Kamis, 09 Januari 2014

Menjadikan Abad ke-21 sebagai Era Kepedulian Kosmik dan Pelestarian Lingkungan Hidup (Bagian 2)

V. “QUO VADIS” PERKEMBANGAN ORDO PEREKONOMIAN KITA? Jelasnya belas kasih bukan belas kasih, apabila belum bisa menyentuh medan kehidupan yang nyata. Soalnya lalu, apa dan bagaimana ordo ekonomi belas kasih itu? Mungkinkah atau mampukah kita di Indonesia mensublimasi ordo ekonomi Pancasila sehingga semakin dapat mengejawantahkan kemanusiaan kita dalam kreativitas Tuhan yang berbelas kasih? Kalau itu cita-cita kita, hal itu tidak mungkin tercapai tanpa melalui jalan paradoksal yang harus ditempuh untuk bisa menuju konselebrasi. Perayaan bersama tidak mungkin tanpa didahului dengan penderitaan. Implikasi-implikasi yang harus kita perhitungkan ialah bahwa seolah-olah di dalam ordo ekonomi yang berlaku dewasa ini, kita mau tidak mau sudah harus mengakui hukum atau dalil-dalilnya yang dimiliki. Dalam hal ini seolah-olah daya kekuatan manusia maupun alam untuk berproduksi, distribusi, konsumsi serta recycling daya kekuatannya dianggap sudah harus berjalan seperti mesin yang sudah diciptakan oleh ordo ekonomi yang berlaku dewasa ini. Di dalam situasi demikian “moral belas kasih” sepertinya sudah tidak mempunyai relevansinya lagi. “Moral belas kasih” memuat beberapa pokok sebagai berikut: a. Meningkatkan kepeduliaan terhadap masalah keadilan dan perdamaian di dalam masyarakat yang dilanda ketidakadilan; terhadap masalah pembelaan kehidupan dan penghidupan dalam masyarakat yang dilanda pembunuhan kehidupan dan penghidupan. b. Meningkatkan kepedulian melawan gaya hidup yang serba mewah di tengah lautan kemiskinan yang semakin meluas. c. Meningkatkan kepedulian terhadap masalah keseimbangan dalam tanah, pencemaran udara dan air maupun terganggunya dunia fauna dan flora. Meningkatkan kepedulian masyarakat biotik. Kepedulian “moral belas kasih” tersebut berarti mengganggu perputaran mesin ordo ekonomi yang berlaku dewasa ini, untuk berjalan mulus seperti biasanya. Benarkah ordo ekonomi tidak mempersoalkan apakah itu bermoral atau amoral? Lord Keynes (1883-1946), bapak ekonomi yang sampai kini masih sangat berpengaruh mengatakan, “Paling sedikit dalam jangka seratus tahun mendatang kita masih perlu meyakinkan diri kita sendiri maupun setiap orang bahwa kewajaran ( dalam berekonomi) itu kotor dan perbuatan kotor tersebut adalah jaminan-jaminan ekonomi (economic security) yang tetap menjadi dewa-dewa yang harus kita pertahankan untuk waktu yang lebih lama lagi.” Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau isu-isu moralitas keadilan dan “belas kasih” tidak dipelajari dalam kuliah-kuliah ekonomi. Sebaliknya, obsesi untuk mengejar laju pertumbuhan ekonomi untuk berusaha memiliki lebih banyak lagi merupakan tolok ukur kemajuan ekonomi. Ekonomi pertumbuhan tampaknya sudah menjadi agama baru dalam zaman modern ini. Hukum penawaran dan permintaan, hukum pasar bebaslah yang menjadi dewa penentu tanpa suatu intervensi. Apalagi telah diteguhkan dalam penandatanganan GATT/ Putaran Uruguay pada tahun 1995, dan beroperasi sebagai WTO sejak tahun 1995 dengan akibat tumbuhnya ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat. Pemecahan yang dialamatkan pada sistemnya saja tidak akan memecahkan permasalahannya. Keberanian untuk masuk ke keharmonisan ekosistem yang menyeluruh kiranya merupakan pemecahan krisis dunia dewasa ini sebagai akibat sistem atau ideo-logi ekonomi pertumbuhan. Hikmah semacam ini adalah perdamaian dan keutuhan ciptaan. Sekaligus menangkal preokupasi berlebihan pada kelompok kecil yang semakin maju dengan mengorbankan masyarakat luas yang semakin tertinggal. VI. SPIRITUAL BELAS KASIH DALAM PEMBANGUNAN PEDESAAN A. Pembangunan Pedesaan Berwawasan Lingkungan Perjalanan pertanian modern/ konvensional yang sarat agrokimia di seluruh dunia termasuk Indonesia, dalam kurun waktu lima puluh tahun ini ternyata telah membunuh bumi dan kaum tani. Hal ini diungkapkan dalam Konferensi Internasional Pertanian yang diadakan oleh PBB (FAO) di kota Den Bosch, Belanda, pada tahun 1991 sebagai persiapan KTT Bumi di Rio de Jane-iro, Brasilia,1992. Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Den Bosch yang menyuarakan “Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lestari” (Sustanable Agriculture and Rural Development SARD). Selanjutnya permasalahan-permasalahan pokok yang dibahas dalam KTT Bumi di Rio de Janerio 1992 yang disebut dalam Agenda 21 yang terkenal ialah: 1) Pemanasan bumi; (2) Perlindungan terhadap aneka ragam hayati (biodiversity) dan (3) Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lestari, berikut Pola Produksi dan Konsumsi Lestari. Yang penting ialah dalam KTT Bumi semua pihak berusaha mencari dasar etis moral dan spiritual dalam hubungan manusia, bumi, dan kegiatan ekonominya. Dengan lain kata, hubungan Tuhan, manusia, bumi, dan kegiatan ekonomi. Revolusi hijau dalam jangka pendek telah berhasil mengupayakan swasembada pangan melalui budidaya pertanian yang sarat agrokimia. Berwawasan lingkungan dengan pola produksi dan konsumsi lestari, dengan memberi perhatian pada aneka ragam hayati. Oleh Revolusi Hijau, benih-benih padi kaum tani telah banyak dipunahkan diganti IR (berasal dari IRRI- International Rice Research Institute- Los Blanos, Filipina ). Dari poligenes menjadi monogenes yang sangat riskan merusak lingkungan. Sekarang dikembalikan lagi ke poligenes yang melestarikan lingkungan. Kearifan para petani tradisional yang akrab dan bersahabat dengan alam perlu digali dan diteliti kembali (penggunaan pupuk kandang, pupuk hijau, pupuk kompos, varietas local, dan lain sebagainya). Tanpa mengurangi pentingnya penelitian ilmiah, alam sendiri menjadi guru yang bijak. B. Deklarasi Ganjuran dan Lahirnya Paguyuban Tani-Nelayan, Hari Pangan Sedunia (Sebuah Praksis Pembangunan Pertanian dan Pedesaan yang Berwawasan Lingkungan). Bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia tanggal 16 Oktober 1990 di Desa Ganjuran, Kabupaten Bantul, DIY, diselenggarakan seminar para petani se-Asia. Seminar tersebut mencetuskan Deklarasi Ganjuran dan sekaligus menandai kelahiran Paguyuban Tani yang dikemudian hari berkembang menjadi Paguyuban Tani-Nelayan Hari Pangan Sedunia, meskipun masih minoritas, tetapi berkembang di seluruh pelosok Nusantara. 1. Amanat Pokok Deklarasi Ganjuran Mengajak masyarakat untuk membangun pertanian dan pedesaan yang lestari, yaitu yang berwawasan lingkungan (ecologically sound), murah secara ekonomi sehingga tergapai (economically feasible), sesuai dengan/berakar dalam kebudayaan setempat (culturally adapted/rooted) dan berkeadilan sosial (socially just). Untuk siapa saja dan apa saja (manusiawi dan kosmik) Singkatnya menjadi berkat bagi siapa saja dan apa saja demi keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. 2. Misi dan Program a. Pola produksi lestari (sustainable pattern of production) Meliputi pengendalian hama penyakit secara alami, pengolahan tanah dan air, daur ulang (menjaga keseimbangan kandungan-kandungan nutrisi dalam tanah/lahan. Sehingga unsur-unsur yang diserap tanaman seimbang dengan unsur-unsur yang dikembalikan ke tanah). Penggunaan benih asli kaum tani/lokal dan sebagainya. b. Pola konsumsi lestari (sustainable pattern of consumtion) Pola produksi lestari merupakan dasar pola konsumsi lestari. Mengubah gaya hidup yang merusak lingkungan/alam menjadi gaya hidup melestarikan/bersahabat dengan lingkungan/alam, saling menjadi berkat dengan siapa saja dan apa saja. Dengan demikian, semakin berkepribadian. c. Menentang Konsumerisme Tidak salah jika seseorang mau memperbaiki kehidupannya, tetapi akan salah apabila mencari perbaikan dan peningkatan hidup hanya pada apa yang dimiliki (to have more), dan bukan pada apa yang semakin menemukan jati dirinya (to be more) dalam arti berkiblat pada pencarian kebenaran, keindahan dan kebaikan, dengan semangat kegotongroyongan dalam persekutuan dengan orang lain, demi peningkatan taraf hidup. d. Pertanian Organik, Pertanian Masa Depan Pertanian organik merupakan pertanian masa depan, kini semakin luas berkembang di seluruh muka bumi ini, bukan hanya demi hasil bumi dan makanan bermutu, sehat dan aman, tetapi juga demi keselamatan manusia dan masyarakatnya termasuk alam lingkungan. Pelestarian alam kini semakin disadari sebagai kewajiban moral. Gerakan pertanian lestari/organik bukan semata-mata gerakan sosial ekonomi, tetapi sekaligus gerakan moral. “Malapetaka yang besar dalam sejarah umat manusia “, demikian Wandel Berry dalam bukunya,” A Contiunous Harmony”, karena manusia mengasingkan kesucian dari dunia, mengasingkan Tuhan dari ciptaan-Nya dengan hati dan pikirannya manusia bisa berdoa dengan khusuknya ke surga, tetapi seraya tangannya membunuh bumi dan sesamanya”. VII. HAK DESA DALAM CAKUPAN OTONOMINYA a. Hak masyarakat desa untuk mengembangkan budaya dan adat istiadat setempat, berseberangan dengan globalisasi kebudayaan. b. Hak masyarakat desa dalam pemeliharaan kesehatan secara tradisional termasuk obat-obatan tradisional, berseberangan dengan mafia bisnis kesehatan dan obat-obatan. Pangkal kesehatan bukan hanya sekedar tersedianya obat-obatan, entah itu tradisional maupun kpnvensional tetapi terutama tersedianya makanan sehat, bebas pencemaran. Maka, para konsumen perlu bersahabat dengan para produsen lestari/organik. Konkretnya bersahabat dengan petani organik. c. Hak masyarakat desa untuk mengembangkan dan memelihara benihnya sendiri (benih kaum tani) sebagai sumber aneka ragam hayati, berseberangan dengan mafia bisnis benih trans-nasional yang telah membajak dan memusnahkan benih kaum tani). Mafia industri benih tersebut menikmati monopoli dan pemerintah Orde Baru dalam praktik revolusi hijaunya yang selanjutnya diperkuat secara hukum oleh WTO, dengan pematenannya. Kita harus menyadari bahwa barangsiapa menguasai benih, menguasai penghidupan. Oleh karena itu, kembalikan kedaulatan benih kaum tani demi kedaulatan negeri ini. Sebagai contoh dalam rangka ekopolitik, sewajarnya di-perdes-kan penolakan desa terhadap masuknya benih-benih transgenik karena sangat riskan dampaknya bagi pelestarian masyarakat desa. d. Untuk masyarakat nelayan, hal itu berarti pelestarian dan konservasi sumber daya ikan. Termasuk konservasi habitatnya: terumbu karang, hutan bakau, dan muara-muara sungai. e. Kembalinya peranan kaum perempuan (ecofemenisme) f. Semuanya itu menghadapi globalisasi tata ekonomi yang berlaku yang tidak lain merupakan globalisasi kekuasaan dan kebudayaan, semua itu dalam rangka menghadapi globalisasi. MASYARAKAT DESA HARUS PRO-AKTIF DALAM MEWUJUDKAN OTONOMI DESA TERMASUK PELAKSANAAN EKO-POLITIK (POLITIK PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP) Masyarakat desa/ tani jangan hanya menunggu petunjuk pelaksanaan (PP) dari atas (pemerintah daerah/ kabupaten) yang tidak mustahil justru menggerogoti otonomi desa, tetapi proaktif membela dan menegakkan hak-hak desa termasuk pelaksanaan eko-politik dalam cakupan otonominya. Dalam hal ini Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dengan membuat peraturan desa (perdes) dengan segala cakupannya. Misalnya perdes yang proaktif mendukung, melindungi, dan mengembangkan benih lokal dan secara tegas menentang benih transgenik dan makanan hasil rekayasa genetika walaupun hal tersebut terwujud dalam bentuk bantuan-bantuan. Peraga-peraga dan lembaga-lembaga pecinta kaum tani dengan bekerja sama dengan tokoh-tokoh politik dan hukum hendaknya bisa bersungguh-sungguh membantu implementasi otonomi desa tersebut yang betul-betul akan membawa ke paradigma baru. Otonomi desa tersebut ditopang dengan IGO (Inlandsche Gemeente Ordonantie) tahun 1906 Staats Blad nomor 83, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 93 s/d 111 selanjutnya diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, lihat Pasal 209 s/d 216. Akan tetapi, harus disadari bahwa otonomi desa bukanlah pemberian pemerintah, baik pemerintah Hindia Belanda maupun pemerintah Republik Indonesia, tetapi merupakan hak desa yang otentik, hak asasi desa. VIII. MENYUSUTNYA KELOMPOK TANI SEBAGAI SUATU KEPRIHATINAN Jumlah kaum tani di mana-mana semakin menyusut. Kaum muda tani tak tertarik lagi untuk tinggal di pedesaan. Keprihatinan tersebut juga diungkapkan dalam Konggres Pertanian Organik di Victoria, Vancouver. Maka, perlu digalang kesetiakawanan dan jaringan kerja antar kaum muda di pedesaan secara lokal, regional, dan global bertumpu pada visi dan misi pembangunan pertanian dan pedesaan lestari. Langkah lainnya yang perlu ditempuh terutama: a. Mengintensifkan kemitraan usaha tani antar orang tua dan kaum muda (parent-youth parentship). Demi kemandirian kaum muda di masa mendatang. b. Mengakui dan menghormati hak milik kaum muda sejak dini (youth ownership) termasuk hak asasi anak muda, sehingga tumbuh kegairahan kerja dan menabung modal sejak awal. c. Mengembangkan klub-klup (paguyuban) kaum muda/mudi tani/ nelayan yang menggairahkan dan menggembirakan. d. Membatinkan dan mengamalkan visi dan misi pelestarian lingkungan. Sebuah program penyadaran yang sejak dini harus sudah ditumbuhkan. e. Bagaimana peranan sekolah,lembaga-lembaga religius/kelompok dalam menghadapi keprihatinan ini? IX. PENGEMBANGAN SPIRITUALITAS PAGUYUBAN Mencari gaya hidup yang melestarikan lingkungan hidup sebagai gerakan moral dan perwujudan kekuatan moral. a. Kita tidak menolak iptek modern, tetapi iptek modern yang merusak lingkungan hidup harus ditolak. (Karena merusak lingkungan hidup), sedangkan melestarikan lingkungan hidup merupakan kewajiban moral. b. Melestarikan lingkungan hidup secara sederhana dan kongkret sebaiknya dimulai di meja makan, dimulai dari anak-anak dalam keluarga, komunitas, dan lain sebagainya. Tubuh kita termasuk lingkungan hidup (ekosistem). Karena itu, jangan mencemari tubuh kita dengan makanan-makanan tercemar. c. Menghayati spiritualitas: Penciptaan, berkat, dan belas kasih. d. Motto Keluarga Besar Paguyuban Tani Nelayan Hari Pangan Sedunia Berpandangan global, bertindak secara lokal. (Think globally, act locally). Berpandangan global, betanam yang lokal, makan yang lokal dan organik (think globally, plant locally, eat locally and organically). Untuk menjadi berkat bagi siapa saja dan apa saja (to become a blessing for everyone and everything). X. MENEMUKAN VISI KEBUDAYAAN DALAM MISI MEMBANGUN PERTANIAN DAN PEDESAAN LESTARI a. Mencari Makna tentang Kebudayaan Banyak definisi mengenai kebudayaan, itu bukan soal kita. Yang penting bagi kita ialah melihat kebudayaan sebagai suatu ekspresi dari dinamika kreatif yang dilahirkan oleh sumbernya, yaitu manusia sendiri. Karena hanya manusia yang menciptakan kebudayaannya. Tetapi, kenyataannya kemampuan untuk mencipta itu seolah-olah terpenjara, kalau boleh dikatakan demikian, di dalam struktur-struktur yang multidimensional (baik di dalam maupun di luar manusia) yang berfungsi sebagai media untuk mengekspresikan dirinya. Maka terjadilah ketegangan antara dinamika kreatif tersebut dengan struktur yang ada. Ketegangan antara dinamika kreatif tersebut menunjukkan, di satu pihak kebesarannya. Gagasan tersebut di atas membawa kita untuk mengatakan sesuatu tentang dinamika kultural/ kebudayaan dari Tuhan yang menjadi sumber dan asal kemampuan kreatif manusia. Kultur atau kebudayaan pada dasarnya merupakan manifestasi kemampuan kreatif Tuhan yang terwujud di dalam bentuk dan peristiwa-peristiwa aktual di dunia ini. Dan, karena di dalam Tuhan tiada keterbatasan, penulis Kisah Penciptaan dunia mengatakan setiap karya Penciptaan Tuhan sebagai baik. Sehubungan dengan itu perlu digali spiritualitas yang terkandung oleh kebudayaan dalam konteks daerah atas suku tertentu dalam terang iman Tuhan Pencipta karena Tuhan Pencipta adalah asal dan sumber budaya manusia. Tugas kaum beriman adalah membuat penegasan kultural yang sebaiknya diupayakan dengan umat setempat yang mungkin saja berbeda agama dan kepercayaan. Hal ini justru akan membuka hati dan budi kita agar dimungkinkan masuknya udara segar dan terang baru dalam kawasan iman masing-masing. Ada dua macam pertanggungjawaban yang terkait dalam tugas penegasan kultural ini. Di satu pihak, itu merupakan pertyanggungjawaban yang negatif, yaitu meneliti dan mengamati sejauh mana kasih Allah kepada manusia dan lingkungan masyarakatnya itu dikorupsikan dan didistorsikan dengan kebudayaan tertentu –suatu kenyataan sejarah yang menyebabkan masyarakat banyak menderita. Di lain pihak, kalau kita percaya pada dasarnya ciptaan Tuhan itu baik, kita tidak boleh hanya berhenti pada pertanggungjawaban negatif saja. Di dalam pertanggungjawaban positif dimaksudkan agar kita juga berupaya mengamati dan mendalami sejauh mana kasih Allah itu terefleksikan atau terekspresikan dalam hidup dan karya-karya dari mereka yang hidup dalam konteks kultural yang berbeda-beda. Barangkali ini merupakan salah satu jalan bagi kita untuk sedikit atau banyak dapat memahami atau mendalami misteri dinamika kultural Tuhan Yang Penuh Kasih dan Bijaksana. Terlibat dan berkarya dalam ciptaan-Nya. b. Praksis dalam Kebudayaan yang Ada. Kawasan Nusantara terdiri dari banyak suku. Bagaimana hubungan kebudayaan yang partikular dan yang nasional/ universal? Dan, bagaimana hubungan antar kebudayaan yang partikular sendiri? Dari pengalaman yang ada, praksis tersebut diwujudkan dalam musyawarah atau dialog antar kebudayaan. Dengan cara saling menjadi berkat antar kelompok kebudayaan. Misalnya tukar pengalaman dalam usaha membangun pertanian dan pedesaan lestari (pola produksi lestari termasuk pengadaan dan pengembangan benih-benih lokal, pola konsumsi lestari,makan sesuai dengan musimnya dan lain-lain). Dalam konteks pengembangan kebudayaan, pada umumnya penegasan budaya sekaligus penegasan iman (cultural discerenment, spiritual discerenment), baik itu yang negatif maupun yang positif sangat diharapkan untuk diupayakan melalui dialog atau musyawarah. Mana yang budaya kutuk mana yang budaya berkat, mana yang budaya kematian mana yang budaya kehidupan. Dengan demikian, akan saling menjadi berkat dan saling menemukan kebaikan dan kebenaran semakin utuh. XI. PENUTUP Nilai budaya rakyat setempat pada umumnya mempunyai muatan religius yang dalam yang menandaskan hubungan integral antara Yang Ilahi, yang manusiawi, dan alam semesta, sehingga setiap aspek kehidupan mengandaikan adanya landasan-landasan religius tertentu. Karena seluruh alam semesta ini pada dasarnya merupakan pewahyuan Sang Pencipta. Sebenarnya jikalau kita benar-benar mendalami keimanan agama-agama yang ada di dunia ini baik Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Tao-Konfusius maupun agama-agama asli, kita akan menemukan pewahyuan Sang Pencipta yang selalu mencipta dan bersabda dan tiada sesuatu yang diciptakan tanpa Sang Sabda. Dengan demikian, kehadiran Tuhan yang slalu beserta kita sungguh nyata dan terasa baik dalam konteks pribadi, sosial maupun kosmik. Ini bukan pandangan panteisme yang menganggap “semua adalah Tuhan dan Tuhan adalah semua”, tetapi panteisme yang menyadari “Tuhan ada di dalam semua, dan semua ada dalam Tuhan”. Sabda yang demikian belas kasih-Nya mencipta dan menyabda segala ciptaan-Nya diungkapkan begitu indah dalam serat Centini sebagai berikut: Adepna mikanira iki Marang ing sang katon Hiya iku kabeh Rarahine Angalingi rahining dumadi Rarahi kang luwih Kang katon sawegung (Hadapkanlah mukamu Pada apa saja yang tampak Semua itu menyatakan wajah-Nya Tersembunyi dalam setiap wajah Yang tampak adalah wajah-Nya Yang Maha Agung) Kenyataan dewasa ini wajah-wajah Tuhan di alam semesta banyak yang rusak. Untuk itu, sesungguhnya kita membutuhkan laki-laki dan perempuan yang betul-betul berjiwa religius dalam menghadapi seluruh lingkungan hidup dan alam semesta, mereka adalah orang-orang yang rela berprasetya menjawab belas kasih Allah secara luas dan mendalam sampai pada seluruh alam ciptaan-Nya. Itu berarti mencintai, menghormati, menjadi pramugari berkat bagi siapa saja dan apa saja demi keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Tulisan di atas merupakan salah satu bagian dalam buku yang berjudul “ Zoet Hart van Jesus Wees Mijne Liefde (Hati Yesus yang Manis, Jadikanlah Kasih-Mu Kasihku)” Sebuah Biografi Rm. Gregorius Utomo, Pr. Kanisius: 2013 Penulis : Martin Teiseran.

Tidak ada komentar: