Senin, 09 Desember 2013

Spiritualitas St. Maria dan St. Yusup

Minggu sore kemarin sewaktu ikut misa, aku melihat kerangka gua natal di sebelah kiri depan sudah mulai terpasang. Entah mengapa dengan melihat kerangka gua natal itu mengingatkanku akan peristiwa beberapa tahun silam ketika Mudika Bramin dan Petrus ditunjuk untuk membuat gua natal. Waktu itu kami mengkonsep gua dengan kertas semen dan di samping gua kami desain ada sungainya atau air yang mengalir. Kebetulan ada teman yang waterpump-nya nganggur jadi selama masa natal bisa kita pinjam. Hampir satu bulan penuh kami mengerjakan gua itu siang dan malam. Karena masih muda dan idealis dengan beberapa konseptor akhirnya membuat penyelesaian gua berjalan lambat karena bongkar pasang kertas semen yang kurang sesuai. Siangnya ada yang nyicil memasang kertas semen membentuk gua versi mereka malamnya sama teman yang kurang sesuai dibongkar lagi, akhirnya untuk mempermudah pengerjaan yang mengkonsep biarlah satu orang yang lain membantu saja. Waktu kurang satu minggu dari target penyelesaian pengerjaan baru selesai 70% kira-kira sehingga malam harus lembur. Nah di proses kerja lembur ini peristiwa yang terlintas dalam misa kemarin sore itu terlintas lagi. Dulu ketika Koster Bintaran masih dijabat Mas Darman (Sekarang sudah meninggal) kami masih sering membantu memberesi alat-alat khususnya sehabis EKM, sehingga alat-alat musik dan sound misalnya harus segera dibereskan agar besok paginya bisa dipakai misa pagi dengan lancar dan bersih. Nah kebetulan waktu itu sore hari tinggal aku dan Mas Darman yang terakhir mau menutup pintu sakristi. Sebelum menutup pintu Mas Darman memberi tahu,” Kene tak andani, kae nang balkon mburi ono suster lagi sembahyang”. Aku yang tak melihat apapun hanya komentar,”Ah endi, raono, aku ra weruh.” “Kae lho lagi jengkeng, mesti tiap malam di sana.” Aku yang tetap tidak melihat hanya bilang,”Ah, ra weruh, njenengan thok wae le weruh,”. Lalu kami menutup pintu sakristi. Kembali lagi ke waktu lembur malam mengerjakan gua. Karena saya juga merasa bertanggung jawab kurang satu minggu gua natal masih belum selesai akhirnya kami tiap malam harus lembur. Malam itu kira-kira pukul 2.00 pagi, aku masih menstaples kertas semen yang sudah dicat hitam ke dalam kerangka bambu agar berbentuk menyerupai batu, teman-teman sudah kecapekan sehingga mereka beberapa tidur di ruang UKS. Karena kurasa kurang sedikit lagi dan wujud gua sudah mulai tampak maka kuselesaikan sendiri menstaples sendirian. Suasana hening, lalu lambat laun terdengar suara thok-thok-thok seperti orang memukuli kayu pake palu. Tadinya tidak kuperhatikan karena masih terbawa suasana ketika bersama teman bekerja ada yang memalu paku, ada yang menggergaji suara ramai, lalu ketika ada suara thok-thok-thok kukira ada teman yang masih memalu paku. Baru kusadari kemudian setelah sadar bahwa temanku semua sudah tidur di ruang UKS dan suara itu semakin mendekat, kali ini suara thok-thok tepat ada di belakangku di deretan bangku paling depan. Tadinya aku tidak berpikir apa-apa, tapi gara-gara ingat yang diceritakan Mas Darman beberapa waktu yang lalu, aku jadi merinding dan lari meninggalkan staples menuju tempat di mana teman-temanku sudah ngorok di ruang UKS dan bergabung pura-pura ngorok bersama mereka. Terlintas peristiwa itu aku hanya ketawa kecil dalam hati setelah melihat kerangka gua natal di Misa kemarin sore. Namun andaikan yang diceritakan Mas Darman dulu benar, tentu saja pemaknaanku sekarang berbeda, ketika suara thok-thok-thok itu mendekat tentu saja ada pesan yang ingin disampaikan kepadaku dengan caranya. Dan kira-kira apa pesan itu?
Gerakan Wanita di Bintaran. Setelah kubuka-buka lagi sejarah Bintaran ternyata memang gerakan perempuan di Bintaran juga sudah tua. Dalam buku “Kenangan Tahun Syukur Intan” pada tahun 1937 Mudo Wanita Katholik (MWK) mengadakan kegiatan di “kamar idjoe” Patoran Bintaran berupa kursus ketrampilan seperti menyulam, membuat corsage,merangkai bunga dan berbagai kegiataan lainnya. Masa ketika Rama Soegijapranata,SJ masih di Kidulloji sebelum di Bintaran, di kanan-kiri gereja Kidulloji terdapat kompleks biara Bruder FIC dan Suster OSF, Fransiskanes dari Heythusen, masing-masing dengan sekolah. Di depan Pastoran Kidulloji, melintas jalan- namanya Kampemenstraat. Pelayanan pendidikan untuk kaum pribumi juga berkembang. Semula hanya ada di tiga tempat, yaitu satu untuk anak-anak Eropa di susteran Yogyakarta dan dua untuk anak-anak pribumi di Mendut dan Muntilan dengan beberapa ratus siswa. Dalam komunitas Serikat Yesus di pastoran Kidulloji, sampai menjelang kedatangan Romo Soegijapranata, ada lima Yesuit yang tinggal di sana. Komunitas tersebut dipimpin oleh Romo G. Rietra yang mengemban tugas pelayanan sakramental dan pelayanan pastoral lainnya seperti memimpin perayaan Ekaristi, menerimakan sakramen pengampunan dosa, mengajar agama, berkhotbah, menjadi pendamping kelompok generasi muda, kelompok militer, kelompok suster-suster CB, dan OSF serta bruder-bruder FIC dan beberapa organisasi lainnya. (Subanar, 2003:102). Sekolah Mendut ini punya kiprah yang luar biasa dalam emansipasi perempuan Katolik seperti yang ditulis oleh Iswanti dalam bukunya berjudul “Jalan Emansipasi Perempuan Katolik Pionir dari Mendut 1908-1943” yang diterbitkan kanisius 2008. Tampak dari keterangan di atas bahwa gerakan emansipasi wanita khususnya di Yogyakarta yang menyentuh Bintaran dan sekitarnya tidak bisa lepas dari peran pendidikan. Pendidikan dan sekolah terbukti memiliki peran yang penting dalam sebuah gerakan emansipasi perempuan.
Spiritualitas St. Maria dan St.Yusup. Dalam film “The nativity story” dikisahkan bagaimana perjalanan St.Yusup dan St. Maria. Dalam film itu dikisahkan bagaimana Maria dan Yusup dijodohkan oleh orangtua mereka, sisi manusiawi dan pertimbangan manusia juga ditampilkan dalam film ini, bagaimana Maria yang masih sangat muda dan Yusup yang sudah cukup berumur harus bersama. Masa-masa Maria yang masih senang bermain dengan teman sebayanya seolah direnggut dengan peran yang harus dijalaninya bukan menurut kehendaknya. Jika bukan Malaikat Gabriel yang memberikan wahyu, mungkin keputusan mereka lain. Bagaimana iman mereka sangat diuji dengan menerima sabda dan meninggalkan bahkan meniadakan ego mereka untuk karya penyelamatan. Natal menjadi bukti kesetiaan iman mereka.

Tidak ada komentar: