Selasa, 07 Januari 2014

Menjadikan Abad ke-21 sebagai Era Kepedulian Kosmik dan Pelestarian Lingkungan Hidup (Bagian 1)

Penulis: G. Utomo, Pr.
I. PENDAHULUAN Cita-cita kita bangsa Indonesia yang terkandung dalam ikrar Sumpah Pemuda adalah persatuan yang kelak di kemudian hari membawa kita menuju tercapainya Indonesia merdeka. Setelah jatuhnya Orde Baru, cita-cita itu berubah menjadi: a) Menghargai dan menghormati Hak Asasi Manusia dan (b) Reformasi di segala bidang menuju Indonesia Baru yang sejahtera. Selanjutnya, cita-cita kreatif itu dihadapkan pada situasi konflik yang rentan mengarah kepada disintegrasi bangsa. Dengan demikian, cita-cita memasyarakatkan Pancasila menjadi semakin jauh dari sempurna. Dengan sikap jujur, kita semakin melihat kesenjangan-kesenjangan yang timbul bahkan semakin merebak di dalam masyarakat. Kita menghadapi berbagai kesenjangan: kesenjangan antara kota dan desa, pribumi dan nonpribumi, modal asing dan modal nasional, pemanfaatan sumber daya alam dan perusakan atau pencemaran lingkungan, industrialisasi di berbagai bidang dan sektor pertanian yang semakin tertinggal dan lain sebagainya. Keterbatasan sumber-sumber yang ada menjadikan peranan bantuan luar negeri dan penanaman modal asing amat penting. Di lain pihak, perekonomian kita masih akan ditandai dengan kehadiran jutaan produsen kecil seperti petani dan nelayan gurem, pengusaha kerajinan, penjual dan pembeli jasa lainnya, serta kelompok-kelompok ini justru akan semakin membengkak pada masa mendatang. Sistem ekonomi dualistik-ekonomi, ekonomi tradisional, ekonomi kapitalistik dan nonkapitalistik, barangkali prakapitalistik, masih akan terus berjalan dengan implikasi konsekuensinya. Dilema yang kita hadapi, di satu pihak kita menerima prinsip dasar bebas dan usaha swasta (free market dan free enterprise). Katakanlah kita menganut ekonomi terbuka yang memang dipersyaratkan oleh Bank Dunia dan IMF serta telah dikukuhkan oleh penandatanganan GATT pada tanggal 15 Desember 1993 (Indonesia ikut menandatangani) dan tahun 1995 beropersi dalam bentuk WTO. Di lain pihak kita ingin menerapkan asas Pancasila yaitu keadilan sosial di bidang ekonomi bukan sekedar embel-embel melainkan benar-benar sebagai asas dan pandangan hidup Pancasila. Dana bantuan luar negeri bersifat pinjaman yang harus dikembalikan. Investasi dengan sendirinya lebih dititik beratkan pada sektor industri perkotaan yang lebih quick yielding, yang laju pertumbuhannya relatif lebih tinggi dari laju pertumbuhan sektor pertanian di pedesaan. Namun, sektor industri kita mengalami persaingan berat dari produk-produk industri negara maju. Alternatifnya dipilih sektor pertanian yang memacu ekspor. Itu berarti agribisnis, seperti PTP, PIR, HTI, dan sejenisnya. Ini memang sesuai dengan International Division of Labor (Pola perdagangan zaman kolonial). Ini jelas bukan pertanian rakyat yang semakin ketinggalan. Mungkinkah konflik antara ideologi pasar bebas dapat didamaikan dengan pemerataan kesejahteraan yang menekankan asas keadilan sosial tersebut. Lembaga-lembaga bank raksasa internasional kekuatannya bukan semata-mata terletak pada memonopoli keahlian, tetapi lebih-lebih pada kemampuan memaksakan kebijakan ekonomi pada negara-negara yang sedang berkembang. Kita teringat pada pidato Bung Karno pada Konferensi Asia Afrika Bandung tahun 1955 bahwa itu merupakan perwujudan penjajahan baru atau neo-kolonialisme. Dalam upaya menelusuri akar kesenjangan sosial, sebetulnya yang kemudian berkaitan dengan pasar bebas dengan ditandatanganinya GATT kemudian WTO, dimaksudkan untuk meningkatkan kemakmuran secara global baik negara maju maupun negara sedang berkembang. Namun, jelas dapat diduga bahwa yang paling beruntung adalah negara maju belahan utara sudah lebih dahulu menguasai perdagangan internasional. Empat bidang dalam Draft Final Act atau “Dunkel Draft” yang dikenai dalam pasar bebas, yakni: a. Perdagangan Bidang Jasa (trade in service) b. Hak milik intelektual yang terkait dengan perdagangan (TRIPs, Trade Related Intellectual Property Rights) c. Penanaman Modal Asing secara Bebas (TRM, Trade Related Investment Measures-International Investment Flows) d. Perdagangan produk-produk pertanian. Keempatnya membawa dampak tak terhindarkan bagi masyarakat pedesaan yang sebagian besar bahkan tidak mengenal WTO, sebagai berikut: a. Pembebasan impor produk-produk pertanian luar yang akan menimbulkan persaingan dengan produk-produk sejenis yang sudah diproduksi petani-petani dalam negeri. Juga ditetapkan, subsidi kepada kaum tani di negara-negara yang sedang berkembang harus dikurangi. Petani yang sudah tidak mempunyai posisi tawar (Bargaining power) tersebut masih diperlemah lagi dengan penetapan harga beras demi stabilitas nasional yang membuat nilai tukar petani padi akan semakin memburuk, b. Perdagangan di bidang impor barang konsumsi mewah akan membuat masyarakat semakin diracuni oleh mental konsumerisme dengan segala akibatnya. Biaya hidup melambung tinggi, meningkatnya pendapatan tidak akan ada artinya, nilai tukar memburuk. Manusia modern tidak lebih hanya sekadar “barang dagangan” (Commodity form of life). Yang penting bukan pengembangan jati diri untuk semakin berkepribadian, tetapi pengembangan gaya hidup yang semakin bergengsi. Suatu “keterbelakangan moral” yang hanya mengejar nilai wadag (thinghood), bukan nilai kepribadian (personhood). Ini berlaku umum baik di kota maupun di desa. c. Hak milik intelektual menetapkan bahwa tanaman-tanaman atau binatang ternak yang telah mengalami rekayasa genetik diakui hak patennya. Hak milik masyarakat tradisional adalah mengembangkan kebudayaan dan tradisinya, termasuk kearifan-kearifan lokal. Akibatnya, telah terjadi pembajakan dan pemusnahan jenis-jenis hayati dalam masyarakat pedesaan. Selanjutnya tidak ada jalan lain selain mengikuti pola tanam serba seragam yang membuat petani di bidang sarana produksi menjadi tergantung pada benih, pupuk, dan obat yang kesemuanya sarat dengan agrokimia. Masyarakat pedesaan harus waspada menghadapi monopoli benih karena barangsiapa menguasai benih, menguasai kehidupan. II. EKONOMI KAPITALISTIK DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Persoalan penting yang lain ialah hubungan ekonomi kapitalistik internasional dengan lingkungan hidup. Analisis yang sederhana menunjukkan bahwa kapitalisme dalam tujuan produksi pertama-tama untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, mengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Dewasa ini obsesi untuk mengejar laju pertumbuhan ekonomi dan terus berusaha untuk memiliki lebih banyak lagi merupakan tolok ukur kemajuan ekonomi. Ekonomi pertumbuhan tampaknya sudah menjadi agama baru dalam zaman modern ini. Hukum penawaran dan permintaan, hukum pasar bebas (perjanjian GATT/WTO) menjadi dewa penentu tanpa suatu intervensi. Kelanjutan kecenderungan ialah pemaksaan perluasan ekonomi. Perluasan yang tidak kenal batas, pada gilirannya menimbulkan persoalan lingkungan hidup, seperti perluasan hutan tanaman industri (HTI), percetakan sejuta hektar sawah di pulau hutan perawan Kalimantan, dan sebagainya. Semakin tinggi kecepatan mengejar produksi, semakin cepat sumber-sumber alam dikuras dan semakin cepat sumber alam rusak dan habis. Limbah-limbah produksi mencemari tanah, air, udara, dan akhirnya manusia sendiri. III. MENCARI GAYA HIDUP YANG MELESTARIKAN LINGKUNGAN A. Menemukan Belas Kasih sebagai Gaya Hidup (Spiritualitas) Tuhan itu sungguh menderita apabila makhluk ciptaan-Nya menderita. Sebaliknya, sangat berkenan dan bahagia apabila kita menanggapi panggilan-Nya untuk membebaskan makhluk ciptaan-Nya yang menderita. Oleh karena itu, belas kasih menuntut keterlibatan yang membebaskan. Belas kasih Tuhan diwujudkan di dalam keterlibatan yang membebaskan, meskipun dirinya harus menderita. Belas kasih itu sesungguhnya bukan sekadar menaruh iba terhadap penderitaan, bukan menaruh kasih semata-mata, tetapi secara nyata dengan semangat kasih memperjuangkan keadilan bersama mereka yang menderita. Belas kasih yang dalam istilah Latin : compassion, berasal dari kata cumpatio, artinya saya ikut menderita, ikut bersetia kawan dalam penderitaan, tetapi juga ikut bersama merasakan kebahagiaan. Belas kasih sebagai gaya hidup bukan hanya bersama-sama menderita, tetapi juga bersama-sama berbahagia dan bergembira. Gaya hidup belas kasih selalu berpropses dari compassion menjuju “konselebrasi” perayaan dan kegembiraan bersama. B. Spiritual Belas Kasih 1. Belas Kasih Bersifat Personal. Sosial, dan Kosmik Belas kasih jauh melebihi personalisme, tidak terbatas pada kepedulian pribadi. Belas kasih tidak hanya merupakan unsur melekat untuk pembangunan keadilan, serta struktur yang adil di dalam masyarakat saja, tetapi belas kasih juga merupakan kekuatan batin yang berasal dari Tuhan sendiri dan kita amalkan kepada semua ciptaan Tuhan. Relasi dan komunikasi yang kita hayati bukan hanya relasi “Aku-Engkau-Kamu” tetapi termasuk “ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya”. Artinya, komunikasi haruslah terjadi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan flora dan faunanya, manusia dengan buminya, manusia dengan seni musiknya, tarinya, dengan seni lukisnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, era belas kasih harus diwartakan dan terus diwartakan yang memang telah diwartakan. Seluruh alam semesta lahir karena belas kasih-Nya. Di sini, belas kasih (menciptakan/memberkati) dan berkat (ciptaan Tuhan) merupakan satu kesatuan. Sehubungan dengan itu, Arturo Pauli mengungkapkan sikap belas kasih kosmik sebagai berikut: ....pertanda “sentuhan Tuhan” ialah apabila seseorang mampu melihat dirinya sebagai “saudara secara universal” –sebuah ungkapan kesatuan dan kebersamaan baik dengan manusia maupun sesama makhluk ciptaan Tuhan....Untuk itu, diperlukan semangat keberanian untuk menerima dunia ini sebagai sesuatu yang selalu dalam proses penciptaan dalam arti bahwa segala sesuatu perlu terus-menerus dibebaskan dari perkosaan dan perusakan manusia...Sikap berkontemplasi menjadi benar-benar mencapai sasarannya apabila berhasil menjalin kebersamaan dengan Saudara Api, Saudari air, Saudara Beruang, dan lainnya lagi, serta berhasil menemukan persaudaraan yang penuh kasih dan membahagiakan....Pola kontemplatif di waktu mendatang akan berwujud perubahan kualitatif yaitu rekonsiliasi dengan semua ciptaan Tuhan. Dengan demikian, alam semesta akan menemukan pembebasannya dari penindasan dan kerapuhannya untuk pada akhirnya dapat mengambil bagian dalam “kemuliaan pembebasan anak-anak Allah...” 2. Belas Kasih dan Kehidupan Ekonomi dalam Tahap-Tahap Perkembangannya Kalau kita tidak menemukan kaitannya yang jelas antara belas kasih dan bidang ekonomi, maka belas kasih hanyalah sekadar sebagai ungkapan saleh, kosong, dan hampa, tiada nilai dalam kehidupan dan pembangunan masyarakat secara kongkret. Dalam situasi yang demikian, ekonomi akan menjadi nilai yang semakin tumbuh dan berkembang bebas memperluas ekspansinya tanpa kendali. Akibat yang sudah dirasakan, rakyat banyak menjadi korban. Sedangkan segelintir kelompok elite semakin berkuasa menjadi raksasa di dalam usaha bisnisnya. Bidang ekonomi yang seharusnya menjadi berkat bagi rakyat kebanyakan berbalik menjadi malapetaka. Bidang ekonomi menjadi bentuk penindasan dan pengisapan dari Goliat-goliat trans nasional maupun lokal terhadap Daud-Daud kecil yang semakin miskin dan menderita. Berekonomi pada dasarnya berarti “mengatur rumah tangga” untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sehubungan dengan ini, cita-cita bangsa kita atau kemauan politik bangsa kita di bidang ekonomi dengan jelas telah dituangkan dalam UUD 1945 pasal 33 yang berbunyi: “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan” Berekonomi dengan asas kekeluargaan sejak dahulu kala berkembang dalam masyarakat-masyarakat basis di Indonesia maupun di mana saja di bumi ini. Di Barat, misalnya masyarakat Kristen Perdana berekonomi atau mengatur rumah tangga dengan cara gotong-royong, kekeluargaan. Mereka saling membagi miliknya sesuai dengan kebutuhan warga jemaat dengan lebih memberi perhatian kepada mereka yang miskin (Kis 2;4;32-35). Berekonomi kekeluargaan, berbagi dengan yang miskin ini kemudian menjadi dasar kaul kemiskinan para rahib. Selanjutnya, kehidupan monastik para rahib merupakan reaksi atau protes terhadap kehidupan merupakan reaksi atau protes terhadap kehidupan ekonomi kaum elite yang mengorbankan kaum kecil semenjak Gereja bersekutu dengan negara dalam abad ke-4. Pada masa Abad Pertengahan kehidupan feodal semakin subur dan dominan. Masyarakat semakin mengarah ke kapitalisme. Rakyat jelata mulai meninggalkan rumah tangga desa, bereksodus ke kota memasuki rumah tangga perkotaan. Pada abad XVI-XVII ekspansi penjajahan bermotif dagang dan mencari untung sebesar-besarnya mengakibatkan revolusi di bidang ekonomi. Berekonomi atau mengatur “rumah tangga” berubah menjadi bisnis-bisnis industri besar. Feodalisme berubah menjadi kapitalisme. Bisnis-bisnis industri tersebut pada abad XVIII-XIX terus berekspansi sehingga benar-benar melahirkan kapitalisme industri. Di sisi lain tumbuh serikat buruh, sosialisme, dan komunisme sebagai alternatif lain menghadapi kapitalisme industri. Menghadapi kapitalisme industrial dengan segala alternatif tandingannya tersebut, rakyat kecil terasingkan dari berekonomi “rumah tangga”nya sendiri. Dewasa ini pun situasi rakyat kebanyakan mengalami hal yang sama, terasingkan dari berekonomi “rumah tangga”nya sendiri. Mereka semakin tidak merasa at home di dalam berekonomi “rumah tangga”nya sendiri. Ekspansi-ekspansi industri Goliat baik lokal maupun trans nasional semakin membuat Daud-Daud kecil di seluruh bumi frustasi di dalam berekonomi “rumah tangga”nya sendiri. IV. PERKEMBANGAN KEHIDUPAN EKONOMI DEWASA INI Situasinya sekarang ialah, bahwa ekonomi kapitalis semakin bebas berpacu dalam hukum penawaran dan permintaan, supply and demand, tanpa ambil pusing apa yang ditawarkan dan untuk siapa ditawarkan. Yang penting asal untung, Sisi lain yang dikampanyekan secara histeris di mana-mana dewasa ini ialah bahwa kemajuan ekonomi itu selalu “disinonimkan dengan peningkatan Pendapatan Kotor Nasional (Gross National Product) per jiwa. Namun, pendapatan rata-rata yang dipacu terus peningkatannya, lazimnya diikuti kepincangan atau kesenjangan dalam pemerataan pendapatan/ kekayaan nasional. Dalam hal ini kelompok elite semakin tumbuh subur, makmur. Pemerintah dan para pejabatnya bisa kaya, tetapi rakyat jelata tetap menderita. Kapan orang kecil bisa merasa at home dalam berekonomi atau mengatur rumah tangganya sendiri? Orang desa bilang Wong cilik kuwi prasasat kandang langit kemul mego (Orang kecil itu bagaikan berumah dalam langit dan berselimut awan). Atau dalam folksong-nya Anton Webern diungkapkan, the earth is your shoe, the sky is your hat (Bumi merupakan sepatumu, langit merupakan topimu). Pada umumnya ungkapan di atas dinilai sangat negatif yaitu kemiskinan total. Namun kalau berani menelusuri lebih teliti sebelumnya, diketemukan hikmah yang sangat bernilai. Langit dan awan memang sungguh merupakan pelindung kehidupan kita karena melindungi suplai oksigen kita yang menangkal ultraviolet yang akan merusak asam-asam nucleus dan protein. Jadi, langit ibarat topi kita yang menangkal unsur-unsur buruk serta mempersilakan unsur baik (energi) masuk dalam tubuh kita. Hikmah lebih lanjut bisa ditarik lagi yaitu bahwa rumah kediaman kita adalah alam semesta, lingkungan hidup kita tanpa mengutak-atikkan diri dalam suku, bangsa, dan agama tertentu. Komunikasi jagat yang semakin maju, intensif, dan merata membuat kita semakin berbagi rasa, baik dalam penderitaan, kemiskinan, pengangguran, inflasi, kebahagiaan, seni musik, seni tari, dan sebagainya yang mewujudkan suatu “komunitas kampung besar” atau yang dalam istilah Barbara Ward dikatakan global village. Kesadaran ini semakin menantang kita untuk berumah tangga bersama secara gotong royong dan saling bergantung penuh tanggung jawab bersama. Sehubungan dengan itu seorang pakar ekonomi Herman E. Daly mengingatkan bahaya paradikma ekonomi neoklasik yang berpusat pada pemacuan pertumbuhan ekonomi belaka: Di dalam situasi yang mempunyai keterbatasannya, memacu terus pertumbuhan ekonomi adalah sesuatu yang mustahil...sifat dan sikap manusia yang tidak hanya hidup dari roti saja, pertumbuhan yang demikian itu pasti tidak diinginkan sebelum itu menjadi mustahil. Sedangkan asumsi yang berlebih-lebihan dari sintesis pertumbuhan ekonomi Keynesian-neoklasik baik tersirat maupun secara eksplisit selalu mengandaikan pengembangan kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan yang tidak terbatas. Oleh karena itu, perlu dilayani dengan jalan berusaha dalam hal pengadaan produksi yang tidak terbatas: di dalam situasi ini kita tidak mungkin bersifat netral saja karena paradigma yang berlaku dalam masyarakat merupakan kunci penentu dalam memberi bentuk sistem sosial kita. Kesadaran bahwa kita hidup dalam “satu komunitas kampung besar” (global village) yang mau tidak mau harus saling bergotong royong karena saling ketergantungan, mendorong ordo ekonomi baru, ordo sosial baru yang perlu ditumbuhkan. Ordo ekonomi dan sosial baru tersebut kalau itu belum terlambat harus lahir dari situasi hidup kebanyakan rakyat yaitu dari berbagai penderitaan, berbagai ketidakberdayaan, baik dalam masyarakat pra-industri maupun masyarakat pasca industri, menuju pembebasannya yaitu berbagi kesejahteraan dan kebahagiaan. Dari kompasio (compassion), yaitu mengamalkan belas kasih menuju konselebrasi, perayaan bersama, mensyukuri kesejahteraan, kebahagiaan dan peradaban bersama. (bersambung)

Tidak ada komentar: