Kamis, 05 Agustus 2010

Menggugah Kasih dengan Lelaku Patirtan


Entah kebetulan atau tidak. Ketika aku mencari literatur untuk menjawab kegelisahanku dan pertanyaanku sendiri yaitu mengapa banyak orang melakukan laku spiritual dengan ritual tertentu? aku belum tahu jawabnya. Yang kuamati dan kusaksikan sendiri adalah di sekitarku di Jogja khususnya kelihatannya sudah ada dan banyak tempat ibadah dari berbagai agama dan bahkan beberapa pengikut aliran kebatinan Jawa. Meskipun aku juga menjumpai orang-orang yang tidak peduli atau mungkin sudah jenuh dengan lembaga-lembaga agama dan menyebut diri mereka agnostic. Aku baru tahu sebutan agnostic awal tahun 2010 ini, sebelumnya aku tidak pernah dengar istilah ini. Dari situ aku melihat ternyata masing-masing manusia menjalani hubungan vertikal dengan Tuhannya dengan keyakinan dan kenyamanan cara mereka masing-masing. Meskipun kadang ada benturan dan gesekan dalam pergaulan di lingkungan masyarakat yang mengklaim kepercayaannya yang paling benar. Sehingga memaksakan dirinya untuk dituruti oleh orang lain. Menurut pengalamanku sendiri, aku juga pernah berbuat begitu dan setelah sedikit belajar tentang kedewasaan sikap hal seperti itu seperti “seorang anak yang merajuk” ini kata Anthony de Mello dalam bukunya “Jalan Menuju Tuhan”.
Tentang keyakinanku sendiri, aku menulis pengalamanku sendiri bukannya untuk narsis tapi model penulisanku memang seperti ini karena dengan menulis seperti ini akan memudahkanku untuk menuangkan apa yang ada di pikiranku, meskipun bagi orang lain mungkin akan dinilai narsis, kemaki, mbagusi, gumagah, sesumbar, atau apapun mungkin itu penilaian mereka. Tapi paling enak menulis adalah dari pengalaman yang dialami sendiri dan dilihat sendiri. Sebenarnya dengan membaca literature atau melihat film maupun televisi itu juga akan menambah pengetahuan dan pengalaman kita tapi bagiku rasanya jika tidak mengalami sendiri rasanya kurang mantap.
Kembali ke masalah laku spiritual tadi, menurutku itu juga tergantung bakat dan pengalaman serta kematangan seseorang. Ada orang yang sejak kecil bisa melihat hal-hal gaib atau makhluk gaib namun ada yang tidak. Ada yang mendapatkannya setelah peristiwa tertentu ada yang karena ngelmu dan lain-lain. Aku sendiri tidak bakat dan tidak bisa melihat hal-hal seperti itu tapi beberapa temanku bisa. Ketertarikan awalku tentang hal-hal spiritual adalah karena pertanyaan yang tidak bisa kujawab sendiri? Mengapa ketika berjalan di jalan tertentu kadang aku merinding sendiri atau ketika aku berjalan di suatu tempat ada bau seperti ketela bakar dan bau wangi bunga kanthil atau melati. Jika bunga mungkin di situ memang ada bunga yang sedang mekar namun bau ketela bakar itu tidak mungkin bunga. Hal lain lagi aku juga sering bau dupa di ruangan tertentu dan bau asap rokok tanpa di situ kulihat ada asap mengepul.
Pengenalan pertama dengan dunia gaib adalah ketika aku meditasi dengan beberapa murid Paguyuban Tritunggal, ketika aku memejamkan mata setelah latihan pernapasan dan meditasi tiba-tiba ada bau harum bunga dan rasanya ada sesuatu yang memberatiku. Setelah meditasi selesai, guruku bilang ada perempuan berbaju putih dan pocongan yang menggangguku tapi sudah diusir oleh guruku. Pengalaman inilah yang membuatku penasaran tentang dunia ini dan aku mencoba memahami. Akhirnya aku diberi saran oleh seorang Romo untuk belajar meditasi dengan tradisi agamaku. Aku mempelajari bukunya John Main, OSB kemudian membaca Sadhana. Secara teori aku sedikit paham tapi dalam prakteknya betapa sulitnya menjalankan disiplin ini ternyata adanya roh-roh halus atau mahkluk gaib bukan tujuan meditasi memang akan dijumpai hal-hal seperti itu tapi itu adalah ujian untuk menyerahkan diri total kepada Tuhan. Lalu sekarang aku berdoa dulu sebelum meditasi. Ritual yang kujalani masih menggunakan metodenya John Main, OSB.
Namun ketika aku melakukan ziarah ke makam Romo Sanjaya, aku menemui ada buku yang menarik kelihatannya dibaca. Kebetulan pula uang di sakuku pas untuk membeli buku itu buku itu berjudul “Kisah Peri Menari di Atas Sendang,Sebuah Refleksi Laku Spiritual”, karangan Daniel Tatag. Setelah kubaca isinya sangat menyentuh karena hampir sama dengan beberapa pengalamanku tentang laku spiritual yang kualami. Beberapa orang Jawa sejak dulu memang banyak yang melakukan lelaku patirtan ini. Air memang melambangkan pembersihan dan penyucian. Aku lalu ingin melihat kesembilan sendang itu. Mungkin juga hal-hal spiritual yang melingkupinya, mungkin akan menjadi menarik lelaku itu. Sebelum ke sana mungkin pengalaman lelaku sendang dengan teman-teman “Sadhana Bintaran” ini merupakan salah satu kisah yang menarik bagiku.
Sadhana yang berarti ‘jalan’ yang oleh Anthony de Mello diartikan sebagai ‘Jalan Menuju Tuhan’ merupakan pengalaman yang harus dialami sendiri. Pengalaman awal untuk menemukan Tuhan adalah melalui keheningan. Kemudian bagaimana mencapai keheningan adalah melalui meditasi. Teman-teman ‘Sadhana Bintaran’ mencoba belajar untuk mengenal keheningan melalui meditasi. Setiap selasa malam mereka berkumpul dan mempelajari Sadhana, meskipun setelah mempraktekkan meditasi ternyata sangat sulit untuk bisa hening apalagi mencapainya. Dengan semangat pantang menyerah dan tidak putus asa mereka mencoba untuk terus belajar dan berupaya bisa mengenal keheningan itu.
“Outdoor meditation” adalah kegiatan yang dilakukan sebulan sekali oleh komunitas ini. Tempat-tempat yang sering menjadi tujuan dari kegiatan “outdoor meditation” antara lain Gua Maria Bintaran, Sendang Jatiningsih, Sendang Sriningsih, Gua Kerep Ambarawa, Gunung Sempu, Patirtan Ganjuran, dan beberapa tempat yang lain. ‘Outdoor meditation’ ini juga mempunyai tujuan untuk mengenal Tuhan dalam segala. Kadang Tuhan menyampaikan pesan untuk manusia melalui alam atau tanda-tanda alam. Setelah meditasipun, biasanya satu orang dengan yang lainnya mendapat pendengaran suara, atau penangkapan rasa yang berbeda satu dengan yang lain. Sungguh unik cara Tuhan menyentuh hati masing-masing manusia dan tidak ada yang sama. Mungkin kisah satu ini bisa menjadi contoh:
Pada tanggal 1 Agustus 2010 teman-teman Sadhana Bintaran merencanakan akan pergi ke Candi Ganjuran dengan naik sepeda. Rencana berangkat dari Gereja Bintaran pukul 7.00 namun karena ada yang terlambat sehingga berangkat pukul 7.30 WIB. Yang ikut bersepeda ada 5 orang yaitu: Johanes, Doni, Joshua, Neri, dan saya. Di jalan kami bersepeda satu-satu dengan jarak antara 3-10 m satu dengan yang lain. Ketika sampai di depan Hotel Winotosastro, dompetnya Doni jatuh untung Joshua yang dibelakangnya melihat lalu diambil dan oleh Doni disimpan dalam tas. Rute yang ditempuh adalah melewati Pojok Beteng Kulon ke Selatan lalu setelah sampai ring-road selatan ke barat melewati Pabrik Gula Madukismo ke selatan terus. Sesampainya di pertigaan beringin Kasongan Bantul kami ke kiri lalu kembali menyusuri Jalan Bantul. Sebelum sampai Kota Bantul kurang lebih 2 km, tiba-tiba stang depan sepedaku poroknya patah di dalam mungkin karena sudah sangat tua buatan tahun 1830an sehingga sepeda itu harus dituntun untuk mencari tukang las, karena bengkel sepeda tidak bisa memperbaiki. Setelah berjalan kurang lebih 3 km, baru ketemu spesialis bengkel sepeda yang bisa mereparasi, lalu sepeda itu ditinggal, namun sebelumnya Doni menitipkan uang Rp.20.000,- untuk porsekot awal biaya bengkel.Akhirnya aku boncengan dengan Johanes menggunakan sepedanya Romo Wondo yang dipinjam Johanes.
Sesampainya di Ganjuran mereka istirahat sejenak di pendopo Ganjuran untuk melepas lelah dan mengendorkan otot-otot kaki. Lalu makan pagi di warung sebelah Barat Gereja Ganjuran. Kemudian ketika mau membayar ternyata dompetnya Doni tidak ada yang berisi KTP dan uang Rp.80.000,-. Akhirnya mereka yang masih punya uang di saku bantingan untuk membayar. Entah mengapa hari itu aku dan Doni baru apes sehingga mereka harus mengalami hal yang tidak menyenangkan. Apa maksud Tuhan di balik ini semua?
Sesampainya di depan Candi Ganjuran, Johanes bertemu dengan Rini, wanita yang dulu pernah dia puja-puja dan Johanes pernah punya keyakinan bahwa besoknya dia akan menikah dengan wanita ini di depan gereja. Tiba-tiba wanita ini muncul dan mereka bersalaman lalu berpisah dan berdoa sendiri-sendiri. Apalagi ini maksud Tuhan? Dalam perjalanan pulang kembali ke Gereja Bintaran perjalanan lancar-lancar saja tanpa hambatan yang berarti, kami lalu mampir sebentar ke tukang bengkel sepeda tadi, kebetulan sepedanya Agung sudah selesai dan benar ternyata porok dalam patah melingkar dan harus ganti porok baru dengan biaya Rp.35.000,-. Kebetulan yang bawa uang banyak hari itu Joshua sehingga kami hutang dulu pada Joshua.
Othak-athik gathuk, itulah yang sering dilakukan orang Jawa termasuk saya mungkin dan setelah beberapa hari makna itu mungkin terjawab sebab niat keberangkatanku ke Ganjuran adalah untuk mendoakan Ibu mertuanya adikku yang sedang dirawat di rumah sakit Panti Rapih. Hari selasa sore setelah siangnya kami doakan bersama-sama, beliau dipanggil menghadap Tuhan. Keinginanku mungkin bukan keinginan Tuhan, itulah refleksiku. Sebab kami menginginkan adanya mukjizat dalam kondisi seperti itu tapi Tuhan menghendaki lain.
Bagiku apapun yang diberikan Tuhan adalah yang terbaik buat manusia, Tuhan memberi petunjuk dan pertanda lewat segala sesuatu di sekitar kita. Doaku yang dulu selalu menuntut dan menginginkan ini dan itu mulai berubah. Aku lalu mulai bisa memahami betapa beriman dan pasrahnya Maria kepada Tuhan. “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut kehendak-Mu”.

1 komentar:

astrid reza mengatakan...

apik mas, dilanjutkan lah lelakunya :)