Jumat, 06 Desember 2013

Mencoba Memahami “100% Katolik 100% Indonesia” dan kadang ada yang menambahkan “ 100% Jawa”

Minggu, 8 April 1934 suasana peresmian Gereja Santo Yusup Bintaran Yogyakarta amat semarak. Dalam ruangan luas di belakang gereja, aula paroki yang sebagian dimanfaatkan untuk ruang sekolah dasar, hadirin berkumpul. Pidato sambutan disampaikan oleh Romo Provicaris –pimpinan misi serta dua orang wakil masyarakat Katholik Jawa, Raden Mas B. Djajaendra dan Raden Mas L. Jama. Keduanya bekas murid sekolah guru Muntilan yang saat itu bekerja di sekolah Bruderan Yogyakarta. Sayangnya, salah seorang pemrakarsa pembangunan yaitu Rama van Driessche tidak bisa hadir. Kondisi kesehatannya mengharuskan beliau tetap berbaring di rumah sakit dan tidak diizinkan dokter berangkat ke Bintaran. Tetapi sudah bisa dipastikan bahwa hati dan jiwanya menyertai kegembiraan umat dalam menyambut datangnya gereja baru milik mereka. Sebuah artikel dalam Majalah St. Claverbond melukiskan suasananya sebagai berikut: “Sesaat jarum melewati angka tujuh, waktu penantian berakhir. Yang Mulia Provicaris Rama A. Th. van Hoof, SJ langsung menuju depan. Diawali para pelayan misa (putera altar) serta diiringi dua rohaniawan terkemuka, Rama van Kalken, SJ –Regulier Ovreste Missi Jesuit di Jawa serta Rama G. Riestra, SJ –pastor kepala di Yogyakarta (massa itu). Prosesi keliling gereja segera dilakukan, dilengkapi dengan pemberkatan serta doa keselamatan bangunan”. “Seluruh tempat di bagian depan penuh sesak. Di atas tikar yang digelar memenuhi ruangan, masyarakat Katolik Jawa duduk berhimpit-himpitan. Di sebelah kiri duduk para lelaki dan anak-anaknya, sedang di sebelah kanan duduk para ibu dan anak perempuan mereka. Di belakang, di atas bangku, duduk para rama, bruder, frater, warga masyarakat Eropa dan orang-orang Jawa terkemuka” Bangunan gereja Santo Yusup di Kampung Bintaran dikenal sebagai gereja Jawa Pertama di Yogyakarta. Saat itu jumlah umat Katolik di Yogyakarta bertambah yang tidak mungkin tertampung lagi di sebuah gudang di timur Gereja Kidul Loji. Catatan di atas merupakan tulisan dalam salah satu bab “Berdirinya Gereja St. Yusup Bintaran” dalam buku “75 Tahun Bintaran Menjadi Garam dan Terang Dunia Retnaning Rat Nayakaning Bawana”. Masa sekitar tahun 1934 sampai Masa Kemerdekaan Republik Indonesia memang merupakan masa penting bagi peletakan dasar visi dan misi Gereja Bintaran. Tentu saja di masa ini tidak bisa lepas dari sosok Rama Soegijapranoto, SJ yang mempunyai andil besar dalam peletakan dasar itu.
Sama seperti Kotabaru, Bintaran merupakan kawasan hunian alternatif bagi orang Belanda yang menetap di wilayah Indonesia, berkembang setelah kawasan Loji Kecil tak lagi memadai. Dari segi fisik, kawasan yang bisa ditempuh dengan berjalan ke timur dari perempatan Gondomanan itu tak begitu pesat perkembangannya seperti Kotabaru. Salah satu faktornya adalah letaknya yang masih dekat dengan Loji Kecil sehingga beragam fasilitas masih bisa diakses dengan mudah. Sebelum berkembang menjadi pemukiman Indisch, Bintaran dikenal sebagai tempat berdirinya Ndalem Mandara Giri, kediaman Bendara Pangeran Haryo Bintoro, salah satu trah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Perkembangan Bintaran sebagai pemukiman Indische diperkirakan dimulai tahun 1930an ditandai pembangunan rumah, fasilitas seperti gereja dan bahkan penjara. Umumnya, orang Belanda yang bermukim di Bintaran adalah yang bekerja sebagai opsir dan pegawai pabrik gula. Selain Ndalem Mandara Giri ada bangunan yang berdekatan di seberang timur jalan yaitu Gedung Sasmitaloka Jenderal Soedirman yang berdiri tahun 1890 yang masa itu dimanfaatkan sebagai kediaman pejabat keuangan Puro Paku Alam VII bernama Wijnschenk. Bangunan itu juga sempat menjadi rumah dinas Jenderal Soedirman, kemudian kediaman Kompi Tukul setelah kemerdekaan. (Yunanto Wiji Utomo, 2007).
Dalam buku “Soegija Si Anak Betlehem van Java” yang ditulis oleh G. Budi Subanar, SJ., masa antara 1934-1945 adalah Masa Soegija berkiprah secara aktif sebagai Imam. Belum genap setahun di Kidulloji, Romo Soegijapranata pindah ke Pastoran Bintaran untuk mengepalai paroki pribumi. Gereja St. Yosep Bintaran digunakan untuk perayaan Ekaristi untuk pertama kali oleh Vikaris Apostolik Batavia, Mgr. A. Van Hoof pada tanggal 8 April 1934 dengan dihadiri 1800 umat pribumi. Jadi, sungguh-sungguh merupakan gereja yang baru untuk kaum Katolik pribumi. Di tempatnya yang baru, Romo Soegijapranata dibantu oleh Romo A. De Kuijper. Romo de Kuijper adalah orang baru untuk wilayah Yogyakarta, baru satu tahun bertugas di Yogyakarta, tepatnya di Kolese Ignatius Kotabaru, tempat pembinaan calon-calon imam Serikat Yesus. Berbagai pengalaman dan perjuangan para misionaris bersama umat pribumi, sebagaimana tertulis dalam majalah St. Claverbond, memperlihatkan bagaimana umat pribumi bertahan dalam situasinya dan menghayati berbagai keutamaan dalam keterbatasannya. Mereka menyelenggarakan praktik jimpitan, yaitu usaha menabung dalam bentuk innatura untuk berbagai kepentingan sosial. Satu hal lain yang juga mencolok adalah bagaimana Romo Soegijapranata memberi perhatian kepada kaum muda yang kreatif. Dalam sebuah tulisan di Swaratama, Romo Soegijapranata menyoroti dan memberi pujian pada kreativitas yang muncul dari suatu kelompok anak muda. Contoh yang diacu adalah sebuah kelompok yang secara kreatif mengumpulkan dana melalui usaha ekonomi yang mereka lakukan. Dari hasil penjualan produk yang mereka pasarkan, kelompok kemudian mewujudkan keprihatinannya dengan menggunakan dana yang mereka peroleh dari hasil kerja mereka. Kelompok anak-anak muda tersebut menyumbangkan hasilnya untuk pembelian bahan-bahan keperluan liturgi seperti taplak altar dan keperluan lain.Romo Soegijapranata tahu bahwa kelompok ini tidak membutuhkan pujian. Akan tetapi, dengan mengangkat kreativitas mereka, diharapkan dapat memberi motivasi bagi usaha-usaha pada berbagai kelompok lain. Karya Romo Soegijapranata tidak berhenti melulu sebagai pastor paroki untuk umat pribumi. Beberapa saat kemudian tugas lain menyusul. Mulai tahun 1935, Romo Soegija kembali terlibat dengan penerbitan majalah Swaratama. Saat itu, Romo Soegijapranata diangkat menjabat kepala redaktur majalah. Sejak itu, untuk memudahkan urusan kantor, redaksi dipindahkan dari Muntilan ke Bintaran, Yogyakarta. Sesekali Romo Soegijapranata masih menyempatkan diri menulis karangan. Dengan tugas barunya di Swaratama ini berarti bahwa Romo Soegija tidak melepaskan diri dari dunia tulis-menulis yang sudah ditekuninya sejak 1926.
Rama Y.B. Mangunwijaya,Pr dalam bukunya “Gereja Diaspora” juga menyoroti kinerja Rama Soegijapranata pada masa itu, khususnya masa pasca kemerdekaan RI. Kemudian “zaman normal” kembali tiba, dari sistem Gereja/paroki ala Noord-Brabant dan Limburg dipulihkan. Kembali para biarawan dan biarawatilah yang mendominasi seluruh medan perutusan gereja. Modifikasi di sana-sini tentulah diusahakan , tetapi tanpa meninggalkan pola lama ketika Jepang belum mengobrak-abrik gereja. Dengan pusat-pusat seperti tempo dulu: kolese dan biara suster. Ibarat rumah Joglo Jawa yang sudah diadaptasi, dimodifikasi, dimodernisasi, direnovasi, ditambahi macam-macam bangunan bahkan parabola, tetapi polanya tetap rumah joglo. Hanya Uskup A. Soegijapranata yang arif sadar akan zaman yang serba baru karena beliaulah yang langsung menghadapi ujian paling berat di zaman Jepang dan Revolusi. Mati-matian beliau berusaha agar Gereja Katolik di Indonesia jangan kembali menjadi Gereja kolonial berekspresi barat. Namun, sang Waktu dan Maut sudah tidak banyak memberi kesempatan bagi beliau. Anugerah dan hiburan terbesar yang masih beliau terima dari Tuhan ialah kehormatan terpanggil untuk ikut Sidang Akbar yang amat historis dan hanya terjadi sekali dalam sekian abad, Konsili Vatikan II.
Sumber: -75 Tahun Bintaran Menjadi Garam dan Terang Dunia Retnaning Rat Nayakaning Bawana. Kenangan Tahun Syukur Intan (1934-2009) (Panitia Perayaan Syukur Intan, Yogyakarta: 2010). -G. Budi Subanar SJ. “Soegija Si Anak Betlehem Van Java. Biografi Mgr. Albertus Soegijapranata,SJ.” Yogyakarta, Kanisius 2003. -Y.B. Mangunwijaya, Pr. “Gereja Diaspora” Yogyakarta, Kanisius 1999. -Yunanto Wiji Utomo. “Bintaran, Dari Kediaman Pangeran Bintoro ke Kawasan Indisch” Copyright©2007 YogYes.COM.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Mbok dikasih alinea

Septa Agung Kurniawan mengatakan...

Upload wis suwi lali le ngedit