Senin, 08 Februari 2010

Spiritualitas Pemerdekaan

4o Hari Gus Dur dan 11 Tahun Romo Mangun
Kaum Muda Merayakan Indonesia
Inilah tema yang diangkat dalam acara di Auditorium Puskat Kotabaru Yogyakarta. Pembicaranya adalah Romo Baskoro, penulis buku dan staff pengajar Universitas Sanata Dharma, kemudian Atong dan Wisnu: keduanya adalah aktivis mahasiswa tahun 1998.
Pada awal acara dibuka dengan lagu-lagu perjuangan kemanusiaan oleh Wiridan Sarikraman kelompok musik yang bermarkas di DED (Dinamika Edukasi Dasar) yang konsen pada perjuangan kemanusiaan. Sempat saya merinding ketika acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Lama saya tidak menyanyikan lagu ini dan ketika menyanyi terlintas betapa banyak korban dan darah yang tertumpah untuk mendirikan sebuah negara bernama Indonesia. Yang pondasinya sudah diletakkan oleh para founding father namun arah ril yang dilaluinya berbelok-belok dan dibelokkan oleh banyak kepentingan yang ada di dalamnya sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum terwujud.
Romo Baskoro memaparkan kedua tokoh yang visinya sama yaitu berjuang demi rakyat namun dalam ranah yang berbeda. Gus Dur lebih berjuang di tataran politik nasional dan internasional sedangkan Romo Mangun berjuang di tataran praksis grassroot bersama dengan orang-orang lapangan. Negara ini menjadi arena pertarunagn politis dari kubu Liberalisme di barat dan Komunisme di timur sehingga dulu untuk mendirikan negara ini diperlukan orang yang Nonblok seperti Soekarno untuk member warna tersendiri di dunia internasional. Meskipun arena pertarungan itu menimbulkan korban yang tidak sedikit.
Kedua Guru Bangsa ini menginspirasi para aktivis mahasiswa tahun 2008 untuk menuntut lengsernya rezim yang dictator dan kurang membela rakyat pada masa pemerintahan Soeharto. “Bayangkan pada masa itu kami menganggap Marxis itu sudah kiri tapi oleh Romo Mangun Marx itu disebut kanan” Ucap Wisnu. Sehingga kami terus mempelajari bentuk teori dan praksis seperti apa yang pantas diterapkan untuk negara ini. Atong lebih berjuang dengan ekspresi dunia seninya dengan poster dan papan reklame serta lukisan kanvasnya dan sekarang menggeluti dunia tato. Kalau kita disuruh menjadi seperti kedua tokoh kita itu Romo Mangun dan Gus Dur akan sulit karena pasti akan migraine dengan pemikiran yang mereka kuasai. Itu butuh proses dan disiplin tersendiri. Sebab bayangkan saja dari hal kecil Gus Dur itu bisa menghapal 500 nomor telepon itu belum pemikirannya yang sangat brilliant. Romo Mangun juga seorang arsitek, budayawan, novelis, penulis buku. Siapa orang yang bisa seperti mereka. Yang mungkin bisa kita lakukan sekarang adalah berkarya di bidang masing-masing demi mewujudkan cita-cita luhur bangsa ini.
Secara teologi kedua tokoh ini menjalankan Teologi Pembebasan tapi lebih tepatnya adalah mereka menjalankan spiritualitas pemerdekaan. Romo Baskoro pernah menulis tentang Spritualitas Pembebasan. Namun kedua tokoh ini lebih menjalankan spiritualitas pemerdekaan karena bisa diterapkan di lini apapun di segala bidang yang bisa dilakukan oleh masing-masing individu.

Tidak ada komentar: