Itu berarti mencintai, menghormati, menjadi pramugari berkat bagi siapa saja dan apa saja demi keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Tulisan di atas merupakan salah satu bagian dalam buku yang berjudul “ Zoet Hart van Jesus Wees Mijne Liefde (Hati Yesus yang Manis, Jadikanlah Kasih-Mu Kasihku)” Sebuah Biografi Rm. Gregorius Utomo, Pr. Kanisius: 2013 Penulis : Martin Teiseran.

Selasa, 07 Januari 2014

Menjadikan Abad ke-21 sebagai Era Kepedulian Kosmik dan Pelestarian Lingkungan Hidup (Bagian 1)

Penulis: G. Utomo, Pr.
I. PENDAHULUAN Cita-cita kita bangsa Indonesia yang terkandung dalam ikrar Sumpah Pemuda adalah persatuan yang kelak di kemudian hari membawa kita menuju tercapainya Indonesia merdeka. Setelah jatuhnya Orde Baru, cita-cita itu berubah menjadi: a) Menghargai dan menghormati Hak Asasi Manusia dan (b) Reformasi di segala bidang menuju Indonesia Baru yang sejahtera. Selanjutnya, cita-cita kreatif itu dihadapkan pada situasi konflik yang rentan mengarah kepada disintegrasi bangsa. Dengan demikian, cita-cita memasyarakatkan Pancasila menjadi semakin jauh dari sempurna. Dengan sikap jujur, kita semakin melihat kesenjangan-kesenjangan yang timbul bahkan semakin merebak di dalam masyarakat. Kita menghadapi berbagai kesenjangan: kesenjangan antara kota dan desa, pribumi dan nonpribumi, modal asing dan modal nasional, pemanfaatan sumber daya alam dan perusakan atau pencemaran lingkungan, industrialisasi di berbagai bidang dan sektor pertanian yang semakin tertinggal dan lain sebagainya. Keterbatasan sumber-sumber yang ada menjadikan peranan bantuan luar negeri dan penanaman modal asing amat penting. Di lain pihak, perekonomian kita masih akan ditandai dengan kehadiran jutaan produsen kecil seperti petani dan nelayan gurem, pengusaha kerajinan, penjual dan pembeli jasa lainnya, serta kelompok-kelompok ini justru akan semakin membengkak pada masa mendatang. Sistem ekonomi dualistik-ekonomi, ekonomi tradisional, ekonomi kapitalistik dan nonkapitalistik, barangkali prakapitalistik, masih akan terus berjalan dengan implikasi konsekuensinya. Dilema yang kita hadapi, di satu pihak kita menerima prinsip dasar bebas dan usaha swasta (free market dan free enterprise). Katakanlah kita menganut ekonomi terbuka yang memang dipersyaratkan oleh Bank Dunia dan IMF serta telah dikukuhkan oleh penandatanganan GATT pada tanggal 15 Desember 1993 (Indonesia ikut menandatangani) dan tahun 1995 beropersi dalam bentuk WTO. Di lain pihak kita ingin menerapkan asas Pancasila yaitu keadilan sosial di bidang ekonomi bukan sekedar embel-embel melainkan benar-benar sebagai asas dan pandangan hidup Pancasila. Dana bantuan luar negeri bersifat pinjaman yang harus dikembalikan. Investasi dengan sendirinya lebih dititik beratkan pada sektor industri perkotaan yang lebih quick yielding, yang laju pertumbuhannya relatif lebih tinggi dari laju pertumbuhan sektor pertanian di pedesaan. Namun, sektor industri kita mengalami persaingan berat dari produk-produk industri negara maju. Alternatifnya dipilih sektor pertanian yang memacu ekspor. Itu berarti agribisnis, seperti PTP, PIR, HTI, dan sejenisnya. Ini memang sesuai dengan International Division of Labor (Pola perdagangan zaman kolonial). Ini jelas bukan pertanian rakyat yang semakin ketinggalan. Mungkinkah konflik antara ideologi pasar bebas dapat didamaikan dengan pemerataan kesejahteraan yang menekankan asas keadilan sosial tersebut. Lembaga-lembaga bank raksasa internasional kekuatannya bukan semata-mata terletak pada memonopoli keahlian, tetapi lebih-lebih pada kemampuan memaksakan kebijakan ekonomi pada negara-negara yang sedang berkembang. Kita teringat pada pidato Bung Karno pada Konferensi Asia Afrika Bandung tahun 1955 bahwa itu merupakan perwujudan penjajahan baru atau neo-kolonialisme. Dalam upaya menelusuri akar kesenjangan sosial, sebetulnya yang kemudian berkaitan dengan pasar bebas dengan ditandatanganinya GATT kemudian WTO, dimaksudkan untuk meningkatkan kemakmuran secara global baik negara maju maupun negara sedang berkembang. Namun, jelas dapat diduga bahwa yang paling beruntung adalah negara maju belahan utara sudah lebih dahulu menguasai perdagangan internasional. Empat bidang dalam Draft Final Act atau “Dunkel Draft” yang dikenai dalam pasar bebas, yakni: a. Perdagangan Bidang Jasa (trade in service) b. Hak milik intelektual yang terkait dengan perdagangan (TRIPs, Trade Related Intellectual Property Rights) c. Penanaman Modal Asing secara Bebas (TRM, Trade Related Investment Measures-International Investment Flows) d. Perdagangan produk-produk pertanian. Keempatnya membawa dampak tak terhindarkan bagi masyarakat pedesaan yang sebagian besar bahkan tidak mengenal WTO, sebagai berikut: a. Pembebasan impor produk-produk pertanian luar yang akan menimbulkan persaingan dengan produk-produk sejenis yang sudah diproduksi petani-petani dalam negeri. Juga ditetapkan, subsidi kepada kaum tani di negara-negara yang sedang berkembang harus dikurangi. Petani yang sudah tidak mempunyai posisi tawar (Bargaining power) tersebut masih diperlemah lagi dengan penetapan harga beras demi stabilitas nasional yang membuat nilai tukar petani padi akan semakin memburuk, b. Perdagangan di bidang impor barang konsumsi mewah akan membuat masyarakat semakin diracuni oleh mental konsumerisme dengan segala akibatnya. Biaya hidup melambung tinggi, meningkatnya pendapatan tidak akan ada artinya, nilai tukar memburuk. Manusia modern tidak lebih hanya sekadar “barang dagangan” (Commodity form of life). Yang penting bukan pengembangan jati diri untuk semakin berkepribadian, tetapi pengembangan gaya hidup yang semakin bergengsi. Suatu “keterbelakangan moral” yang hanya mengejar nilai wadag (thinghood), bukan nilai kepribadian (personhood). Ini berlaku umum baik di kota maupun di desa. c. Hak milik intelektual menetapkan bahwa tanaman-tanaman atau binatang ternak yang telah mengalami rekayasa genetik diakui hak patennya. Hak milik masyarakat tradisional adalah mengembangkan kebudayaan dan tradisinya, termasuk kearifan-kearifan lokal. Akibatnya, telah terjadi pembajakan dan pemusnahan jenis-jenis hayati dalam masyarakat pedesaan. Selanjutnya tidak ada jalan lain selain mengikuti pola tanam serba seragam yang membuat petani di bidang sarana produksi menjadi tergantung pada benih, pupuk, dan obat yang kesemuanya sarat dengan agrokimia. Masyarakat pedesaan harus waspada menghadapi monopoli benih karena barangsiapa menguasai benih, menguasai kehidupan. II. EKONOMI KAPITALISTIK DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Persoalan penting yang lain ialah hubungan ekonomi kapitalistik internasional dengan lingkungan hidup. Analisis yang sederhana menunjukkan bahwa kapitalisme dalam tujuan produksi pertama-tama untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, mengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Dewasa ini obsesi untuk mengejar laju pertumbuhan ekonomi dan terus berusaha untuk memiliki lebih banyak lagi merupakan tolok ukur kemajuan ekonomi. Ekonomi pertumbuhan tampaknya sudah menjadi agama baru dalam zaman modern ini. Hukum penawaran dan permintaan, hukum pasar bebas (perjanjian GATT/WTO) menjadi dewa penentu tanpa suatu intervensi. Kelanjutan kecenderungan ialah pemaksaan perluasan ekonomi. Perluasan yang tidak kenal batas, pada gilirannya menimbulkan persoalan lingkungan hidup, seperti perluasan hutan tanaman industri (HTI), percetakan sejuta hektar sawah di pulau hutan perawan Kalimantan, dan sebagainya. Semakin tinggi kecepatan mengejar produksi, semakin cepat sumber-sumber alam dikuras dan semakin cepat sumber alam rusak dan habis. Limbah-limbah produksi mencemari tanah, air, udara, dan akhirnya manusia sendiri. III. MENCARI GAYA HIDUP YANG MELESTARIKAN LINGKUNGAN A. Menemukan Belas Kasih sebagai Gaya Hidup (Spiritualitas) Tuhan itu sungguh menderita apabila makhluk ciptaan-Nya menderita. Sebaliknya, sangat berkenan dan bahagia apabila kita menanggapi panggilan-Nya untuk membebaskan makhluk ciptaan-Nya yang menderita. Oleh karena itu, belas kasih menuntut keterlibatan yang membebaskan. Belas kasih Tuhan diwujudkan di dalam keterlibatan yang membebaskan, meskipun dirinya harus menderita. Belas kasih itu sesungguhnya bukan sekadar menaruh iba terhadap penderitaan, bukan menaruh kasih semata-mata, tetapi secara nyata dengan semangat kasih memperjuangkan keadilan bersama mereka yang menderita. Belas kasih yang dalam istilah Latin : compassion, berasal dari kata cumpatio, artinya saya ikut menderita, ikut bersetia kawan dalam penderitaan, tetapi juga ikut bersama merasakan kebahagiaan. Belas kasih sebagai gaya hidup bukan hanya bersama-sama menderita, tetapi juga bersama-sama berbahagia dan bergembira. Gaya hidup belas kasih selalu berpropses dari compassion menjuju “konselebrasi” perayaan dan kegembiraan bersama. B. Spiritual Belas Kasih 1. Belas Kasih Bersifat Personal. Sosial, dan Kosmik Belas kasih jauh melebihi personalisme, tidak terbatas pada kepedulian pribadi. Belas kasih tidak hanya merupakan unsur melekat untuk pembangunan keadilan, serta struktur yang adil di dalam masyarakat saja, tetapi belas kasih juga merupakan kekuatan batin yang berasal dari Tuhan sendiri dan kita amalkan kepada semua ciptaan Tuhan. Relasi dan komunikasi yang kita hayati bukan hanya relasi “Aku-Engkau-Kamu” tetapi termasuk “ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya”. Artinya, komunikasi haruslah terjadi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan flora dan faunanya, manusia dengan buminya, manusia dengan seni musiknya, tarinya, dengan seni lukisnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, era belas kasih harus diwartakan dan terus diwartakan yang memang telah diwartakan. Seluruh alam semesta lahir karena belas kasih-Nya. Di sini, belas kasih (menciptakan/memberkati) dan berkat (ciptaan Tuhan) merupakan satu kesatuan. Sehubungan dengan itu, Arturo Pauli mengungkapkan sikap belas kasih kosmik sebagai berikut: ....pertanda “sentuhan Tuhan” ialah apabila seseorang mampu melihat dirinya sebagai “saudara secara universal” –sebuah ungkapan kesatuan dan kebersamaan baik dengan manusia maupun sesama makhluk ciptaan Tuhan....Untuk itu, diperlukan semangat keberanian untuk menerima dunia ini sebagai sesuatu yang selalu dalam proses penciptaan dalam arti bahwa segala sesuatu perlu terus-menerus dibebaskan dari perkosaan dan perusakan manusia...Sikap berkontemplasi menjadi benar-benar mencapai sasarannya apabila berhasil menjalin kebersamaan dengan Saudara Api, Saudari air, Saudara Beruang, dan lainnya lagi, serta berhasil menemukan persaudaraan yang penuh kasih dan membahagiakan....Pola kontemplatif di waktu mendatang akan berwujud perubahan kualitatif yaitu rekonsiliasi dengan semua ciptaan Tuhan. Dengan demikian, alam semesta akan menemukan pembebasannya dari penindasan dan kerapuhannya untuk pada akhirnya dapat mengambil bagian dalam “kemuliaan pembebasan anak-anak Allah...” 2. Belas Kasih dan Kehidupan Ekonomi dalam Tahap-Tahap Perkembangannya Kalau kita tidak menemukan kaitannya yang jelas antara belas kasih dan bidang ekonomi, maka belas kasih hanyalah sekadar sebagai ungkapan saleh, kosong, dan hampa, tiada nilai dalam kehidupan dan pembangunan masyarakat secara kongkret. Dalam situasi yang demikian, ekonomi akan menjadi nilai yang semakin tumbuh dan berkembang bebas memperluas ekspansinya tanpa kendali. Akibat yang sudah dirasakan, rakyat banyak menjadi korban. Sedangkan segelintir kelompok elite semakin berkuasa menjadi raksasa di dalam usaha bisnisnya. Bidang ekonomi yang seharusnya menjadi berkat bagi rakyat kebanyakan berbalik menjadi malapetaka. Bidang ekonomi menjadi bentuk penindasan dan pengisapan dari Goliat-goliat trans nasional maupun lokal terhadap Daud-Daud kecil yang semakin miskin dan menderita. Berekonomi pada dasarnya berarti “mengatur rumah tangga” untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sehubungan dengan ini, cita-cita bangsa kita atau kemauan politik bangsa kita di bidang ekonomi dengan jelas telah dituangkan dalam UUD 1945 pasal 33 yang berbunyi: “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan” Berekonomi dengan asas kekeluargaan sejak dahulu kala berkembang dalam masyarakat-masyarakat basis di Indonesia maupun di mana saja di bumi ini. Di Barat, misalnya masyarakat Kristen Perdana berekonomi atau mengatur rumah tangga dengan cara gotong-royong, kekeluargaan. Mereka saling membagi miliknya sesuai dengan kebutuhan warga jemaat dengan lebih memberi perhatian kepada mereka yang miskin (Kis 2;4;32-35). Berekonomi kekeluargaan, berbagi dengan yang miskin ini kemudian menjadi dasar kaul kemiskinan para rahib. Selanjutnya, kehidupan monastik para rahib merupakan reaksi atau protes terhadap kehidupan merupakan reaksi atau protes terhadap kehidupan ekonomi kaum elite yang mengorbankan kaum kecil semenjak Gereja bersekutu dengan negara dalam abad ke-4. Pada masa Abad Pertengahan kehidupan feodal semakin subur dan dominan. Masyarakat semakin mengarah ke kapitalisme. Rakyat jelata mulai meninggalkan rumah tangga desa, bereksodus ke kota memasuki rumah tangga perkotaan. Pada abad XVI-XVII ekspansi penjajahan bermotif dagang dan mencari untung sebesar-besarnya mengakibatkan revolusi di bidang ekonomi. Berekonomi atau mengatur “rumah tangga” berubah menjadi bisnis-bisnis industri besar. Feodalisme berubah menjadi kapitalisme. Bisnis-bisnis industri tersebut pada abad XVIII-XIX terus berekspansi sehingga benar-benar melahirkan kapitalisme industri. Di sisi lain tumbuh serikat buruh, sosialisme, dan komunisme sebagai alternatif lain menghadapi kapitalisme industri. Menghadapi kapitalisme industrial dengan segala alternatif tandingannya tersebut, rakyat kecil terasingkan dari berekonomi “rumah tangga”nya sendiri. Dewasa ini pun situasi rakyat kebanyakan mengalami hal yang sama, terasingkan dari berekonomi “rumah tangga”nya sendiri. Mereka semakin tidak merasa at home di dalam berekonomi “rumah tangga”nya sendiri. Ekspansi-ekspansi industri Goliat baik lokal maupun trans nasional semakin membuat Daud-Daud kecil di seluruh bumi frustasi di dalam berekonomi “rumah tangga”nya sendiri. IV. PERKEMBANGAN KEHIDUPAN EKONOMI DEWASA INI Situasinya sekarang ialah, bahwa ekonomi kapitalis semakin bebas berpacu dalam hukum penawaran dan permintaan, supply and demand, tanpa ambil pusing apa yang ditawarkan dan untuk siapa ditawarkan. Yang penting asal untung, Sisi lain yang dikampanyekan secara histeris di mana-mana dewasa ini ialah bahwa kemajuan ekonomi itu selalu “disinonimkan dengan peningkatan Pendapatan Kotor Nasional (Gross National Product) per jiwa. Namun, pendapatan rata-rata yang dipacu terus peningkatannya, lazimnya diikuti kepincangan atau kesenjangan dalam pemerataan pendapatan/ kekayaan nasional. Dalam hal ini kelompok elite semakin tumbuh subur, makmur. Pemerintah dan para pejabatnya bisa kaya, tetapi rakyat jelata tetap menderita. Kapan orang kecil bisa merasa at home dalam berekonomi atau mengatur rumah tangganya sendiri? Orang desa bilang Wong cilik kuwi prasasat kandang langit kemul mego (Orang kecil itu bagaikan berumah dalam langit dan berselimut awan). Atau dalam folksong-nya Anton Webern diungkapkan, the earth is your shoe, the sky is your hat (Bumi merupakan sepatumu, langit merupakan topimu). Pada umumnya ungkapan di atas dinilai sangat negatif yaitu kemiskinan total. Namun kalau berani menelusuri lebih teliti sebelumnya, diketemukan hikmah yang sangat bernilai. Langit dan awan memang sungguh merupakan pelindung kehidupan kita karena melindungi suplai oksigen kita yang menangkal ultraviolet yang akan merusak asam-asam nucleus dan protein. Jadi, langit ibarat topi kita yang menangkal unsur-unsur buruk serta mempersilakan unsur baik (energi) masuk dalam tubuh kita. Hikmah lebih lanjut bisa ditarik lagi yaitu bahwa rumah kediaman kita adalah alam semesta, lingkungan hidup kita tanpa mengutak-atikkan diri dalam suku, bangsa, dan agama tertentu. Komunikasi jagat yang semakin maju, intensif, dan merata membuat kita semakin berbagi rasa, baik dalam penderitaan, kemiskinan, pengangguran, inflasi, kebahagiaan, seni musik, seni tari, dan sebagainya yang mewujudkan suatu “komunitas kampung besar” atau yang dalam istilah Barbara Ward dikatakan global village. Kesadaran ini semakin menantang kita untuk berumah tangga bersama secara gotong royong dan saling bergantung penuh tanggung jawab bersama. Sehubungan dengan itu seorang pakar ekonomi Herman E. Daly mengingatkan bahaya paradikma ekonomi neoklasik yang berpusat pada pemacuan pertumbuhan ekonomi belaka: Di dalam situasi yang mempunyai keterbatasannya, memacu terus pertumbuhan ekonomi adalah sesuatu yang mustahil...sifat dan sikap manusia yang tidak hanya hidup dari roti saja, pertumbuhan yang demikian itu pasti tidak diinginkan sebelum itu menjadi mustahil. Sedangkan asumsi yang berlebih-lebihan dari sintesis pertumbuhan ekonomi Keynesian-neoklasik baik tersirat maupun secara eksplisit selalu mengandaikan pengembangan kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan yang tidak terbatas. Oleh karena itu, perlu dilayani dengan jalan berusaha dalam hal pengadaan produksi yang tidak terbatas: di dalam situasi ini kita tidak mungkin bersifat netral saja karena paradigma yang berlaku dalam masyarakat merupakan kunci penentu dalam memberi bentuk sistem sosial kita. Kesadaran bahwa kita hidup dalam “satu komunitas kampung besar” (global village) yang mau tidak mau harus saling bergotong royong karena saling ketergantungan, mendorong ordo ekonomi baru, ordo sosial baru yang perlu ditumbuhkan. Ordo ekonomi dan sosial baru tersebut kalau itu belum terlambat harus lahir dari situasi hidup kebanyakan rakyat yaitu dari berbagai penderitaan, berbagai ketidakberdayaan, baik dalam masyarakat pra-industri maupun masyarakat pasca industri, menuju pembebasannya yaitu berbagi kesejahteraan dan kebahagiaan. Dari kompasio (compassion), yaitu mengamalkan belas kasih menuju konselebrasi, perayaan bersama, mensyukuri kesejahteraan, kebahagiaan dan peradaban bersama. (bersambung)