Rabu, 11 Desember 2013

Postkolonialisme

Tanggal 11-12-13 adalah hari yang cantik, saking indahnya mungkin menjadi sesuatu yang tak terkatakan dan mungkin juga tak tertuliskan. Upaya untuk menuliskan ini hanya upaya agar ada sesuatu yang bisa dipandang tidak lebih, jika menjadi insight atau refleksi hanya menjadi bonus, karena keindahan dan kecantikan itu sebenarnya tak tertuliskan, jikapun bisa tertuliskan sudah tereduksi. Setelah membaca poster di sebuah dinding FB bahwa tanggal 11-12-13 ada acara Diskusi dan Sarasehan dalam rangka Dies Antropologi UGM yang 49 dengan tema “Refleksi Jelang Setengah Abad” di Gedung Margono tidak ada salahnya menghadiri momen penting ini. Acara dibuka dengan pembicara Pak Farukh HT yang bertemakan “Postkolonialisme dalam Budaya Indonesia”. Saya mencoba menuliskan beberapa poin yang secara subyektif bagi saya penting dan ada kemungkinan serapan yang saya terima kurang lengkap, harap maklum karena keterbatasan penangkapan saya. Realisme dan empirisme adalah peninggalan kolonialisme, ruang pada kolonial yang dikaji di sastra sebagai “realita magis” sebagai respon terhadap kolonialisme muncul kajian tentang postkolonial. Respon pertama dibentuknya negara bangsa sebagai teritori sebagai pembebas tata ruang kolonial. Tata ruang negara bangsa akhirnya disadari hanya menjadi reproduksi kolonial dengan bukti negara bangsa masih terjajah dan tidak terbebaskan. Kemudian orang mencari ruang lain, ruang yang lebih luas dari nation ini atau mencari ruang yang lebih sempit. Salah satu ruang yang lebih luas adalah:internasional, global, dan ekspatriat. Dan contoh ruang yang lebih sempit adalah adalah lokalitas sebagai alternatif dari nation state. Sifat kolonialisme adalah “ruang yang menuliskan di atas ruang sebelumnya”. Ruang yang tadinya heterogen, lokal, dan terbatas kemudian dihegemoni menjadi satu kebijakan demi keuntungan kolonial sebagai superstruktur. Tingkatannyang lebih kecil adalah kota, home, dan tubuh. Kemudian tingkatan kecil ini berusaha sebagai pembebas dari hegemoni kolonial. Ben Anderson dalam bukunya “Imagine Community” menafsirkan bahwa nation adalah komunitas yang dibayangkan. Sementara yang disebut komunitas riil adalah komunitas tatap muka. Adakah komunitas tatap muka yang tidak termediasi? Ada komunitas yang utuh dan lengkap dalam dirinya. Kolonial menulis di atas komunitas. Ketika komunitas di “overwrite” apakah ada komunitas “langsung”,”murni”,dan “tidak termediasi”. Ada pepatah “deso mowo coro, negoro mowo toto” Negara bersifat mengatur dan desa di overwrite. Contohnya misalnya Dalang adalah “cultural blocker”, desa tadinya tidak mengenal apa itu istana, kerajaan, birokrasi mereka adalah komunitas tatap muka yang dilihat sehari-sehari adalah kehidupan seperti itu, kemudian ada wayang atau kethoprak yang ditontonkan di desa itu. Dalang membawa ide dari raja dan priyayi. Warga desa tidak pernah melihat langsung kehidupan para priyayi ini dan seperti wayang dan kethoprak itulah bayangan mereka tentang raja dan kaum priyayi. Desa itu bocor dan masuklah kolonisasi di desa mereka. Efek kolonial masuk ke desa melalui kota, raja, kethoprak dan wayang. Adakah ruang yang “membebaskan” dari hegemoni kolonial? Imajinasi kolonial “barat” mengenai “timur” menggiurkan namun dilain pihak menakutkan. Adabuku tulisan Habidin Kusno yang membicarakan tentang Joglo di Taman Mini. Joglo itu hanya bagian depan yang diangkat dan yang belakang ditinggal. Sisi yang belakang ini merupakan sisi gelap yang tidak dimengerti sampai sekarang karena yang dibawa ke mana-mana hanya sisi terang dan hanya yang bagian depan. Setelah Pak Farukh masih ada pembicara lain yakni P.M Laksono. Kali ini Pak Laksono melanjutkan ada yang sudah disampaikan Pak Farukh dengan tema “Respon-respon Budaya Masyarakat Kabupaten Maluku Tenggara terhadap Prakarsa Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat” Budaya kita sudah terkoneksi dengan dunia, dengan jagat yang ramai. Belum tentu masyarakat yang terisolir tidak terkoneksi dengan dunia luar. Menara handphone itu ada di tempat yang sunyi, sepi, dan ada yang terpencil namun membawa pesan dari dunia. Makan nasi itu awalnya budaya kolonial, tidak semua daerah di Indonesia makan nasi, namun oleh ORBA makan nasi ini dipaksakan di seluruh Indonesia sehingga akhirnya semua daerah cinta nasi. Apakah benar kemerdekaan kita sudah menyingkirkan budaya kolonialisme? Kebudayaan kita lihat sebagai struktur sosial, budaya bisa berubah. Perubahan budaya memerlukan waktu dan proses yang lama dan kebudayaan sebagai wacana kreatif. Antropologi itu belajar atau mempelajari orang hidup berkomunitas. Salah seorang antropolog Peter Cary melihat bahwa istilah bangsa muncul bukan pada masa 1908 namun sudah sejak jaman Diponegoro. Masa Diponegoro inilah awal istilah bangsa. Diponegoro menulis Babad Diponegoro selama 9 bulan dan Peter Cary mempelajari babad ini membutuhkan waktu 30 tahun. Indonesia ini adalah “ruang antara”. Dalam “ruang” ini tidak ada definisi final, yang bisa dilakukan adalah menceritakan pengalaman kita yang bersifat fenomenologis sehingga reflektif. Posisi historis komunitas adat apakah ada yang “asli”? Salah satu contoh misalnya tentang isu “energi terbarukan” ada yang menciptakan isu bahwa bahan bakar fosil akan habis dan ini menciptakan kepanikan dalam kepanikan ini untuk menciptakan energi terbarukan beberapa lembaga yang menanggani proyek ini lalu kebanjiran dana milyaran rupiah namun tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Contoh lain adalah isu tambang busang di Kalimantan yang katanya mengandung emas yang banyak sehingga banyak investor masuk dan komunitas adat di sana juga tidak bodoh, mereka juga ikut bermain dengan isu politis ini sehingga komunitas adat ikut “ngedan”. Di jaman edan yen ora ngedan ora keduman. Yang namanya Adat dimana-mana (musyawarah/damai) termasuk di Kei Maluku. Penyelesaian masalah antara mereka yang arif secara lokal adalah musyawarah, hal ini seperti Bhinnekha Tunggal Ika tapi cara Kei. Adat perkawinan di setiap komunitas seperti inti dan pokok karena disana ada resiprositas dan redistribusi harta. Namun Mas Kawin di Kei tergolong mahal yakni senilai 1 meriam. Sehingga mengakibatkan inflasi harta kawin, sebab pendapatan masyarakat tidak senilai meriam tersebut sehingga jika ada yang mengadakan hajatan pernikahan mengakibatkan kebangkrutan. Namun hal ini juga bisa diselesaikan secara adat yakni bisa hutang dulu untuk mas kawin dan dibayar kemudian sehingga biarpun mahal acara pernikahan tetap selalu bisa dilangsungkan. Dalam hal program pemberdayaan masyarakat banyak yang gagal dan hal ini disimpulkan bahwa itu karena permasalahan budaya. Hal ini karena program yang dijalankan tidak bersifat interkoneksi. Padahal dalam pemberdayaan masyarakat ini tidak bisa bersifat parsial dan harus holistik atau menyeluruh dengan menghubungkan sejarah masa lalu dengan ruang kekinian

Tidak ada komentar: