Selasa, 01 Februari 2011

Srenggi Celeng (Bagian Tiga)

Kali ini Jayus merenung di teras rumah setelah pulang dari rumah Mbah Dukun. “Sulit! Namun harus dicoba!” Begitu pikirnya.
Selama ini memang dia tidak menyadari sembilan lubang yang ada di tubuhnya. Jangankan menghitung, menyadari keberadaannya saja tidak pernah, namun kali ini dia harus menyadari penggunaannya. Syukur-syukur digunakan untuk hal yang baik-baik. Selama ini pula, hal yang baik ataupun tidak dia juga tidak tahu, hanya kadang kadang dia mengukur perbuatan baik atau tidak berdasarkan naluri saja, jika dalam hatinya rasanya damai dan tenteram dia akan melakukan apa yang dia pikirkan dan akan dilaksanakan, kalau dalam hatinya timbul rasa panas dan tidak enak, dia akan mengurungkan niatnya itu. Pernah dia melakukan suatu perbuatan, setelah melakukan perbuatan itu timbul rasa bersalah dalam hatinya dan penyesalan yang tak habis-habis dalam hatinya, setelah itu dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu.
Mata. Dia tidak pernah menyadari bahwa punya mata yang indah, normal, tidak buta warna, dan tidak rabun. Dengan dua mata indah miliknya dia bisa membedakan segala warna yang ada di dunia. Segala bentuk binatang, pohon, rumah, mobil, apapun bisa dia lihat. Hidung, telinga, mulut, anus, dan kemaluan, itulah sembilan lubang yang ada di tubuhnya yang selama ini tidak dia awasi penggunaanya. Satu hal juga yang baru dia sadari bahwa yang juga punya peran utama dalam sembilan lubang itu adalah pikirannya yang setelah dia renungkan kadang jorok, ngeres, bahkan pernah dia punya rencana untuk menghancurkan hubungan baik sahabatnya dengan pacarnya dengan pikiran itu. “Ah betapa bodohnya aku waktu itu,” Pikirnya dalam hati.
Kali ini satu hal saja yang akan dilakukannya selama sembilan hari. Puasa Mata. Matanya harus dipuasakan dari hal-hal yang tidak baik. Perasaan enak atau tidak enak, perasaan bersalah atau tidak, rasa tenteram dan damai dalam hatinyalah yang akan mengawasi dan menjadi hakimnya.
Sembilan hari berlalu. Tidak ada perubahan apapun di sekelilingnya. Namun begitu dia memejamkan matanya dia malah bisa melihat ular berbisa di depannya. Macan putih di pojok bangunan. Dan ketika dia berjalan di belakang dua orang yang sedang pacaran dan menutup matanya, dia melihat buaya dan ular berbisa sedang berjalan bergandengan mesra.
Dalam suatu orasi politik ketika dia menutup mata, dia melihat muntahan kecoa yang bertebaran ke mana-mana dari mulut seorang orator. Bahkan ketika melihat seorang pejabat yang sedang meresmikan suatu proyek, ketika dia menutup mata, dia melihat seekor gurita raksasa yang sedang menggunting pita.
“Ah rasanya ada yang salah dengan mata ini”. Akhirnya dia selalu membuka matanya lebar-lebar agar tidak memejamkan mata dan melihat binatang-binatang aneh di mana-mana. Dia ingin pulang, mungkin mata ini kelelahan dan ingin istirahat.
Sesampainya di rumah dia berdiri di depan cermin dan mengaca. Tidak ada yang cacat atau salah dengan matanya, masih normal seperti dulu. Namun begitu dia memejamkan mata, dia melihat seekor binatang bertaring juga bermoncong mirip seperti celeng.

Tidak ada komentar: